Tak kusangka, siang itu (26/05) seorang kompasianer senior asal Surabaya bersama seorang pegiat Wakaf Plannermengunjungi kompasianer Malang (Bolang). Mereka berkunjung atas nama personal, karena pertemanan sesama kompasianer. Mengawali kunjungannya, mereka tiba di rumah kami sekitar pukul 10.25 Wib. Kami ngobrol santai seputar aktivitas komunitas Kompasiana dan “Wakaf Produktif”. Wakaf sejenis ini begitu berkembang di Singapura.
Di Indoensia, produk wakaf ini dilindungi oleh regulasi yang sah. Saya baru tahu, kalau produk wakaf uang ini segera dilaunching di Jakarta. Obrolan menarik berlanjut hingga di Warung Angkringan, sambil makan siang bersama. Warung itu berada di dekat rumah kami, di Jalan Sigura Gura, Kota Malang.
Usai makan siang, kami bertiga menuju sebuah gubuk di tengah sawah. Shalat dhuhur kami tunaikan di tengah perjalanan. Tiba di gubuk sekitar pukul 14.45 wib, dijemput oleh petani jagung manis yang juga seorang kompasianer. Lokasi gubuk berada di Dusun Wangkal, Desa Wargosuko, Kec. Poncokusumo. Kawasan ini berdekatan dengan perbatasan kec. Tumpang, Kabupaten Malang. Gubuk itu, seolah sudah menjadi rumah kedua bagi petani ini, selain rumah tinggal tetapnya yang berada di kawasan Perumahan Araya, kota Malang.
![Tiba di gubuk dengan view tanaman jagung manis/Dok. Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/27/jagung-044-5748440566afbdc714b6ce2f.jpg?t=o&v=770)
![Komapsianer Surabaya di Tengah Tanaman Jagung Manis/Dok. Pribai](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/27/jagung-103-574844958623bd040a343bd7.jpg?t=o&v=770)
![Mas Rahman Priyono di Tengah Areal Tanaman Jagun Manis Seluas 1 ha Miliknya/Dok. Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/27/jagung-087-574845143193734009cc6e91.jpg?t=o&v=770)
Menurut Mas Rahman, tiap hari usai shalat shubuh hingga sore hari, ia pergi ke sawah. Seluruh kegiatan bertani ia kerjakan sendiri, tidak menggunakan tenaga kerja atau buruh tani. Ia merasakan bagaimana indahnya menyemprot rumput, memupuk tanaman, menyulami tanaman jagung yang mati, dan seterusnya. Kecuali saat membuat galur dan menanam benih jagung, Ia menggunakan sejumlah tenaga kerja atau buruh tani lainnya. Di gubuknya, ia dibantu oleh seseorang, yang diajak serta menemaninya bekerja.
![Kopdar di Gubuk Tengah sawah. Mas Rahman Familinya yang Sering Menemani di Gubuknya/Dok. Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/27/jagung-048-574845701a7b61d51467a95b.jpg?t=o&v=770)
![Indahnya areal pemandangan tanaman jagung di kala sore hari/Dok. Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/27/jagung-089-5748464b5b7b61fd070fb22f.jpg?t=o&v=770)
Jagung manis super jenis Hibrida F1 milik Mas Rahman, ditanam di areal sawah seluas 1 ha miliknya. Tujuannya dijual untuk dikonsumsi selagi muda. Waktu yang dibutuhkan untuk menanam bibit jagung hingga siap panen berkisar antara 75-80 hari.
Tiap satu bulir benih jagung manis yang ditanam, tumbuh sebatang batang jagung. Tiap batang hanya mengasilkan satu buah (tongkol) jagung. Sesuai standar, tiap tongkol jagung dapat menghasilkan 465 bulir jagung. Berdasarkan pengalaman Mas Rahman, sawah seluas 1 ha ini diprediksi menghasilkan jagung sebanyak 12 ton. Jika dioptimalkan menggunakan pupuk tambahan, bisa mencapai maksimal 18 ton.
![Penulis Berada di Tengah Tanaman Jagung Manis Hibrida F1](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/27/jagung-081-574848e10323bdc907cd9214.jpg?t=o&v=770)
![Pupuk Hayati Feng Shou/Dok. Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/27/jagung-056-574846a8509373c308f48335.jpg?t=o&v=770)
Penasaran terhadap pupuk itu, saya mencoba melihatnya sendiri. Setelah ditunjukkan dan saya buka tutup botolnya, ternyata pupuk cair Feng Shou baunya nyaris seperti bau kencing. Baunya kuat sekali. Hihi… tapi manfaatnya, hoho… )
Sebagai bahan perbandingan, saya ambil gambar jenis tanaman jagung milik Mas Rahman yang diberi pupuk Feng Shou dengan tanaman jagung milik petani lain digarap biasa-biasa saja (benihnya bukan benih unggul dan tidak diberi pupuk Feng Shou, ini pengamatan kami bertiga kala itu). Saya ambil gambar jagung yang seumuran di sawah yang berbeda. Hasilnya begitu kontras. Bahwa tanaman jagung dengan perkiraan usia tanam yang sama, buahnya jauh berbeda, seperti tampak pada gambar di bawah ini.
![(1) Tanaman Jagung biasa tanpa Pupuk Hayati (Feng Shou)/Dok. Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/27/jagung-088-5748472166afbdc714b6ce3d.jpg?t=o&v=770)
![Tanaman Jagung Hibrida F1 dengan Pupuk Hayati (Feng Shou)/Dok. Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/27/jagung-060-574847881a7b61db1467a957.jpg?t=o&v=770)
“Berapa pendapatan bertani jagung manis untuk sawah seluas ini Mas Rahman?” Tanya saya. Dia memberi ilustrasi kepada kami sebagai berikut:
“Beaya oprasional yang saya keluarkan sekitar Rp 9 – 11 juta. Untuk tiap 1 ha sawah, saya membutuhkan 30 kotak bibit jagung. Tiap satu butir bibit jagung, standarnya menghasilkan 456 - 500 butir jagung. Anggap saja tiap tongkol jagung terdapat 500 butir jagung. Tiap tongkol jagung bobotnya sekitar 5 - 6 ons. Untuk 1 kg rata-rata ada 2 tongkol jagung”.
Jika tiap kg jagung harganya Rp 3.000, maka jika menghasilkan 10 ton saja, ada pemasukan kotor sebesar Rp 30 juta-an”. Hasilnya lumayan nih…!
"Adakah kelemahan bertani jagung yang Anda rasakan?" Tanya saya. Ada, menurut pengakuannya, pertama, soal jarak tanam. Mas Rahman merasa jarak tanaman jagungnya terlalu rapat. Idealnya jarak tanam antar pohon jagung adalah 25 cm, sementara dia menanam dengan jarak 20 cm. Sedangkan jarak antar galur idealnya 70 cm.
Kedua, kelemahan dalam menyulam bibit jagung yang mati. Pasalnya, setelah disulam, pertumbuhan bibit sulaman ini lebih lambat dibandingkan phon jagung lainnya. Idealnya, bibit jagung untuk menyisipi (menyulam) tanaman jagung yang mati ditanam bersamaan di tempat terpisah. Nah, bibit inilah yang mestinya digunakan untuk menyulam, sehingga nanti dapat tumbuh besar secara bersama dengan tanaman jagung lainnya.
Tempuyung dan Bakal Jagung Muda, Enak!
Tinggal di gubuk memang tidak semewah dibanding tinggal di rumah. Namun tampak ada kebahagiaan tersendiri, seperti kehidupan yang Mas Rahman lakukan dengan tinggal di gubuk tengah sawah. Ada sensasi berbeda, saat mas Rahman menunjukkan tanaman yang ia sebut Tempuyung. Tanaman ini daunnya lembut, enak dibuat “kuluban”, apalagi sambil makan di gubuk. Tanaman Tempuyung tumbuh liar di seputar area sawah dan dekat aliran air.
![Tanaman Tempuyung, Tumbuh Liar di Dekat Areal Tanaman Jagung Manis/Dok. Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/27/jagung-064-57484826337b61cf0989edbf.jpg?t=o&v=770)
![Bakal Tingkol Jagung Muda yang Mungil, Enak Langsung Dimakan/Dok. Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/05/27/jagung-070-57484a5c5b7b612d080fb231.jpg?t=o&v=770)
Mengapa Banyak yang Tak Suka Jadi Petani?
Kopdar banyak manfaatnya, berpotensi menambah wawasan pengetahuan dan nambah persaudaraan. Sharing and connecting seperti semboyan Kompasiana dapat saya rasakan. Usai mengunjungi sawah, muncul pertanyaan di benak saya: mengapa banyak sarjana yang tak suka profesi petani?
Mungkin ada yang salah dengan “persepesi diri” terhadap profesi petani. Mungkin pula ada yang salah dengan pembangunan pertanian di negeri ini yang mesti dibenahi. Bagaimana pandangan Anda?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI