Mohon tunggu...
Maaghna Ramadhan
Maaghna Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran

Selamat siang semua. Saya Maaghna Ramadhan, mahasiswa program studi Jurnalistik Universitas Padjadjaran.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

UU ITE: Bilah Bermata Dua

30 November 2022   12:42 Diperbarui: 30 November 2022   12:44 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi UU ITE (Sumber: NET)

Fungsi suatu barang ditentukan oleh siapa yang menggunakannya. Sama seperti pisau, jika seorang juru masak yang mengutilisasi barang tersebut, akan tersaji suatu hidangan yang menggugah selera. Namun, jika pisau tersebut diberikan kepada seorang pembunuh atau perampok yang haus darah, pasti akan menyebabkan rasa sakit serta darah yang bercucuran. 

Sama seperti Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik yang kita kenal sebagai UU ITE. Jika UU ITE digunakan dengan tepat, akan menghasilkan ketertiban dan keamanan bagi masyarakat. Namun---seperti ilustrasi pisau sebelumnya---jika UU ITE digunakan oleh "penjahat" atau orang yang kurang bijak dan mencari celah dalam UU ITE ini, akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat dan korban.

Undang-Undang Harusnya Menjadi Tameng dan Pagar, Bukan Menjadi Senjata.

Dari ilustrasi di atas, dapat kita lihat bahwa UU ITE bisa digunakan sebagai pisau yang bisa melindungi dan dapat digunakan untuk menyerang. Padahal Menurut Tami Rusli dalam buku Pengantar Ilmu Hukum, Undang Undang adalah peraturan negara yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Undang undang diadakan dan dipelihara oleh negara. Dari pengertian tersebut, dapat kita ketahui bahwa undang-undang harusnya bersifat sebagai pagar dari perbuatan masyarakat, bukan untuk menyerang.

Tajam bagai pisau, elastis bagai karet. 

KGBO dan Trauma

Kekerasan gender berbasis online semakin marak terjadi di lingkungan terdekat kita. Bahkan lingkungan kampus yang seharusnya menjadi area aman untuk menimba ilmu dan menambah pengalaman turut "menyumbang" kasus pelecehan seksual. Seperti yang dilansir kompas.com, terdapat 4 mahasiswi di Aceh Utara yang diduga menjadi korban pelecehan melalui chat oleh tenaga pengajar. 

Dengan adanya UU ITE yang (seharusnya) menjadi tameng dari kekerasan ini, mungkin kita berpikir bahwa kasus ini akan diusut tuntas. Namun, nyatanya UU ITE belum dapat bekerja maksimal karena ada beberapa hal yang mempengaruhi skema ini. Salah satunya, trauma mendalam yang membuat korban enggan bercerita dan menindaklanjuti permasalahannya. 

Kami berkesempatan untuk mewawancarai mahasiswi di salah satu Universitas Swasta di Kota Bandung yang pernah mengalami KGBO dan mengaku trauma akan kasus yang pernah dialaminya. Ia memaparkan, penanganan KGBO di Indonesia masih belum berjalan lancar. Alih-alih membuat laporan, ia memilih untuk fokus menjalankan pemulihan diri. 

"Belum banyak bercerita ke orang-orang karena masih takut dengan traumanya itu sendiri. Jadi (wajar jika) masih banyak perempuan yang memendam trauma atau pengalaman KGBO ini," ujarnya. 

Kembali ke artikel kompas.com mengenai 4 mahasiswi yang diduga menerima pelecehan seksual oleh tenaga pengajar. Selaras dengan pernyataan dari narasumber kami, kasus tersebut masih belum bisa dilaporkan karena keempat mahasiswi tersebut masih sangat trauma untuk menceritakan secara kronologis pengalaman buruk yang menimpanya. 

Jika pagar dapat dilewati dengan mudah, untuk apa membangun pagar?

KGBO dalam Perspektif Psikologi

Untuk menambah spektrum atau perspektif kami mengenai KGBO, kami berdiskusi bersama seorang Clinical Psychologist, Canina Yustisia. Saat ditanya mengenai KGBO yang kian marak terjadi belakangan ini, Canin -- sapaan akrabanya -- berempati dan merasa prihatin. Ia beranggapan, maraknya KGBO dipicu oleh kemajuan teknologi yang cepat.  

"Pasti ada kontribusinya dari semakin canggihnya teknologi, semakin banyak orang paham, atau mengerti gimana caranya media sosial, atau mungkin semakin banyaknya yang mereka pelajari di internet, digunakannya malah dengan cara yang negatif gitu untuk melakukan kekerasan via online," ungkapnya prihatin. 

Ia menambahkan, untuk menghindari kekerasan gender berbasis online, kita perlu menanamkan tiga hal. Pertama, kita harus menyayangi diri sendiri, dengan sayang dengan diri sendiri, kita tidak perlu bergantung semasif itu terhadap afeksi orang lain yang berujung akan melakukan apa saja bahkan berpotensi melakukan pelecehan seksual. Hal kedua yang perlu ditanamkan ialah aware terhadap perbuatan atau perilaku orang lain. Poin terakhir yang harus tertanam dalam diri kita (agar terhindar dari pelecehan seksual, terutama oleh pasangan) ialah edukasi terkait kekerasan dalam suatu hubungan. 

"Selain itu, perlu banget sih kerjasama dengan pihak-pihak lain karena kalau misalnya edukasi dari individu dengan individu, mungkin kurang maksimal kalau tidak ditambahkan dengan pengawasan dari orang tua, pihak sekolah, lingkungan kampus, dan sebagainya, ya supaya lebih menyeluruh mengedukasi tentang hal ini gitu," tutupnya.

UU ITE Pasal 27

Salah satu perdebatan mengenai karetnya undang-undang ini ialah kandungan BAB VII perbuatan yang dilarang pasal 27.  Pasal 27 ayat (3) berbunyi, Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; sangat dapat digunakan untuk menusuk balik korban dengan alasan "pencemaran nama baik". 

Hal ini pernah terjadi saat terdapat karyawan Komisi Penyiaran Indonesia yang mengalami pelecehan seksual oleh atasannya. Menurut kuasa hukum terduga pelaku pelecehan seksual, seperti yang dilansir kompas.com, mengatakan bahwa MS yang merupakan terduga korban pelecehan menyebarkan nama-nama pelaku secara gamblang. Hal itulah yang membuat terduga pelaku kekerasan seksual melaporkan balik MS kepada pihak berwajib. Untungnya, pihak kepolisian menolak laporan tersebut. Namun poin yang kami tekankan di sini ialah UU ITE dapat di-multitafsir-kan seluas itu sehingga seperti bilah bermata dua. 

Pasal 27 Ayat (1)

KGBO adalah kegiatan kekerasan yang menyangkut mengenai gender dan segala macam halnya melalui platform daring. Pelecehan, penistaan nama baik, dan masih banyak lagi yang bersifat menyakiti, seharusnya dilindungi oleh negara melalui pagar yang sebelumnya sudah saya bahas. Pada bagian ini, penulis ingin membicarakan mengenai Pasal 27 ayat (1) UU ITE, yang berbunyi:

"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan."

Pasal ini dapat dibawa jauh dari pemaknaannya. Di dalam ayat tersebut disebutkan kata distribusi, transmisi, dapat diakses. Sementara tidak ada kata "menyimpan" di dalam ayat tersebut. Mari berandai-andai, jika Anda adalah seorang pasangan-- dalam hubungan romantis dengan seeseorang-- dan pasangan atau partner Anda meminta Anda untuk merekam hal yang tidak dibenarkan dalam segi apapun, pilihan Anda mungkin hanya "iya" dan "tidak". Kemudian Anda berpikir bahwa hal tersebut merupakan hal gila dan tidak akan ada yang mau dan bersedia membuat atau merekam sesuatu yang dilarang. Namun nyatanya, berdasarkan pengalaman dan cerita lingkungan saya, banyak juga yang melakukan hal tersebut. Ada beberapa alasan seseorang membuat dan memberikan video atau suatu konten digital kepada pasangannya, misalnya karena sudah dijanjikan akan dinikahi. 

Lalu, jika pasal 27 ayat (1) terlihat sangat ideal untuk melindungi korban, di mana letak karetnya? Banyak korban yang sudah terlanjur memberikan sesuatu kepada pasangannya tidak berani melapor jika disakiti. Hal ini dikarenakan dalam ayat (1) disebutkan kata distribusi, transmisi, dan membuka akses. Dalam perspektif hukum, orang yang membuat dan mengirimkan muatan yang tidak sesuai itulah yang bersalah, sehingga jika ia hendak melapor, pasangannya akan melaporkan balik dengan dalih atau dengan tameng pasal 27 ayat (1). Inilah yang menimbulkan banyaknya trauma akan revenge porn dan tidak terlapornya kasus KGBO.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun