Entah memang sudah nasib atau takdir dari sananya atau bukan, nyaris sepanjang kariernya di United, Solskjaer seolah-olah selalu tertepikan lantaran kehadiran penyerang lain. Hidupnya bersama United hampir selalu dimulai dari bangku cadangan, bukan dari jejeran kesebelasan yang berjejer rapi di tengah lapangan untuk menyalami lawan atau mendapatkan jepretan kamera fotografer. Toh, jadi cadangan pun tidak menjadi penghalang. Hampir tiap kali diturunkan sebagai pemain pengganti, Solskjaer bisa memberikan dampak. Dari sinilah julukan 'Super Sub' dicap dalam-dalam pada dirinya --kendati ia sendiri tidak begitu menyukainya. Ada yang bilang, duduk di bangku cadangan justru jadi keuntungan tersendiri buat Solskjaer. Dari bangku cadanganlah ia memperhatikan baik-baik pergerakan lawan sehingga ketika diturunkan, ia bisa mencetak gol atau memberikan efek signifikan lainnya.
Ia tidak pernah mengeluh sekali pun. Ketika Ruud van Nistelrooy didatangkan oleh Ferguson, Solskjaer juga menerima nasibnya sebagai pemain figuran, bukan aktor utama. Baginya, Van Nistelrooy adalah penyerang kelas wahid, seorang bintang utama, dan ia hanya berusaha sebisa mungkin untuk tidak tertinggal terlalu jauh dari bomber asal Belanda itu. Ketika David Beckham dilego ke Real Madrid, Ferguson dengan santainya mengubah posisinya menjadi sayap kanan. Solskjaer memang bukan pengganti sepadan untuk Beckham, tapi ia melakukan tugas barunya itu tanpa sesalan. Solskjaer yang sedemikian selfless inilah Solskjaer yang dikenal oleh banyak pendukung United.
Orang mungkin selamanya bakal mematri ingatan akan Solskjaer sebagai pahlawan United di Camp Nou. Tapi, jauh sebelum malam yang cukup bikin kalut itu, Solskjaer sudah punya momen yang membuat namanya dipuja-puja. Pada musim 1997/1998, musim kedua Solskjaer dan musim pertama di mana United ditinggalkan Eric Cantona, Alex Ferguson memilih untuk tidak memugar skuat besar-besaran. Baginya, mendatangkan Teddy Sheringham --waktu itu sudah berusia 31 tahun--, Henning Berg, dan Erik Nevland sudah cukup. Ferguson menyebut, ia masih punya stok yang sama bagusnya.
Dari satu sisi, kepercayaan Ferguson itu bisa disebut sebagai blunder. United memang sempat melaju kencang, namun begitu cedera pemain menghantam, habislah 'stok yang sama bagusnya' itu. Skuat United tidak cukup dalam untuk melapis para pemain utama. Imbasnya, trofi juara terbang ke tangan Arsenal musim itu.
Seringkali pula, United melakoni pertandingan yang cukup bikin frustrasi diri sendiri. Salah satunya adalah ketika menghadapi Newcastle United di Old Trafford, 18 April 1998. United tertinggal lebih dulu lewat gol Andreas Andersson pada menit ke-11, sebelum akhirnya David Beckham menyamakan kedudukan pada menit ke-38. Di sisa menit pertandingan, kendati pun United berusaha sekeras mungkin untuk membobol gawang The Magpies, keberuntungan tidak berpihak pada mereka. Pertahanan Newcastle terlalu sulit dibongkar hari itu.
Sampai kemudian United nyaris membuat celaka diri sendiri. Saking bernafsunya menyerbu pertahanan lawan, seluruh pemain mereka maju hingga melewati garis tengah lapangan. Umpan silang yang dilepaskan Beckham dari kiri malah menjadi makanan empuk buat Newcastle. Umpan silang itu berhasil dihalau oleh barisan pertahanan Newcastle, dan dalam kelanjutannya, diberikan kepada Robert Lee. Tidak ada yang mengawal Lee ketika itu. Dengan cepat, gelandang Newcastle itu berlari menyambut umpan terobosan yang diberikan kepadanya. Karena seluruh pemain United berada di area pertahanan Newcastle, semua tahu bahaya apa yang mengancam United. Lee tinggal berhadapan satu lawan satu dengan kiper United, Raimond van der Gouw. Gol pun jadi sebuah keniscayaan.
Tapi, Solskjaer, layaknya ia mengendus peluang di depan gawang lawan, mengendus marabahaya yang mengancam timnya itu. Dari kiri, ia berlari secepat mungkin untuk mengejar Lee. Namun, karena kalah langkah, Solskjaer tahu kalau ia tidak akan pernah mendahului Lee. Maka, dengan kesadaran penuh, Solskjaer melakukan tekel dari belakang. Lee terjatuh, gol tidak jadi tercipta. Dan nasib Solskjaer pun jelas: Ia dikartu merah dan diusir dari lapangan. Sungguh sebuah cerita kepahlawanan yang absurd, sekaligus dengan jelas mendeskripsikan betapa selfless-nya Solskjaer. Beckham, yang mengawali petaka tersebut, berlari menghampiri Solskjaer. Ia tahu rekan setimnya itu sudah berkorban. Suka tidak suka, Solskjaer paham bahwa kartu merah itu merupakan kerugian untuk timnya. Dengan tatapan setengah meminta maaf, ia berucap pelan kepada Beckham: "I had to." Beckham tidak peduli, ia justru memberikan tepukan ke kepala rekannya itu --seolah-olah berterima kasih. Sementara itu, Solskjaer berjalan pelan menuju ruang ganti. Old Trafford memberikan tepuk tangan. Pendukung tahu kepahlawanan Solskjaer lebih dari sekadar gol-gol yang ia ciptakan. (detik.com)
Solskjaer adalah gabungan dari semuanya. Kisahnya adalah sintesa dari kegigihan mempertahankan filosofi “tidak ada penyelamatan gemilang, yang ada adalah penyelesaian akhir yang buruk” miliknya sama seperti Van Gaal mempertahankan filosofi ball possession-nya. Kisahnya adalah sintesa dari kecintaan dan kesetiaannya pada klub yang sama selama hidupnya meski selalu ditepikan dan tidak pernah menjadi pemain utama seperti yang dilakukan juga oleh Arbeloa. Kisahnya adalah sintesa dari sifat pendiam dan ketenangan serta perilaku tidak suka memprotes seperti yang dimiliki oleh Pellegrini juga rasa menerima keadaan dan menyisih seperti yang terjadi pada hidup Keith Shadis. Dan lebih dari itu semua, selamanya orang akan mengingat Ole Gunnar Solskjaer sebagai pahlawan nan absurd.
Pertanyaannya, apa yang harus kita lakukan jika kita mengalami apa yang mereka alami? Apakah kita akan bersikap utopis seperti Van Gaal dan Arbeloa? Atau bersikap realistis seperti Pellegrini dan Keith Shadis? Atau melupakan semuanya dan menggabungkan setiap hal seperti yang dilakukan oleh Solskjaer? Apapun yang kita lakukan, hasilnya tidak dapat kita ketahui. Tidak ada persamaan untuk menentukan mana langkah yang benar, karena hidup adalah demikian adanya. Nasib mereka masing-masing pun cenderung berakhir dengan cara yang sama, meskipun jalan yang mereka tempuh untuk menyikapinya berbeda-beda dan dengan perasaan yang berbeda-beda pula. Tapi hidup adalah hidup. Ia terus berjalan tanpa member waktu untuk berhenti sejenak. Mungkin yang diperlukan oleh orang-orang seperti mereka saat ini adalah menyingkir untuk beberapa waktu yang lama, pergi dari segala kebisingan menuju pedesaan atau kota kecil tempat dahulu mereka tinggal, jauh dari keramaian kota besar dan semua yang ada di dalamnya. Mengunjungi rumah yang memiliki kandang ayam, kambing, atau sapi di halamannya. Berjalan-jalan di samping sungai yang mengalir di tempat tinggal mereka yang sunyi dan jauh dari pemberitaan.
Di saat seperti itu, aku jadi teringat sebuah cerita pendek yang ditulis oleh Maggie Tiojakin, berjudul Ichthyologist. Cerita itu pertama kali dikenalkan oleh seorang kawan sebelum kami lulus SMA. Sebuah cerita yang sama, indah tapi absurd. Miris tapi mengundang untuk membacanya. Mungkin seperti itu pulalah hidup beberapa orang. Seperti kawanku itu juga, sudah lama aku tidak mengetahui bagaimana nasibnya. Ah, aku tidak bisa berbuat banyak untuknya. Kini orang lain mengalami apa yang dialaminya. Seperti yang dikatakan, hidup harus mengenal batas dan setiap batas harus mengenal persimpangan jalan.
Aku jadi teringat, SD tempatku sekolah dulu tidak pernah menjadi tokoh utama dalam sejarahnya, dalam hidupnya. Ia hanyalah pemeran pengganti dari SD-SD induk di kecamatan, tidak pernah memenangkan loma, nyaris kosong piala, setiap tahun pun hanya mererima belasan murid tak pernah sampai dua puluh, bahkan sekian tahun sampai saat ini juga masih tidak memiliki perpustakaan, beberapa bagian bangunannya pun sempat runtuh saat aku di sana, beberapa kelas dulu tidak bisa masuk secara penuh, tapi harus bergangtian ada yang masuk pagi dan ada yang masuk siang karena tak cukup ruangan. Ah, barangkali kisah hidup beberapa orang memang menjadi bagian pinggir dari takdir. Lalu apa yang aku lakukan saat ini? Kenapa di saat seperti ini aku lupa dimana aku meletakkan buku dengan cerita Maggie Tiojakin itu?