Penjelasan di atas menggambarkan tentang hakikat pengalaman keagamaan Al-Hallaj dengan gagasan kebersatuannya, Rabi’ah dengan kecintaannya memberikan pemahaman kepada kita bahawa sesungguhnya Tuhan selalu bersama kita dimana pun berada. Disini karena penulis memahami mereka sebagai orang-orang Tasawuf, itu dalam katergori mistik yang bersifat subyektif, jadi pandangan-pandangan dan pengalaman mereka hanya mereka saja yang mengetahuinya.
Pada dasarnya, manusia memiliki kesadaran “religius” tentang cinta dan kedekatan kepada Allah tersebut. Manusia memiliki imajinasi yang kuat bahwa dengan merasakan kedekatan batiniah terhadap Tuhan akan selalu membuat hati merasa tenang. Dengan cinta hati akan mudah melakukan segala seuatu, seperti seorang yang dimabuk asmara, apa pun akan dikorbankan bahkan tubuhnya sendiri pun akan dikorbankan demi Sang Kekasih, karena apabila seorang yang dicintainya pergi, ia akan merasakan sakit hati. Maka hal tersebut bisa tercermin dalam kehidupan rohani para Sufi, yang memiliki hubungan intim dengan Tuhan sehingga lupa akan segalanya.
Etinne Gilson menulis buku yang cukup mengesankan pembaca mengenai pemikiran filsafat ketuhanan, ia memberi judul, God and Philosophy edisi penerbitan bahasa Indonesia Tuhan di Mata para Filosof (Mizan, Bandung). Buku ini menceritakan dengan bahasa yang agak sedikit berbobot tentang dalil-dalil, konsep-konsep dan makna-makna filosofis tentang Tuhan, dan ke-tidak-ada-annya bagi mereka yang menganut Ateisme, Agnostik dan sejenisnya, sejak masa Yunani sampai Era-Kontemporer (abad 20) sekarang. Dalam pemaparannya, para filsosof berupaya dengan sungguh-sungguh memecahkan teka-teki metafisika yang menghantui pikiran manusia tentang hubungan dirinya dengan Sang Pencipta, alam semesta, dan kehidupan. Maka dari itu, buku itu lebih tepatnya seperti teks sejarah pemikiran atau filsafat ketuhanan manusia.
Dalam buku Tuhan di Mata para Filosof inilah kesungguhan dalam menimbang sejarah seperti menuntut suatu keterlibatan bukannya dengan sekumpulan para “Penghujat Tuhan” pada abad ke-19 dan abad ke-20 (yaitu Karl Marx, Charles Darwin, dan Sigmund Freud, tentu ditambah Friederich Nietzsche)—sebagaimana yang kiranya diduga-duga orang—melainkan terutama dengan Imanuel Kant (1724-1804) dan kritik-krtikannya. Oleh karena, seperti yang dikatakan Gilson, “Permasalahan mengenai Tuhan dewasa ini sepenuhnya didominasi oleh pemikiran Imanuel Kant dan Auguste Comte,” [lihat kata prakata Jarloslav Pelikan pada buku tersebut].
Pada kata prawacana bukunya Etinne Gilson ini pula, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat Guru Besar Filsafat UIN Syarif Jakarta, tersebut menjelaskan bahwa setiap cabang ilmu tampaknya mempunyai premis atau pijakan serta cara pandang berbeda-beda sehingga gambaran tentang Tuhan ditampilkan juga berbeda. Misalnya saja, dalam tradisi ilmu kalam (Teologi Islam), Tuhan lebih diposisikan sebagai Sang Pencipta (al-Khaliq), sementara sementara semua realitas yang lain disebut ciptaan-Nya (makhluq). Lalu dalam tradisi ilmu fiqh, Tuhan lebih dihayati sebagai Sang Hakim, sehingga relasi antara Tuhan dan manusia adalah relasi perintah, larangan, dan hukuman. Lain lagi tradisi Tasawuf yang senang menggambarkan Tuhan sebagai Sang Kekasih, yang kepada-Nya puncak cinta dan rindu manusia hendaknya diarahkan. Lalu bagaimana dalam tradisi filsafat? Ada beberapa istilah yang lazim dipakai dalam literartur filsafat untuk merujuk Tuhan, anatara lain Being qua Being, The Absolut Being, Zat Yang Wajib Wujud-Nya, Sumber segala Wujud, dan lain sebagainya, yang semua istilah itu memang merupakan kontruksi nalar dan untuk bisa memahami kandungan maksudnya memang diperlukan penalaran serius dan sistematis [lihat Komaruddin Hidayat dalam prakata, 2004: 15].
Buku Etinne Gilson ini mirip seperti buku karya Karen Amstrong yang berjudul Sejarah Tuhan (Edisi Mizan, 2017) diterbitkan dari judul aslinya A History of God yang menjadi best seller dipasaran. Hanya saja karya Etinne Gilson tidak membahas filsafat ketuhanan dalam Islam. Berbeda dengan Gilson, Karen Amstrong memasukan konsep ketuhanan Islam di dalam salah satu bab pada bukunya itu. Karen menjelaskan dengan sangat bagus, bahwa sesunggunya dimensi ketuhanan Islam tidak hanya bersifat dogmatis semata melainkan sisi filosofis sekaligus rasionalnya juga dikupas. Hal itu bisa ditemukan dalam pemikiran madzhab Mu’tazilah yang terkenal dengan teologi rasionalnya. Ia menyajikan bahwa sebenarnya akal manusia mampu mendeteksi wujud (ada) Tuhan, meskipun kebanyakan ahli kalam dalam madzhab Ahlu Sunnah menfatwakan aliran Mu’tazilah ini telah menyimpang dari al-Qur’an dan Sunnah karena ta’wil-nya yang keliru dan penafsirannya yang salah.
Tetapi yang lebih mencengangkan lagi adalah fakta sejarah berkata lain, Mu’tazilah banyak memberikan sumbangsih pemikiran pada kaum Muslimin atas jasa-jasanya terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, yang sampai saat ini kita nikmati. Hal ini tercatat dalam Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam karya Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahra.
Sejarah telah mencatat dalam pemikiran umat Islam seperti pembesar dan ulama Mu’tazilah, Imam Asy’ari (878-941 M) yang beralih madzhab kepada aliran tradisionalis dan mempelajari hadist. Asy’ari mencoba mencari jalan tengah terhadap akal intelektual dan wahyu. Ia memandang bahwa akal harus disejajarkan dengan iman. Ia mengkritik madzhab yang ia anut sebelumnya (Mu’tazilah) yang menurutnya telah keluar dari kaidah Al-Qur’an dan Sunnah. Maka Asy’ari mendirikan gerakan yang disebut Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah (Islam Sunni), madzhab yang banyak diikuti oleh umat Islam sekarang. Dalam pemikiran Asy’ari Tuhan wajib memiliki sifat, sebagai akidah dasar pemahamannya. Ia memahami Qur’an sebagaimana Kalamullah (ucapan Allah) yang bersifat Qadim (terdahulu), tidak seperti Mu’tazilah yang berpandangan Qur’an adalah makhluk. Itulah hal yang terpenting dalam madzhab Asy’ari.
Apa yang telah dipaparkan di atas sebenarnya adalah buah renungan yang mendalam tentang pencarian identitas manusia terhadap apa yang disebut dengan Tuhan. Manusia selalu resah dan terganggu atas ketidakpuasannya dalam memahami hidup yang terkadang sempit. Manusia mencari kekuatan gaib diluar dirinya sebagai pelindung atas dirinya sendiri.
Kita harus jujur dengan kehidupan, bahwa semuanya adalah kehendak-Nya sehingga kita tercipta dari ketiadaan menjadi “ada” sehigga kita mampu memahami Tuhan bukan sekedar bacaan dan lafal semata.
Tulisan ini adalah tulisan ketika saya masih semester 4 di jurusan Studi Agama-Agama UIN RIL