Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Dari Biara di Atas Bukit, Memburu Sunset Parangritis

21 Desember 2016   15:25 Diperbarui: 22 Desember 2016   14:22 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pantai Parangtritis sesaat sebelu mentari terbenam/Dok. Pribadi

Liburan Desember 2016 tiba. Bersyukur, kami sekeluarga berkesempatan menikmati Tour de Yogya selama dua hari tiga malam. “Malam ini ada sekitar 6.000 orang dari Sumatera masuk Yogyakarta”, demikian kata salah satu crew di dalam bus pariwisata kala itu.

Alamak! Ini pertanda kami harus bersabar selama perjalanan. Kami baru tiba di Yogya sekitar pukul 09.15 Wib, normalnya jelang shubuh sudah sampai lokasi.

Saat itu, pertandingan final AFF 2016 antara timnas Garuda Vs Timnas Gajah Perang baru dimulai. Aha… keinginan menonton pertandingan itu terlewatkan. Kami sedang berada di dalam bus pariwisata dari Malang menuju Kota Gudeg.

Sabtu malam berangkat, hari Ahad tiba di lokasi untuk kunjungan hari pertama (18/12/2016). Setelah sarapan agak kesiangan di Kampung Ulu Resto, kami menuju industri kaos “Oemah Oblong”, kaos trendi ala Jethe yang berlokasi di Trihanggo, Gamping, Sleman. Kaos ini mulai popular selain generasi kaos Da-Gadu. Sejurus kemudian, rombongan menuju Candi Borobudur.

Candi Borobudur “Biara di Atas Bukit”

Tiba di lokasi saat terik mentari tak mau diajak kompromi, sekitar pukul 10.00 Wib. Siang bolong yang panas, tak menyurutkan langkah menaiki tangga demi tangga hingga sampai ke puncak Candi Borobudur peninggalan dinasti Syailendra. Seperti kandungan arti pada namanya, Borobudur seolah menggambarkan diri sebagai “Biara di atas Bukit”.

Candi Borobudur/Dok. Pribadi
Candi Borobudur/Dok. Pribadi
Berjibun pengunjung sedang menaiki tangga menuju puncak Candi Borobudur/Dok. Pribadi
Berjibun pengunjung sedang menaiki tangga menuju puncak Candi Borobudur/Dok. Pribadi
“Pak-Bu, payung, payung, Rp 10 ribu”, penjaja payung menawarkan jasanya di luar pintu tiket masuk candi besutan Gunadharma itu. Kami hanya terdiam mengamati. Penjaja lain mendekat, kami membeli dua topi, masing-masing untuk putra dan putri kami.

Begitu kaki melangkah memasuki pelatarannya di depan loket masuk, terhampar taman dengan halaman berumput dan aneka tanaman hijau.

Halaman luar Candi Borobudur/Dok. Pribadi
Halaman luar Candi Borobudur/Dok. Pribadi
Halaman dalam Candi Borobudur/Dok. Pribadi
Halaman dalam Candi Borobudur/Dok. Pribadi
Loket pintunya dipilah menjadi dua, satu untuk wisatawan domestik, dan satunya lagi untuk wisatawan manca negara. Terdapat penjaga yang ramah memandu para wisatawan yang akan membeli tiket di tempat ini.

Tersedia khusus Tiket Internasional bagi wisatawan asing di Objek Wisata Candi Borobudur/Dok. Pribadi
Tersedia khusus Tiket Internasional bagi wisatawan asing di Objek Wisata Candi Borobudur/Dok. Pribadi
Tempat Pembelian Tiket Masuk Candi Borobudur/Dok. Pribadi
Tempat Pembelian Tiket Masuk Candi Borobudur/Dok. Pribadi
Antrean membeli tiket masuk ke Candi Borobudur/Dok. Pribadi
Antrean membeli tiket masuk ke Candi Borobudur/Dok. Pribadi
Tiket masuk domestik untuk orang dewasa seharga Rp 30.000/orang, sementara untuk anak-anak seharga Rp 15.000/orang.

“Pak Bu, payung, cuma Rp 5 ribu”, penjaja lain menawarkan jasanya. Rupanya, di area dalam lokasi harga sewa satu payung hingga turun 50%. Kami ambil kesempatan ini.

Cuaca panas makin menyengat. Dari kejauhan tampak bangunan candi. Siapa sangka, candi ini pernah runtuh tertimbun tanah, diduga akibat kedahsyatan letusan Gunung Merapi yang terjadi sekitar tahun 950 lalu.

Begitu masuk mengikuti arah jalan menuju lokasi candi, di kiri kanan sepanjang jalan terhampar taman dengan pepohonan nan hijau. Gajah-gajah terlatih siap melayani wisatawan mengelilingi area taman.

Gajah di Area Taman Borobudur/Dok. Pribadi
Gajah di Area Taman Borobudur/Dok. Pribadi
Bagi wisatawan yang memakai celana pendek, harus memakai sarung penutup saat masuk ke lokasi candi yang sakral, persis seperti di Bali. Untuk itu, disediakan area yang disebut Sarungisasi.

Sarungisasi Borobudur. Pengunjung bercelana pendek harus memakai sarung penutup sebelum masuk candi di sini/Dok. Pribadi
Sarungisasi Borobudur. Pengunjung bercelana pendek harus memakai sarung penutup sebelum masuk candi di sini/Dok. Pribadi
Candi sudah dekat. Tampak deretan stupa candi berdiri tegak menjulang tinggi ke angkasa. Desember ini kala kami mengunjunginya, pintu-pintu candi penuh sesak dengan orang-orang. Mereka terlihat terus melangkah menaiki tangga demi tangga, berusaha mencapai puncak stupa dengan memegang payung yang berwarna warni.

Para pengujung candi dengan payung warna warni/Dok. Pribadi
Para pengujung candi dengan payung warna warni/Dok. Pribadi
Mungkin karena sesak dan cuaca panas, di puncak stupa terdengar kabar bahwa ada seseorang yang pingsan kala itu. Tapi di puncak candi, saya menyaksikan ada seorang penjaga yang memandu dan mengawasi pengunjung.

Sesekali saya mendengar dia memberi peringatan agar pengunjung tidak mengambil gambar dengan cara memanjat bangunan candi. Sementara orang-orang berusaha mengabadikan diri dengan kameranya. Objek wisata ini berkesal spesial, karena diakui sebagai salah satu dari 10 keajaiban dunia.

Pengunjung memasuki candi Borobudur/Dok. Pribadi
Pengunjung memasuki candi Borobudur/Dok. Pribadi
Monumen Borobudur Warisan Dunia/Dok. Pribadi
Monumen Borobudur Warisan Dunia/Dok. Pribadi
Cukup lama saya tak mengunjungi Candi Borobudur, sekira lebih dari 15 tahun lalu. Hingga kini, tampak bangunan candi tetap megah seperti dulu. Rupanya, tangga candi dilapisi bahan yang lebih kokoh dan ditata rapi.

Tampaknya ada yang berubah, misalnya tentang perilaku para penjaja makanan dan minuman ringan. Mereka kini tak saling berebut pelanggan seperti dulu kala ketika saya berkunjung. Sementara di area dalam lokasi, tak ada penjaja makanan.

Namun sekira 450 meter dari candi sebelum keluar menuju pasar kerajinan rakyat, terdapat Souvenir Shop. Di siang yang panas, aneka minuman yang dijajakan di sini laris manis. Sekedar menghilangkan dahaga, saya membeli air mineral sebotol seharga Rp 4 ribu, dan teh botol seharga Rp 8 ribu.

Souvenir Shop Candi Borobudur/Dok. Pribadi
Souvenir Shop Candi Borobudur/Dok. Pribadi
Museum Kapal yang Unik

Satu hal bangunan terbaru, diantaranya adalah Museum Kapal. Lokasinya persis di samping bangunan Souvenir Shop. Usai turun dari puncak stupa, kami melalui pintu keluar candi yang mengarah ke museum ini.

Terdapat sebuah bangunan dengan halaman seluas sekira setengah lapangan sepakbola. Tumbuh di lahan itu rumput taman dan aneka pepohonan rindang. Kami berteduh di sini.

Hampir 2,5 jam berlalu kami mengelilingi kawasan Candi Borobudur. Sesat sebelum keluar lokasi, kami memasuki ruang Museum Kapal. Di dalamnya, berdiri replika kapal besar, lengkap dengan tangga dan tali-temalinya. Kapal ini dihiasi dengan lampu berwarna biru, seolah seperti semburan ombak air laut yang memancar dari bawah lantai.

Museum Kapal di Candi Borobudur/Dok. Pribadi
Museum Kapal di Candi Borobudur/Dok. Pribadi
Replika kapal tampak dari samping/Dok. Pribadi
Replika kapal tampak dari samping/Dok. Pribadi
Terlihat bangunannya masih baru. Di depan pintu masuk museum, disiapkan buku tamu dengan dua bolpoin. Saya berniat mengisinya, tapi tak jadi saya lanjutkan. Pasalnya, tinta kedua bolpoin itu ternyata habis. Harap maklum, pembaca…!

Dari Puncak Borobudur Menuju Parangtritis

Turun dari puncak stupa Candi Borobudur dan museum kapal, rombongan menikmati makan siang yang agak telat di sebuah restoran. Sasaran berikutnya adalah memburu pesona pantai Parangtritis yang sarat legenda. Waktu tersisa memburu sunset tinggal beberapa menit lagi.  

Pantai Parangtritis sesaat sebelu mentari terbenam/Dok. Pribadi
Pantai Parangtritis sesaat sebelu mentari terbenam/Dok. Pribadi
Tiba di pantai Parangtritis sekira pukl 16.15-an WIB. Pesonanya seperti melekat pada namanya, “Parangtritis” berarti air menetes dari balik batu tebing. Konon, dahulu kala tempat ini merupakan tempat pertapaan dan menyimpan misteri penguasa kerajaan Mataram dengan penguasa Laut Selatan.

Pesona Pantai Parangtritis/Dok. Pribadi
Pesona Pantai Parangtritis/Dok. Pribadi
Bendi di Tepi Pantai Parangtritis/Dok. Pribadi
Bendi di Tepi Pantai Parangtritis/Dok. Pribadi
Kami tiba di lokasi saat hari mendekati senja. Lampu-pampu pasar rakyat tepat di depan pintu masuk, mulai menyala.

Tampak bendi bendi berada di tepi pantai. Kendaraan wisata roda itu ditarik kuda. Sesaat sebelum kembali ke kandangnya, mereka beraksi di atas hamparan pasir sambil menikmati indahnya deburan ombak dan pesona sunset.

Pasar Souvenir Tepi Pantai Parangtritis/Dok. Pribadi
Pasar Souvenir Tepi Pantai Parangtritis/Dok. Pribadi
Kuda tunggang melintas di depan pasar Parangtritis/Dok. Pribadi
Kuda tunggang melintas di depan pasar Parangtritis/Dok. Pribadi
Harga bendi untuk sekali putaran dipatok Rp 30 ribu, dan Rp 100 ribu untuk paket keliling lengkap ke empat lokasi seperti tertera di papan promosi. Tak hanya bendi. Wisata Prangtritis menyediakan kuda tunggangan dan kendaraan wisata bermotor yang disebut All Terrain Vechile (ATV).

Pos kendaraan wisata bermotor Parangtritis/Dok. Pribadi
Pos kendaraan wisata bermotor Parangtritis/Dok. Pribadi
Sayang, kami tiba di sana lebih lambat dari rencana. Namun, rona merah jingga sang mentari masih dapat kami nikmati, sesaat sebelum ia menghilang dari pandangan mata.

Sunset di Parangtritis/Dok. Pribadi
Sunset di Parangtritis/Dok. Pribadi
Jepret! Indahnya sunset berlatar belakang pantai, kerumunan orang, dan bendi berpindah tangan. Demikian juga kerumunan ATV, kuda tunggangan dan aktivitas pasar sempat saya abadikan melalui kamera smart phone.

Bersyukur, kami masih dapat menikmati aneka penganan khas laut dan minuman kelapa muda. Baru kali ini saya merasakan sensasi sejenis udang goreng bernama “undur-undur laut”.

Saya mendapatkannya seharga Rp 15 ribu, dari Rp 20 ribu yang ditawarkan penjaja di pintu masuk pantai menjelang tutup. Sementara di pasar tepi pantai Parangtritis, teman-teman membeli barang yang sama seharga Rp 20 ribu seberat 0,25 kg.

Penjaja aneka penganan laut di Parangtritis/Dok. Pribadi
Penjaja aneka penganan laut di Parangtritis/Dok. Pribadi
Penganan Udang dan Undur-undur Laut/Dok. Pribadi
Penganan Udang dan Undur-undur Laut/Dok. Pribadi
Sunset sudah menghilang dari pandangan mata, seolah tenggelam ke dasar laut, atau pergi menuju peraduannya. Rombongan kami segera kembali menuju Hotel terdekat dengan Nol Km Yogyakarta dan Jalan Malioboro, sekedar untuk mandi dan makan malam.

Namun sebagian di antara rombongan, tak puas hanya membelanjakan waktunya di tempat penginapan. Saya dkk berjalan menyusuri pesona kawasan Malioboro, menghabiskan waktu  yang tersisa sebelum mata dipejamkan sambil merebahkan diri mensyukuri menikmati indahnya ciptaan Tuhan. Terima kasih Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun