Mohon tunggu...
M Miftahul Firdaus
M Miftahul Firdaus Mohon Tunggu... Insinyur - Pengagum Soekiman Wirjosandjojo

Pembelajar, Engineer, pengagum Soekiman Wirjosandjojo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hidup: Pertandingan Bola Pingpong Antara Utopia Arbeloa Melawan Realita Keith Sadhis

25 Mei 2016   08:50 Diperbarui: 25 Mei 2016   21:07 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak awal, Shadis merasa bahwa dunia ini berjalan dengan cara yang salah. Semua orang berpikir bahwa mereka hidup aman di dalam dinding tanpa pernah ingin mengetahui dunia luar. Bagaimana, pikir Shadis, bagaimana jika suatu saat para Titan berasil menjebol dinding yang sudah sekian lamanya ada tanpa pernah rusak, dan menerobos masuk? Shadis muak dengan orang-orang yang merasa hidup aman di dalam dinding seperti binatang piaraan. Ia ingin keluar dan mencari cara untuk menaklukkan para Titan. Namun hidup memang harus selalu mengenal batasan dan ketidakadilan. Shadis dengan idealismenya yang seperti itu tidak pernah mendapatkan dukungan dari kerajaan dan para bangsawan. Mereka hidup nyaman dan mewah di bagian terdalam wilayah manusia, sementara anggaran dan persenjataan untuk pasukan Pengintai tak pernah diberikan dengan serius, padahal pasukan Polisi Militer yang bertugas di wilayah dan secara teknis tidak akan pernah berhadapan dengan Titan, hanya kriminal teri musiman, justru mendapatkan fasilitas terbaik dan lulusan-lulusan terbaik pelatihan militerpun direkomendasikan untuk bergabung dengan Polisi Militer, bukan dengan Pasukan Pengintai yang langsung berhadapan dengan Titan.

Ada masa yang singkat dalam hidupnya, saat Shadis tidak menyerah dan memperjuangkan idealisme serta impiannya untuk bisa hidup bebas tanpa dinding. Waktu yang benar-benar singkat. Sejak ia bertemu dengan Grisha Jaeger, seorang misterius yang datang dari luar dinding, Shadis menyadari bahwa untuk dapat menyelamatkan manusia dari ancaman Titan, ia memerlukan kekuatan yang luar biasa dan ia tidak memilikinya. Grisha Jaegerlah yang memilikinya karena ia datang dari luar dinding dan dapat bertahan hidup sekian lama seorang diri. Tapi Grisha Jaeger adalah seorang dokter yang hilang ingatan akan apa yang dilaluinya di luar dinding dan Shadis tidak bisa memunculkan apa sebenarnya kekuatan itu dan membagikannya kepada pasukan manusia yang lain. Ketika ia melihat begitu banyak pasukannya yang mati setiap kali ekspedisi dilakukan, ia mulai merasa kalah dan meyerah.

Sejak seorang wanita tua menanyakan kepada Shadis bahwa kematian anaknya yang menjadi anggota Pasukan Pengintai tidaklah sia-sia, Shadis tidak bisa menjawab, ia hanya bisa menangis, ia telah gagal. Seusai menghadiri pesta pernikahan Grisha dan Carla Jaeger, Shadis menjalankan ekspedisi keluar dinding lainnya. Kali ini juga, pasukannya banyak yang mati, sementara orang tidak berguna seperti dirinya justru tidak mati. Maka ia dan pasukannya pulang. Sejak saat itulah, sejak datang seorang anggita muda pasukannya bernama Erwin Smith yang menawarkan sebuah strategi yang belum pernah dipikirkannya sebelumnya, Shadis merasakan bahwa anak muda itu memiliki kekuatan yang spesial. Maka ia cepat-cepat mengundurkan diri sebagai komandan Pasukan Pengintai dan mengganti dirinya dengan anak muda Smith. Lalu iapun pergi tanpa tujuan dan berakhir menjadi seorang instruktur di Pelatihan Tentara Baru, saat ia bertemu dengan anak Grisha dan Carla Jaeger yang mewarisi kekuatan itu, kekuatan untuk menyelamatkan manusia dalam perang melawan Titan. Saat ia mulai tua, ia dpat melihat bahwa anak itu nantinya tumbuh dan menjadi kekuatan besar di sisi umat manusia melawan Titan. Anak itu, Eren Jaeger, memiliki kekuatan untuk berubah menjadi Titan dan membantu manusia melawan para Titan lainnya. Aku bisa melihatnya tersembunyi di dalam dirimu, begitu kata Shadis, sebuah taring yang luar biasa yang tidak salah lagi adalah milik ayahmu. Begitulah kisah Shadis (Attack on Titan chapter 71). Ia dan Arbeloa berangkat dari idealisme dan impian yang sama dan berakir dengan cara yang sama, tapi melalui jalan yang berbeda, Arbeloa tetap berpegang pada utopianya sementara Shadis menyisih ke dalam realitanya.

Selalu ada variasi dan pengecualian di antara keduanya. Jika kita lihat, Pellegrini, Van Gaal dan Solskjaer adalah variasi dari keduanya. Pellegrini dan Van Gaal sama-sama berangkat sebagai manajer klub yang ditugaskan membenahi klub setelah melalui periode keterpurukan, Pellegrini di City pasca Roberto Mancini dan Van Gaal di MU pasca David Moyes. Keduanyapun berakhir dengan cara yang sama tahun ini, sama-sama dipecat padahal mereka tidak buruk-buruk amat dalam memperbaiki performa klub (Pellegrini dalam tiga tahun membawa 1 gelar liga dan 2 gelar cup sementara Van Gaal dalam dua tahun mendatangkan 1 gelar cup). Keduanya juga mengorbitkan pemain-pemain muda binaan klub (Pellegrini dengan Kelechi Iheanacho dan Van Gaal dengan Marcus Rashford, Jesse Lingard, dan selusin lainnya). Tapi keduanya menempuh jalan yang berbeda.

Pellegrini sejak awal menyadari bahwa ia bukanlah orang yang benar-benar diinginkan direksi Manchester City. Orang-orang dalam jajaran direksi City, seperti Txiki Begiristain, adalah orang-orang yang pernah berperan cukup lama di Barcelona. Maka tak heran mereka menginginkan kesuksesan dan cara bermain seperti Barcelona dan merekapun menginginkan katalisnya, Pep Guardiola sebagai manajer City. Tapi Guardiola lebi memilih Bayern Munich. Toh ia tidak akan selamanya di sana. Pellegrini menyadari bahwa posisinya sebagai manajer sewaktu-waktu dapat pergi jika Guardiola meninggalkan Munich dan bergabung dengan City. Sejak awal berada di City, ia sangat pendiam. Di musim saat Pellegrini menghadirkan gelar juara bagi City, timnya tak menjadi fokus pembicaraan dalam perebutan gelar sebelum periode mendekati akhir musim. Arsenal dan Liverpool era Brendan Rogers - Suarez yang menjadi sorotan utama. Namun tak disangka, di akhir-akhir keduanya terpeleset dan pada bulan Desember 2013, Pellegrini yang pendiam dan tidak diduga, memenangakan Liga Inggris pertamanya. Masa-masa setelahnya Pellegrini juga membawa sejumlah gelar ke City, terakhir tahun 2016 ini ia membawa gelar Piala Liga (League Cup). Namun Pellegrini tetaplah orang yang pendiam dan tidak pernah menjadikan dirinya sebagai sentral dari apapun yang terjadi. Meskipun pembelian klubnya di bursa transfer sangat wah, ia tidak pernah menggembar-gemborkan target yang tinggi apalagi muluk-muluk.

Ia adalah Pellegrini yang berlaku sebagai tokoh dengan sudut pandang pengamat dalam hidupnya sendiri. Ia berlaku seperti Keith Shadis, yang dalam satu-satunya chapter yang menceritakan kisah hidupnya, ia tidak pernah menceritakan kisah hidupnya sendiri, ia menceritakan kisah hidupnya untuk menceritakan kisah hidup yang lebih utama, yang lebih spesial daripada kisahnya yang disebut biasa-biasa saja. Pellegrini sejak ia berada di Madrid pun sebenarenya sudah menjadi manajer pengganti. Madrid menginginkan Mourino tapi Mourinho memilih menukangi Inter Milan dan membawa klub itu menjuarai Liga Champion. Rekor Pellegrini di Madrid juga bisa dibilang baik. Ia membawa klub itu memecahkan jumlah gol dan poin terbanyak dalam semusim (sebelum dipecahkan Mourinho saat bergabung di Madrid beberapa waktu kemudian). Satu-satunya hal yang membuatnya buruk adalah ia finis di Liga di bawah Barcelonanya Guardiola yang menjadi juara di Liga, Copa del Rey, dan juga Liga Champion. Kini, catatan Pellegrini di City yang berhasil mendatangkan tiga gelar dalam tiga tahun dan untuk pertama kalinya dalam sejarah klub lolos ke semifinal Liga Champion, juga tergeser dan akan diganti oleh pemeran utama yang sama, Guardiola. Pellegrini mengatakan semuanya baik-baik saja. Tapi bagaimanapun juga, pada bulan Februari, saat liga bahkan belum sampai di tengah-tengahnya, setelah City mengumumkan akan mengganti Pellegrini dengan Guardiola musim berikutnya, City yang awalnya begitu perkasa dan nyaris selalu berada di posisi pertama tiba-tiba saja mengalami dua kekalahan beruntun pada partai yang penting dalam penentuan gelar juara, diantaranya kekalahan melawan Leicester City, juara musim ini dan sejumlah hasil buruk berlanjut kemudian. Tapi Pellegrini adalah Pellegrini, ia tetap pendiam seperti biasanya. Meskipun ia pernah menyebutkan dalam konferensi pers bahwa penyebab periode buruk City musim ini adalah pengumuman penunjukkan Guardiola yang membuatnya kehilangan kendali di ruang ganti, tapi Pellegrini adalah Pellegrini. Seperti biasa ia adalah Keith Shadis dalam dunia nyata. Ia hanya menjadi pengamat dan tak pernah menjadi pemeran yang spesial. Pengecualian yang terjadi adalah Pellegrini berhasil mendatangkan tiga gelar juara untuk City, tidak seperti Shadis yang gagal mencapai apapun setiap ekspedisinya.

Van Gaal berbeda dengan Pellegrini, ia berjuang sampai akhir untuk menjadi tokoh utama. Dan awalnya ia memang selalu menjadi tokoh utama. Saat membawa timnas Belanda juara tiga Piala Dunia, ia jadi pusat perhatian dengan menerapkan formasi 3-5-2 yang tidak biasa dimainkan Belanda, ia juga membawa pemain-pemain yang keluar jalur dari pameo yang ada, ia juga melakukan sejumlah pergantian pemain yang dramatis selama pertandingan, seperti Huntelar saat melawan Meksiko dan Tim Krul saat adu penalti yang terkenal itu. Saat datang ke MU, pria yang dulunya anak pengupas kentang itu juga datang sebagai tokoh utama. Ia melakukan transfer besar dan menetapkan target besar. Saat fans United dibuat geram dengan filosofi bermainnya yang dianggap membosankan, Van Gaal tetap bersikukuh bahwa itulah yang tepat dilakukan saat ini. Secara hasil, ia terbilang membawa perbaikan pada klub. Ia meloloskan MU di 4 besar pada musim pertama. Di musim ini, ia tidak beruntung karena badai cedera merontokkan timnya. Meski begitu, ia masih berhasil membawa pulang Piala FA dan finis di urutan kelima. Tidak buruk untuk tahap transisi dan ini juga trofi kompetitif pertama pasca era Sir Alex Ferguson.  Tapi Van Gaal, seperti halnya Arbeloa, rupanya sudah tidak dianggap lagi sebagai tokoh utama. Permainan yang biasa-biasa saja, hasil yang biasa-biasa saja, lama-kelamaan fans United menepikan Van Gaal dan meneriakkan nama Mourino untuk datang, sama seperti saat posisi Arbeloa lama-kelamaan digeser oleh Sergio Ramos dan Pepe, lalu ditambah kemunculan Raphael  Varane dan Danilo. Mereka tidak lagi menjadi tokoh utama. Masa mereka berpegang teguh pada idealisme mereka, Arbeloa dengan Madridismo-nya dan Van Gaal dengan ball possession-nya, harus menerima kenyataan bahwa hidup memang harus mengenal batas. Dan saat ini, hengkang adalah satu-satunya jalan. Pengecualiaanya adalah, Van Gaal pergi dengan teriakan boo, sementara Arbeloa pergi sembari dielu-delukan seperti pahlawan.

Sintesis dari kedua sisi itu beserta pengecualiannya, barangkali adalah Ole Gunnar Solskjaer. Seorang pahlawan nan absurd. Begitulah julukan yang pantas untuknya. Tidak ada yang menyangka, anak muda berusia 23 tahun yang didatangkan Ferguson dari Molde itu akan berubah menjadi salah satu penyerang paling legendaris dalam sejarah Manchester United. Bahkan, mungkin Solskjaer sendiri tidak menyangkanya. Ketika didatangkan dari Molde, cita-cita Solskjaer sederhana saja, tidak langsung muluk-muluk atau bermimpi yang indah-indah dengan menjadi pencetak gol terbanyak Premier League, menjadi pencetak gol terbanyak dalam sejarah klub, atau yang semacamnya. Sebab, siapa juga dirinya waktu itu? Terkenal saja tidak. Apalah dirinya jika dibandingkan dengan Shearer.

 Solskjaer mengira dirinya hanya didatangkan sebagai pemain cadangan. Cuma jadi pelapis Eric Cantona. Makanya, ia tahu diri. Bisa mendapatkan kesempatan main satu atau dua kali saja bersama tim utama dikiranya sudah bagus. Kini, Solskjaer layak untuk menertawai dirinya sendiri kalau ingat, pada musim perdananya itu, ia justru mencetak 18 gol dan menjadi pencetak gol terbanyak klub di liga. Sisanya adalah sejarah: Kita (atau mungkin Anda, penggemar United) mengenal Solskjaer sebagai pahlawan United di Camp Nou, tempat United meraih gelar Liga Champions sekaligs memparipurnakan musim mereka dengan treble.

 Lewat kaki Solskjaer-lah frase "And Solskjaer has won it!" berdengung nyaring di telinga pendukung United sampai sekarang. Frase itu dengan pas dan gamblang menggambarkan bagaimana satu sepakan kaki kanannya mengoyak gawang Bayern Munich, membuat seluruh isi bangku cadangan United berlarian ke pinggir lapangan, dan membuat Samuel Kuffour menangis sejadi-jadinya. Malam itu di Camp Nou, di Barcelona, Solskjaer telah memenangi hati pendukung United mana pun.

Kita kemudian lupa bahwa ia dibeli hanya sebagai pelapis. Bahkan pada musim di mana ia menjadi pahlawan itu pun, dirinya hanya jadi pelapis. Begitu Andy Cole dan Dwight Yorke menemukan chemistry yang tidak bisa diganggu gugat, apeslah Solskjaer. Ia harus menepi ke bangku cadangan. Ada cerita yang mengatakan, sesungguhnya Solskjaer nyaris dijual ke Tottenham Hotspur sebelum musim dimulai. Spurs sudah mengajukan tawaran, namun ia sendiri yang menolaknya. Kini, setelah kita semua tahu apa yang dilakukannya di pengujung musim, kita bisa membayangkan dalam pengandaian, bagaimana jika ia menerima pinangan Spurs waktu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun