Kembali ke artikel kompas.com mengenai 4 mahasiswi yang diduga menerima pelecehan seksual oleh tenaga pengajar. Selaras dengan pernyataan dari narasumber kami, kasus tersebut masih belum bisa dilaporkan karena keempat mahasiswi tersebut masih sangat trauma untuk menceritakan secara kronologis pengalaman buruk yang menimpanya.Â
Jika pagar dapat dilewati dengan mudah, untuk apa membangun pagar?
KGBO dalam Perspektif Psikologi
Untuk menambah spektrum atau perspektif kami mengenai KGBO, kami berdiskusi bersama seorang Clinical Psychologist, Canina Yustisia. Saat ditanya mengenai KGBO yang kian marak terjadi belakangan ini, Canin -- sapaan akrabanya -- berempati dan merasa prihatin. Ia beranggapan, maraknya KGBO dipicu oleh kemajuan teknologi yang cepat. Â
"Pasti ada kontribusinya dari semakin canggihnya teknologi, semakin banyak orang paham, atau mengerti gimana caranya media sosial, atau mungkin semakin banyaknya yang mereka pelajari di internet, digunakannya malah dengan cara yang negatif gitu untuk melakukan kekerasan via online," ungkapnya prihatin.Â
Ia menambahkan, untuk menghindari kekerasan gender berbasis online, kita perlu menanamkan tiga hal. Pertama, kita harus menyayangi diri sendiri, dengan sayang dengan diri sendiri, kita tidak perlu bergantung semasif itu terhadap afeksi orang lain yang berujung akan melakukan apa saja bahkan berpotensi melakukan pelecehan seksual. Hal kedua yang perlu ditanamkan ialah aware terhadap perbuatan atau perilaku orang lain. Poin terakhir yang harus tertanam dalam diri kita (agar terhindar dari pelecehan seksual, terutama oleh pasangan) ialah edukasi terkait kekerasan dalam suatu hubungan.Â
"Selain itu, perlu banget sih kerjasama dengan pihak-pihak lain karena kalau misalnya edukasi dari individu dengan individu, mungkin kurang maksimal kalau tidak ditambahkan dengan pengawasan dari orang tua, pihak sekolah, lingkungan kampus, dan sebagainya, ya supaya lebih menyeluruh mengedukasi tentang hal ini gitu," tutupnya.
Salah satu perdebatan mengenai karetnya undang-undang ini ialah kandungan BAB VII perbuatan yang dilarang pasal 27. Â Pasal 27 ayat (3) berbunyi, Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; sangat dapat digunakan untuk menusuk balik korban dengan alasan "pencemaran nama baik".Â
Hal ini pernah terjadi saat terdapat karyawan Komisi Penyiaran Indonesia yang mengalami pelecehan seksual oleh atasannya. Menurut kuasa hukum terduga pelaku pelecehan seksual, seperti yang dilansir kompas.com, mengatakan bahwa MS yang merupakan terduga korban pelecehan menyebarkan nama-nama pelaku secara gamblang. Hal itulah yang membuat terduga pelaku kekerasan seksual melaporkan balik MS kepada pihak berwajib. Untungnya, pihak kepolisian menolak laporan tersebut. Namun poin yang kami tekankan di sini ialah UU ITE dapat di-multitafsir-kan seluas itu sehingga seperti bilah bermata dua.Â
Pasal 27 Ayat (1)