Hal diatas menjelaskan tentang nama-nama “Ilahi” tentang suatu istilah atau nama apa yang mau disebut untuk menggambarkan Tuhan yang begitu besarnya. Dengan pemberian makna secara filosofis, para filsuf mengidentifikasikan bahwa Tuhan memang benar-benar ada. Sehingga pemberian nama dan istilah juga berbeda-beda. Disinilah letak konsep dan bahasa “ilahi” untuk memahami gagasan universal sebagai fitrah manusia.
Konsep filosofis tentang Tuhan terutama kata “Allah” dalam pandangan filosofis, bermaksud memberikan pengertian tentang adanya dzat universal dalam pemikiran ketuhanan para filsuf. Para filsuf memberi konsep-konsep yang berbeda.
Plato (427-437 SM) menandaskan kemutlakan Allah (dalam dialog-dialog awalnya), hubungan dengan dunia perubahan (dalam dialog-dialog pertengahan) dan kedua-duanya (dalam dialog akhirnya).
Aristoteles menegaskan kemutlakan Allah, memahami yang ilahi sebagai penggerak pertama yang tak digerakan dan sebab final yang dengannya semua berhubungan, sambil tetap bebas dan sempurna dan tidak berhubungan dengan apa pun juga.
Santo Agustinus memandang keberadaan tak terbatas Allah sedemikian kaya sehingga pernyataan-peryataan yang kelihataannya bertentangan dapat terapkan pada-Nya. Paham ini diterima oleh pengikut-pengikut Agustinus pada Abad Pertengahan.
Avicenna (Ibnu Sina 980-1037 M) berpendapat bahwa dalam Allah esensi dan eksistensi identik, sementara dalam semua yang lain berbeda. Averroes (Ibnu Rusyd) memandang Allah sebagai kekal dan absolut. Namun begitu Allah mengetahui esensi segala sesuatu. Anselemus mendefinisikan Allah sebagi Ada Tertinggi; Mutlak tetapi Mahatahu.
Thomas Aquinas mempunyai pandangan yang sama. Kendati pengikut Aristoteles, ia beranggapan bahwa Allah mengetahui segala hal-hal yang khusus melalui pengetahuannya melalui diri-Nya sendiri, dan tentang esensi hal-hal yang termuat dalam pengetahuan itu. Aquinas mengangkat pemikiran Avicenna (Ibnu Sina) mengenai identitas esensi dan eksistensi dalam Allah.
Baruch de Spinoza (1632- 1677) misalnya memandang alam itu adalah Tuhan itu sendiri. Spinoza sendiri adalah seorang Panteis. Ia bahkan dicap “kafir” dikalangannya sendiri yaitu kalangan Yahudi.
Seorang Sufi menghyati Tuhan dengan makna cinta (mahabbah) sebagaimana dalam perjalanan spiritual Rabbi’ah Al-Adawiyah, ia tenggelam dalam kedalaman makna Tuhan atau Allah itu sendiri dalam penghayatan yang amat dalam. Karena bagi Rabiah memahami Tuhan yang sejati adalah memahami Tuhan Yang Maha Cinta. Rabi’ah dikenal sebagai wanita Sufi yang sangat zuhud, hari-harinya diisi dengan ibadah dan bercinta dengan kekasih-Nya (Allah).
Al-Hallaj (lahir 858 M) seorang Sufi yang terkenal dengan pandangan Hulul (bersatunya dengan Tuhan) memahami gagasan Tuhan sebagai realitas Al-Haq “kebenaran” yang sangat sulit dipahami orang awam bahkan sekelas ulama fiqh pun sukar memahaminya sehingga Al-Hallaj ini difatwakan sebagai orang yang zindiq, dan ia harus mati di tiang gantung karena ucapan-ucapannya yang “nyeleneh” itu. Baginya segala realitas alam semesta adalah pancaran Tuhan, bahkan dirinya sendiri mengungkapkan ke-“tidak-ada”-an akan dirinya tersebut. Artinya apa? Kita memang benar-benar tidak ada, yang ada hanya Allah semata. Maka dari itu, benar saja Al-Hallaj berkata “Aku adalah Allah” dengan musyahadah yang sebenar-benarnya tanpa keraguan, karena Hallaj benar-benar beriman atas realitas yang meliputi dirinya.
Al-Hallaj sebenarnya mengungkapkan perasaannya bersatu dengan Tuhan yang begitu dekatnya sehingga dia merasa seakan-akan berada dalam satu identitas dengan Tuhan. Prof. Dr. Hamka seorang praktisi tasawuf akhlaki membagi tiga pemikiran inti dari Al-Hallaj, dalam bukunya Perkembangan & Pemurnian Tasawuf: (1) Hulul, yaitu Ketuhanan (Lahut), menjelma menjadi insan (Nasut); (2) Alhaqiqatul Muhammadiyyah yaitu Nur Muhammad sebagai asal-usul segala kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan, dan dengan perantara-Nyal-lah seluruh alam dijadikan; dan (3) kesatuan agama.