Mohon tunggu...
M Guntur Sandi Pratama
M Guntur Sandi Pratama Mohon Tunggu... Penulis - Studi Agama-Agama

Alumnus jurusan Studi Agama-Agama, fakultas Ushuluddin dan Studi Agama, UIN Raden Intan Lampung

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menyelami Lubuk Ketuhanan: Tuhan dalam Pikiran Filsuf dan Teolog

11 April 2022   05:57 Diperbarui: 11 April 2022   08:15 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

PERTAMA-TAMA kita harus mengetahui bahwa hampir kebanyakan pemikiran dasar manusia ketika memahami persoalan ke-Tuhan-an yang dia sembah, dia hanya memahaminya sebatas kata-kata—disini bukan—dalam artian orang-orang yang berwawasan ilmiah atau filosofis dan bukan juga pengamal Tasawuf (Sufi) yang sudah mencapai derajat “ma’rifat” tertinggi terhadap ilmu ketuhanan.

Penulis membahas orang-orang awam atau dalam istilah filsafat disebut dengan Common Sensse (pandangan umum) yang dimana Tuhan dalam sudut pandang mereka digambarkan sebagai sebuah simbol, tidak meyakini Tuhan sampai pada hakikatnya. Justru yang uniknya adalah memahami hakikat Tuhan hanya sekedar sebutan nama saja. Misalkan disebut Tuhannya orang Islam bernama Allah, dia memahaminya secara harfiah, dia yakin bahwa Tuhan itu sebuah tulisan di papan tulis atau tulisan disebuah buku, atau kata-kata yang terucap dalam mulutnya saja, menurutnya pula itulah Tuhan yang dimaksud. Padahal tidaklah demikian. Kita harus mengetahuinya bahwa Tuhan bukan kata-kata atau lafal yang dibaca.

Seandainya mereka mencari, menelaah dan memahami semua itu pastilah kita akan menemukan apa inti dan makna dibalik kata Tuhan tersebut, yang kalau diistilahkan seperti “kedalaman pemahaman religius” terhadap sesuatu yang gaib.

Dalam pandangan orang Islam, Tuhan yang Maha Absolut, Maha Besar, dan Maha Segala-galanya disebut dengan nama Allah, ejaannya A-L-L-A-H. Kemudian kita melihat manusia dari berbagai latar belakang sejarah, pemahaman, agama, sekte dan kebudayaan yang berbeda mengakui adanya kekuatan lain di alam semesta ini, mereka mempunyai sasaran atau tujuan penyembahan atau sesuatu “Yang Kuasa” untuk disembah. Mereka menyebutnya Tuhan, Allah, God, Dewa, El, Ilah, El-Ilah, Lamatu’ak, Debata, Gusti Pangeran, Deo, Teos, atau penyebutan lain sesuai dengan konteks dan bahasa masyarakat yang menyebah-Nya. Penyebutan ini menunjukan, manusia percaya bahwa yang disembah itu adalah Dzat yang benar-benar ada; mereka pun memberi hormat dan taat pada-Nya. Mereka rela berkorban demi ritual-ritual-Nya.

Prof. Dr. Quraish Shihab, M.A, seorang pakar tafsir al-Qur’an Indonesia dan juga penulis kitab Tafsir Al-Mishbah, dalam bukunya yang lain, Islam Yang Saya Pahami ia menjelaskan, dalam Qur’an Tuhan memperkenalkan diri-Nya dengan nama Allah. QS. Thaha [20] : 14, Allah menyatakan, “Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk mengingat-Ku.” Sementara itu ulama menyatakan bahwa asal kata ALLAH adalah ILAH yang dibubuhi Alif dan Lam, dan dengan demikian Allah merupakan nama khusus karena itu tidak dikenal bentuk jamaknya. Sedangkan Ilah adalah nama yang bersifat umum dan dapat berbentuk jamak.

Kemudian Quraish Shihab menjelaskan lagi, bahwa penggunaan bahasa Arab pada masa Jahiliah mengaku Tuhan yang dikenal oleh benak mereka adalah Tuhan Pencipta, berbeda dengan tuhan-tuhan lain yang juga mereka sembah. Selanjutnya dalam perkembangan lebih jauh dan dengan alasan mempermudah, kata ini terucapkan Allah dan menjadi nama khusus bagi Pencipta dan Pengatur alam raya wajib-wujud-Nya.

Kita selaku orang yang percaya dan beriman kepada Allah tidak boleh terhenti pada kalimat itu, dalam pandangan kaum Sufi—tentu kita akan menduakan Tuhan—terminologisnya ialah perbuatan syirik. Sebab ALLAH yang dia pahami hanya sebuah kalimat yang disusun. Kalau dicontohkan, “saya menyebut-nyebut Tuhan, artinya saya menyebut lafal Tuhan”. Maka tergelitik dari hal itu, para pemikir Islam dan ulama tidak memahami “ALLAH” sebagai uraian kata-kata.

Untuk memami penjelasan-penjelasan yang sudah dijabarkan, lebih baik kita melihat dari sudut pandang filosofis—karena disini penulis bergelut dengan dunia filsafat—jelaslah bahwa yang dimaksudkan adalah penyebutan “ilahi”, secara rasional dan masuk akal menurut para pemikir tentang filsafat ketuhanan adalah berbicara pada tatanan ontologi “ketuhanan” itu sendiri.

Dr. Harry Hamersma seorang ahli filsafat menulis buku berjudul Persoalan Ketuhananan Dalam Wacana Filsafat menyoali sejumlah pemikir bahwa ‘Allah’ yang dibicarakan dalam filsafat, sama sekali berbeda dari ‘Allah’ menurut iman. Plato, Aristoteles, Plotinus, Agustinus, Thomas, Descartes, Spinoza, Leibniz, Kant dan Hegel, semua mengakui adanya seuatu realitas tertinggi, dan memahami itu semua ‘Allah’. Tetapi isi konsep ‘Allah’ tidak sama. Bagi Plato misalnya, Allah itu lebih sebagai “Ide Kebaikan”; bagi Aristoteles sebab pertama; bagi Spinoza ‘alam’; sedangkan bagi Plotinus “Yang Esa”.

Nama-nama yang dalam filsafat dipakai dalam untuk yang ilahi biasanya abstrak. Yang Ilhi disebut ‘Mengada’ (Esse), ‘Letting-be’, ‘Subtansi’, ‘Roh Mutlak’, ‘Natura naturans’, ‘Penyebab dirinya sendiri (Causa Sui)’. ‘Sebab Pertama’. Nama-nama dari agama jauh lebih kongkert [lihat Harry Hamersma, 2014: 19].

Nama-nama yang dalam filsafat dipakai dalam untuk yang ilahi biasanya abstrak. Yang Ilhi disebut ‘Mengada’ (Esse), ‘Letting-be’, ‘Subtansi’, ‘Roh Mutlak’, ‘Natura naturans’, ‘Penyebab dirinya sendiri (Causa Sui)’. ‘Sebab Pertama’. Nama-nama dari agama jauh lebih kongkert [lihat Harry Hamersma, 2014: 19].

Hal diatas menjelaskan tentang nama-nama “Ilahi” tentang suatu istilah atau nama apa yang mau disebut untuk menggambarkan Tuhan yang begitu besarnya. Dengan pemberian makna secara filosofis, para filsuf mengidentifikasikan bahwa Tuhan memang benar-benar ada. Sehingga pemberian nama dan istilah juga berbeda-beda. Disinilah letak konsep dan bahasa “ilahi” untuk memahami gagasan universal sebagai fitrah manusia.

Konsep filosofis tentang Tuhan terutama kata “Allah” dalam pandangan filosofis, bermaksud memberikan pengertian tentang adanya dzat universal dalam pemikiran ketuhanan para filsuf. Para filsuf memberi konsep-konsep yang berbeda.

Plato (427-437 SM) menandaskan kemutlakan Allah (dalam dialog-dialog awalnya), hubungan dengan dunia perubahan (dalam dialog-dialog pertengahan) dan kedua-duanya (dalam dialog akhirnya).

Aristoteles menegaskan kemutlakan Allah, memahami yang ilahi sebagai penggerak pertama yang tak digerakan dan sebab final yang dengannya semua berhubungan, sambil tetap bebas dan sempurna dan tidak berhubungan dengan apa pun juga.

Santo Agustinus memandang keberadaan tak terbatas Allah sedemikian kaya sehingga pernyataan-peryataan yang kelihataannya bertentangan dapat terapkan pada-Nya. Paham ini diterima oleh pengikut-pengikut Agustinus pada Abad Pertengahan.

Avicenna (Ibnu Sina 980-1037 M) berpendapat bahwa dalam Allah esensi dan eksistensi identik, sementara dalam semua yang lain berbeda. Averroes (Ibnu Rusyd) memandang Allah sebagai kekal dan absolut. Namun begitu Allah mengetahui esensi segala sesuatu. Anselemus mendefinisikan Allah sebagi Ada Tertinggi; Mutlak tetapi Mahatahu.

Thomas Aquinas mempunyai pandangan yang sama. Kendati pengikut Aristoteles, ia beranggapan bahwa Allah mengetahui segala hal-hal yang khusus melalui pengetahuannya melalui diri-Nya sendiri, dan tentang esensi hal-hal yang termuat dalam pengetahuan itu. Aquinas mengangkat pemikiran Avicenna (Ibnu Sina) mengenai identitas esensi dan eksistensi dalam Allah.

Baruch de Spinoza (1632- 1677) misalnya memandang alam itu adalah Tuhan itu sendiri. Spinoza sendiri adalah seorang Panteis. Ia bahkan dicap “kafir” dikalangannya sendiri yaitu kalangan Yahudi.

Seorang Sufi menghyati Tuhan dengan makna cinta (mahabbah) sebagaimana dalam perjalanan spiritual Rabbi’ah Al-Adawiyah, ia tenggelam dalam kedalaman makna Tuhan atau Allah itu sendiri dalam penghayatan yang amat dalam.  Karena bagi Rabiah memahami Tuhan yang sejati adalah memahami Tuhan Yang Maha Cinta. Rabi’ah dikenal sebagai wanita Sufi yang sangat zuhud, hari-harinya diisi dengan ibadah dan bercinta dengan kekasih-Nya (Allah).

Al-Hallaj (lahir 858 M) seorang Sufi yang terkenal dengan pandangan Hulul (bersatunya dengan Tuhan) memahami gagasan Tuhan sebagai realitas Al-Haq “kebenaran” yang sangat sulit dipahami orang awam bahkan sekelas ulama fiqh pun sukar memahaminya sehingga Al-Hallaj ini difatwakan sebagai orang yang zindiq, dan ia harus mati di tiang gantung karena ucapan-ucapannya yang “nyeleneh” itu. Baginya segala realitas alam semesta adalah pancaran Tuhan, bahkan dirinya sendiri mengungkapkan ke-“tidak-ada”-an akan dirinya tersebut. Artinya apa? Kita memang benar-benar tidak ada, yang ada hanya Allah semata. Maka dari itu, benar saja Al-Hallaj berkata “Aku adalah Allah” dengan musyahadah yang sebenar-benarnya tanpa keraguan, karena Hallaj benar-benar beriman atas realitas yang meliputi dirinya.

Al-Hallaj sebenarnya mengungkapkan perasaannya bersatu dengan Tuhan yang begitu dekatnya  sehingga dia merasa seakan-akan berada dalam satu identitas dengan Tuhan. Prof. Dr. Hamka seorang praktisi tasawuf akhlaki membagi tiga pemikiran inti dari Al-Hallaj, dalam bukunya Perkembangan & Pemurnian Tasawuf: (1) Hulul, yaitu Ketuhanan (Lahut), menjelma menjadi insan (Nasut); (2) Alhaqiqatul Muhammadiyyah yaitu Nur Muhammad sebagai asal-usul segala kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan, dan dengan perantara-Nyal-lah seluruh alam dijadikan; dan (3) kesatuan agama.

Penjelasan di atas menggambarkan tentang hakikat pengalaman keagamaan Al-Hallaj dengan gagasan kebersatuannya, Rabi’ah dengan kecintaannya memberikan pemahaman kepada kita bahawa sesungguhnya Tuhan selalu bersama kita dimana pun berada. Disini karena penulis memahami mereka sebagai orang-orang Tasawuf, itu dalam katergori mistik yang bersifat subyektif, jadi pandangan-pandangan dan pengalaman mereka hanya mereka saja yang mengetahuinya.

Pada dasarnya, manusia memiliki kesadaran “religius” tentang cinta dan kedekatan kepada Allah tersebut. Manusia memiliki imajinasi yang kuat bahwa dengan merasakan kedekatan batiniah terhadap Tuhan akan selalu membuat hati merasa tenang. Dengan cinta hati akan mudah melakukan segala seuatu, seperti seorang yang dimabuk asmara, apa pun akan dikorbankan bahkan tubuhnya sendiri pun akan dikorbankan demi Sang Kekasih, karena apabila seorang yang dicintainya pergi, ia akan merasakan sakit hati. Maka hal tersebut bisa tercermin dalam kehidupan rohani para Sufi, yang memiliki hubungan intim dengan Tuhan sehingga lupa akan segalanya.

Etinne Gilson menulis buku yang cukup mengesankan pembaca mengenai pemikiran filsafat ketuhanan, ia memberi judul, God and Philosophy edisi penerbitan bahasa Indonesia Tuhan di Mata para Filosof (Mizan, Bandung). Buku ini menceritakan dengan bahasa yang agak sedikit berbobot tentang dalil-dalil, konsep-konsep dan makna-makna filosofis tentang Tuhan, dan ke-tidak-ada-annya bagi mereka yang menganut Ateisme, Agnostik dan sejenisnya, sejak masa Yunani sampai Era-Kontemporer (abad 20) sekarang. Dalam pemaparannya, para filsosof berupaya dengan sungguh-sungguh memecahkan teka-teki metafisika yang menghantui pikiran manusia tentang hubungan dirinya dengan Sang Pencipta, alam semesta, dan kehidupan. Maka dari itu, buku itu lebih tepatnya seperti teks sejarah pemikiran atau filsafat ketuhanan manusia.

Dalam buku Tuhan di Mata para Filosof inilah kesungguhan dalam menimbang sejarah seperti menuntut suatu keterlibatan bukannya dengan sekumpulan para “Penghujat Tuhan” pada abad ke-19 dan abad ke-20 (yaitu Karl Marx, Charles Darwin, dan Sigmund Freud, tentu ditambah Friederich Nietzsche)—sebagaimana yang kiranya  diduga-duga orang—melainkan terutama dengan Imanuel Kant (1724-1804) dan kritik-krtikannya. Oleh karena, seperti yang dikatakan Gilson, “Permasalahan mengenai Tuhan dewasa ini sepenuhnya didominasi oleh pemikiran Imanuel Kant dan Auguste Comte,” [lihat kata prakata Jarloslav Pelikan pada buku tersebut].

Pada kata prawacana bukunya Etinne Gilson ini pula, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat Guru Besar Filsafat UIN Syarif Jakarta, tersebut menjelaskan bahwa setiap cabang ilmu tampaknya mempunyai premis atau pijakan serta cara pandang berbeda-beda sehingga gambaran tentang Tuhan ditampilkan juga berbeda. Misalnya saja, dalam tradisi ilmu kalam (Teologi Islam), Tuhan lebih diposisikan sebagai Sang Pencipta (al-Khaliq), sementara sementara semua realitas yang lain disebut ciptaan-Nya (makhluq). Lalu dalam tradisi ilmu fiqh, Tuhan lebih dihayati sebagai Sang Hakim, sehingga relasi antara Tuhan dan manusia adalah relasi perintah, larangan, dan hukuman. Lain lagi tradisi Tasawuf yang senang menggambarkan Tuhan sebagai Sang Kekasih, yang kepada-Nya puncak cinta dan rindu manusia hendaknya diarahkan. Lalu bagaimana dalam tradisi filsafat? Ada beberapa istilah yang lazim dipakai dalam literartur filsafat untuk merujuk Tuhan, anatara lain Being qua Being, The Absolut Being, Zat Yang Wajib Wujud-Nya, Sumber segala Wujud, dan lain sebagainya, yang semua istilah itu memang merupakan kontruksi nalar dan untuk bisa memahami kandungan maksudnya memang diperlukan penalaran serius dan sistematis [lihat Komaruddin Hidayat dalam prakata, 2004: 15].

Buku Etinne Gilson ini mirip seperti buku karya Karen Amstrong yang berjudul Sejarah Tuhan (Edisi Mizan, 2017) diterbitkan dari judul aslinya A History of God yang menjadi best seller dipasaran. Hanya saja karya Etinne Gilson tidak membahas filsafat ketuhanan dalam Islam. Berbeda dengan Gilson, Karen Amstrong memasukan konsep ketuhanan Islam di dalam salah satu bab pada bukunya itu. Karen menjelaskan dengan sangat bagus, bahwa sesunggunya dimensi ketuhanan Islam tidak hanya bersifat dogmatis semata melainkan sisi filosofis sekaligus rasionalnya juga dikupas. Hal itu bisa ditemukan dalam pemikiran madzhab Mu’tazilah yang terkenal dengan teologi rasionalnya. Ia menyajikan bahwa sebenarnya akal manusia mampu mendeteksi wujud (ada) Tuhan, meskipun kebanyakan ahli kalam dalam madzhab Ahlu Sunnah menfatwakan aliran Mu’tazilah ini telah menyimpang dari al-Qur’an dan Sunnah karena ta’wil-nya yang keliru dan penafsirannya yang salah.

Tetapi yang lebih mencengangkan lagi adalah fakta sejarah berkata lain, Mu’tazilah banyak memberikan sumbangsih pemikiran pada kaum Muslimin atas jasa-jasanya terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, yang sampai saat ini kita nikmati. Hal ini tercatat dalam Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam karya Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahra.

Sejarah telah mencatat dalam pemikiran umat Islam seperti pembesar dan ulama Mu’tazilah, Imam Asy’ari (878-941 M) yang beralih madzhab kepada aliran tradisionalis dan mempelajari hadist. Asy’ari mencoba mencari jalan tengah terhadap akal intelektual dan wahyu. Ia memandang bahwa akal harus disejajarkan dengan iman. Ia mengkritik madzhab yang ia anut sebelumnya (Mu’tazilah) yang menurutnya telah keluar dari kaidah Al-Qur’an dan Sunnah. Maka Asy’ari mendirikan gerakan yang disebut Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah (Islam Sunni), madzhab yang banyak diikuti oleh umat Islam sekarang. Dalam pemikiran Asy’ari Tuhan wajib memiliki sifat, sebagai akidah dasar pemahamannya. Ia memahami Qur’an sebagaimana Kalamullah (ucapan Allah) yang bersifat Qadim (terdahulu), tidak seperti Mu’tazilah yang berpandangan Qur’an adalah makhluk. Itulah hal yang terpenting dalam madzhab Asy’ari.

Apa yang telah dipaparkan di atas sebenarnya adalah buah renungan yang mendalam tentang pencarian identitas manusia terhadap apa yang disebut dengan Tuhan. Manusia selalu resah dan terganggu atas ketidakpuasannya dalam memahami hidup yang terkadang sempit. Manusia mencari kekuatan gaib diluar dirinya sebagai pelindung atas dirinya sendiri.

Kita harus jujur dengan kehidupan, bahwa semuanya adalah kehendak-Nya sehingga kita tercipta dari ketiadaan menjadi “ada” sehigga kita mampu memahami Tuhan bukan sekedar bacaan dan lafal semata.

Tulisan ini adalah tulisan ketika saya masih semester 4 di jurusan Studi Agama-Agama UIN RIL

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun