Menurutunya, harga jual susu dari peternak ke komunitas penampung produk susu, hanya sekitar Rp 4.000,00 - Rp 4.500,00/liter; sementara itu, komunitas pengepul menjual kembali ke perusahaan pengolah susu. Harganya bisa mencapai Rp 6.000,00 - Rp. 7.000,00-an. Pasalnya, peternak tak dapat menjual langsung ke pabrik pengolah susu, tanpa melalui Koperasi. Di wilayah sini, ada tiga Koperasi Susu, seperti Koperasi Agroniaga dan Koperasi Maju Mapan.
Sungguh pun hasilnya hanya cukup untuk menutupi beaya operasional, justeru Mas Erwin mendapatkan keuntungan dari produk-produk turunannya. Misalnya, Mas Erwin dapat mengolahnya menjadi susu cokelat, seperti yang sempat kami rasakan waktu itu. Untuk mengembangkan suahanya, Mas Erwin bekerja sama denga mitra lainnya di luar komunitas peternak sapi.
Keuntungan produk turunan lainnya adalah pupuk organik. “Tlethong- Tlethong” itu diproses menjadi pupuk kompos atau pupuk organik. Untuk mempercepat proses pembuatan pupuk, ia gunakan media cacing. Menurut Mas Erwin, dalam waktu sehari semalam, tumpukan kotoran sapi cepat terurai bila menggunakan media 1 ton cacing. Kotoran sapi, merupakan salah satu makanan yang disukai dan menjadi perkembangan cacing. Sementara jika menggunakan media berbahan kimia, terurainya bisa berminggu-minggu lamanya.
Menurut Mas Erwin, sebenarnya cacing-cacing itu pun memiliki nilai ekonomis tinggi. Kotoran sapi menjadi santapan empuk dan disuka cacing, sehingga cacingnya pun cepat berkembang. Produk cacingnya sangat potensial untuk dijual. Namun sayang, cacing-cacing yang bibitnya berasal dari cacing jenis Lumbricus Rubellus (cacing Eropa) itu kini sudah bercampur dengan cacing tanah jenis lokal.
Perusahaan ternak cacing seperti CV. RAJ Organik milik Mas Adam yang ada di Sukun kota Malang misalnya, menurut Mas Erwin tak mau menerima cacing yang sudah tercampur dengan jenis cacing lokal. Di sisi lain, Mas Erwin memang sengaja tak menjual cacing-cacing itu. Ia membiarkan mereka berkembang biak bersama cacing lokal.
Apa pertimbangannya? Menurut Mas Erwin, semakin banyak cacingnya, maka kotoran sapi itu semakin cepat terurai. Karena itulah, Mas Erwin lebih memilih fokus untuk mengoptimalkan hasil produk pupuk organiknya dari pada produk cacingnya. Emm.. saya manthuk-manthuk mendengar penjelasan Mas Erwin.
[caption caption="Onggokan pupuk organik dari kotoran sapi, siap dimasukkan dalam kantung-kantung/Dok. Pribadi"]
[caption caption="Pupuk Organik siap Jual, dimasukkan dalam sak-sak. Harganya sekitar Rp 5.000,00 per sak/Dok. Pribadi"]
Ternyata, peternakan sapi hanya dijadikan sebagai mediator untuk menghasilkan produk-produk turunanannya yang lebih bernilai ekonomis. Hemat saya, pemerintah perlu memahami kenyataan ini. Para peternak susu, tidak cukup hanya didorong untuk menghasilkan jenis susu segar yang berkualitas, tetapi juga perlu diintegrasikan dengan pasar-pasar baru yang mampu mampu menyerap hasil produk turunannya. Harus ada inovasi sistem peternakan terpadu, dari hulu sampai hilir (updown streams system).
Tak terasa, jarum penunjuk waktu sudah menunjukkan angka di kisaran 12.30 Wib. Pertanda kami harus segera mohon diri. Setelah meminta izin dan mengucapkan terima kasih kepada Mas Erwin sekeluarga. Kami kemudian meluncur ke masjid untuk menunaikan shalat ashar, selanjutnya menuju Coban Jahe yang eksotis. Wana Wisata itu baru dikembangkan sekitar dua tahun lalu, letaknya di sekitar daerah Pakis, Kapupaten Malang.
Sekali lagi terima kasih Mas Erwin sekeluarga, semoga usaha Anda cepat berkembang dan membawa berkah. Insyaallah, suatu saat kami akan bersilaturakhim kembali. Sungguh, saya kangen susu cokelatnya. Juga ingin nyoba pupuk organiknya untuk tanaman bunga di halaman rumah kami.