Liburan Desember 2016 tiba. Bersyukur, kami sekeluarga berkesempatan menikmati Tour de Yogya selama dua hari tiga malam. “Malam ini ada sekitar 6.000 orang dari Sumatera masuk Yogyakarta”, demikian kata salah satu crew di dalam bus pariwisata kala itu.
Alamak! Ini pertanda kami harus bersabar selama perjalanan. Kami baru tiba di Yogya sekitar pukul 09.15 Wib, normalnya jelang shubuh sudah sampai lokasi.
Saat itu, pertandingan final AFF 2016 antara timnas Garuda Vs Timnas Gajah Perang baru dimulai. Aha… keinginan menonton pertandingan itu terlewatkan. Kami sedang berada di dalam bus pariwisata dari Malang menuju Kota Gudeg.
Sabtu malam berangkat, hari Ahad tiba di lokasi untuk kunjungan hari pertama (18/12/2016). Setelah sarapan agak kesiangan di Kampung Ulu Resto, kami menuju industri kaos “Oemah Oblong”, kaos trendi ala Jethe yang berlokasi di Trihanggo, Gamping, Sleman. Kaos ini mulai popular selain generasi kaos Da-Gadu. Sejurus kemudian, rombongan menuju Candi Borobudur.
Candi Borobudur “Biara di Atas Bukit”
Tiba di lokasi saat terik mentari tak mau diajak kompromi, sekitar pukul 10.00 Wib. Siang bolong yang panas, tak menyurutkan langkah menaiki tangga demi tangga hingga sampai ke puncak Candi Borobudur peninggalan dinasti Syailendra. Seperti kandungan arti pada namanya, Borobudur seolah menggambarkan diri sebagai “Biara di atas Bukit”.
Begitu kaki melangkah memasuki pelatarannya di depan loket masuk, terhampar taman dengan halaman berumput dan aneka tanaman hijau.
“Pak Bu, payung, cuma Rp 5 ribu”, penjaja lain menawarkan jasanya. Rupanya, di area dalam lokasi harga sewa satu payung hingga turun 50%. Kami ambil kesempatan ini.
Cuaca panas makin menyengat. Dari kejauhan tampak bangunan candi. Siapa sangka, candi ini pernah runtuh tertimbun tanah, diduga akibat kedahsyatan letusan Gunung Merapi yang terjadi sekitar tahun 950 lalu.
Begitu masuk mengikuti arah jalan menuju lokasi candi, di kiri kanan sepanjang jalan terhampar taman dengan pepohonan nan hijau. Gajah-gajah terlatih siap melayani wisatawan mengelilingi area taman.
Sesekali saya mendengar dia memberi peringatan agar pengunjung tidak mengambil gambar dengan cara memanjat bangunan candi. Sementara orang-orang berusaha mengabadikan diri dengan kameranya. Objek wisata ini berkesal spesial, karena diakui sebagai salah satu dari 10 keajaiban dunia.
Tampaknya ada yang berubah, misalnya tentang perilaku para penjaja makanan dan minuman ringan. Mereka kini tak saling berebut pelanggan seperti dulu kala ketika saya berkunjung. Sementara di area dalam lokasi, tak ada penjaja makanan.
Namun sekira 450 meter dari candi sebelum keluar menuju pasar kerajinan rakyat, terdapat Souvenir Shop. Di siang yang panas, aneka minuman yang dijajakan di sini laris manis. Sekedar menghilangkan dahaga, saya membeli air mineral sebotol seharga Rp 4 ribu, dan teh botol seharga Rp 8 ribu.
Satu hal bangunan terbaru, diantaranya adalah Museum Kapal. Lokasinya persis di samping bangunan Souvenir Shop. Usai turun dari puncak stupa, kami melalui pintu keluar candi yang mengarah ke museum ini.
Terdapat sebuah bangunan dengan halaman seluas sekira setengah lapangan sepakbola. Tumbuh di lahan itu rumput taman dan aneka pepohonan rindang. Kami berteduh di sini.
Hampir 2,5 jam berlalu kami mengelilingi kawasan Candi Borobudur. Sesat sebelum keluar lokasi, kami memasuki ruang Museum Kapal. Di dalamnya, berdiri replika kapal besar, lengkap dengan tangga dan tali-temalinya. Kapal ini dihiasi dengan lampu berwarna biru, seolah seperti semburan ombak air laut yang memancar dari bawah lantai.
Dari Puncak Borobudur Menuju Parangtritis
Turun dari puncak stupa Candi Borobudur dan museum kapal, rombongan menikmati makan siang yang agak telat di sebuah restoran. Sasaran berikutnya adalah memburu pesona pantai Parangtritis yang sarat legenda. Waktu tersisa memburu sunset tinggal beberapa menit lagi.
Tampak bendi bendi berada di tepi pantai. Kendaraan wisata roda itu ditarik kuda. Sesaat sebelum kembali ke kandangnya, mereka beraksi di atas hamparan pasir sambil menikmati indahnya deburan ombak dan pesona sunset.
Bersyukur, kami masih dapat menikmati aneka penganan khas laut dan minuman kelapa muda. Baru kali ini saya merasakan sensasi sejenis udang goreng bernama “undur-undur laut”.
Saya mendapatkannya seharga Rp 15 ribu, dari Rp 20 ribu yang ditawarkan penjaja di pintu masuk pantai menjelang tutup. Sementara di pasar tepi pantai Parangtritis, teman-teman membeli barang yang sama seharga Rp 20 ribu seberat 0,25 kg.
Namun sebagian di antara rombongan, tak puas hanya membelanjakan waktunya di tempat penginapan. Saya dkk berjalan menyusuri pesona kawasan Malioboro, menghabiskan waktu yang tersisa sebelum mata dipejamkan sambil merebahkan diri mensyukuri menikmati indahnya ciptaan Tuhan. Terima kasih Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H