Mohon tunggu...
mohammad endy febri
mohammad endy febri Mohon Tunggu... Administrasi - Orang awam

Asuh fikiran, lahirkan keyakinan...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Monolog Rindu

2 Februari 2016   15:47 Diperbarui: 2 Februari 2016   15:58 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sayang….

Pasti kau sudah semakin cantik sekarang… Menyimpanmu dalam kerinduan sangat menyakitkan. Ayah sangat sangat ingin bertemu saat ini. Ayah selalu mengingatmu sebagai gadis kecil Ayah yang selalu minta gendong dan tertidur dalam badan lengan Ayah.

Ayah sering merasa sepi Zaura. Dalam hempasan ombak yang pecah dibatu, Ayah selalu mengingatmu. Aku benar-benar kehilangan.

Tapi laki-laki tak boleh cengeng.

Begitu juga dengan kepergian Ayah selama ini. Sebenarnya, aku hanya tak mau membawamu kedalam pusaran masalah. Kau terlalu kecil untuk memahami hati Ayah, kekecewaan dan kepedihan hati seorang laki-laki dewasa yang telah memberikan seluruh hidupnya untuk sebuah pengorbanan.

Jika kuceritakan pun kisah itu, juga akan menyakiti perasaan Ayah. Membuatmu benci pada Ibu. Wanita yang menyayangimu tanpa batas. Yang airmatanya adalah peneman setiamu membesar seperti hari ini. Biarlah kau hidup dalam bayangan tentang sosok Ibu yang sempurna. Aku tak ingin mengacaukannya.

Goresan-goresan ini mungkin tak akan pernah sampai di tanganmu, tapi Ayah selalu meyakini bahwa catatan-catatan ini lah yang menghubungkan batin  Ayah denganmu Sayang.

Hari-hari Ayah semakin berat. Karena awalnya, Ayah fikir – pelarian akan melarikan semua masalah Ayah. Akan memutus semua simpul-simpul yang telah membentuk rantai cerita yang mengecewakan selama ini. Ternyata tidak. Tidak semudah itu.

Kekecewaan itu berproses. Dari amarah menjadi sakit, lalu menggumpal membentuk dendam yang dipupuk, berbuah kebencian.  Ujungnya, kebencian juga tidak merupakan perhentian dari semua kekesalan ini. Entah kenapa ia bisa berubah menjadi rindu akhir-akhir. Rindu yang menusuk sendi-sendi gerak Ayah hingga ke ujung-ujung rambut.

Ayah merindukan Ibu. Terutama kau Sayang. Ayah benar-benar kesepian. Tak ada kata lagi yang sanggup menjelaskan tingkat kesendirian Ayah. Walaupun sebenarnya rindu ini sudah bukan milik Ayah lagi. Ayah tak punya hak lagi.

Belajar melupakanmu berdua adalah kesakitan yang panjang. Yang hampir tak sanggup Ayah lakukan. Melupakanmu dan Ibu seperti meniadakan denyut pada jantung yang masih berdetak. Hampir mustahil. Tapi Ayah adalah laki-laki yang hidup dalam kemustahilan. Yang sudah jadi bagian hidup Ayah dari kecil.

Bukan berarti ini adalah sebuah kemenangan dan kesombongan. Ayah tak ada pilihan. Ayah akan lebih mati rasa jika bersama denganmu dan Ibu, tapi memendam kekecewaan yag tak dapat Ayah ungkapkan. Ayah terlalu menyayangi kalian berdua, Zaura. Memendam semuanya akan lebih sehat buat kamu dan Ibu. Pasti ada titik terangnya nanti. Aku yakin.

 

Ada hal yang sangat ingin Ayah ceritakan…

Tahukah kamu jika Ayah pernah beberapa minggu mengawasimu dari jauh Sayang. Melihatmu berpakaian biru putih di sekolah. Dituntun rindu yang meremukkan tulang, Ayah datang ke Yogya. Secara diam-diam tentunya.

Tak sulit menemukanmu Zaura. Tak ada yangf berubah dengan kehidupan kalian, kamu dan Ibu. Rumah yang sama seperti dulu tempat kita berteduh bersama, tak kan mungkin Ayah lupa. Rumah, teras dan halaman yang menyimpan banyak kenangan itu akan selalu ada dihati Ayah. Hanya Nenek dan Kakek saja yang berkurang. Sisanya bertambah.

Ayah pandang rumah kalian dari jauh. Sangat jauh. Ingin sekali rasanya kembali jadi bagian dari rumah itu sayang. Rumah dimana Ayah menaruh cinta dan harapan di sudut-sudut ruangnya . Kaki Ayah bergetar hebat melihat rumah kalian saat senja itu. Warna temaram langit mengingatkan Ayah kehangatan suasana saat Ayah biasanya pulang ke rumah. Disambut Ibu dan kamu sewaktu kecil. Kini, Ayah benar-benar sendiri Sayang. Tak punya apa-apa. Terlebih cinta.

Ingin sekali berlari kehalamannya Sayang, meneriakkan namamu dan Ibu hingga kalian keluar. Memeluk Ayah, daging yang hampir mati ini. Daging yang sangat sepi ini.

Lama Aku nikmati semuanya. Dalam diam dan sembunyi-sembunyi. Hingga gelap menyelimuti tanah kosong yang agak jauh dari rumah tercinta. Hingga lapar menjemput pergi.

Selama di Yogya, Ayah tidur dibanyak mesjid. Aman dan tenang. Walau tak banyak barang yang Ayah bawa, Ayah cukup banyak menyisakan uang untuk tinggal beberapa minggu dan untuk ongkos pulang kampung. Tabungan dari hasil melaut selama ini, bisa diandalkan. Rindu yang menuntunku mengalahkan segalanya.

Hampir setiap siang Ayah ada didekat sekolahmu. Berpura-pura sebagai pengemis disaat jam istirahat belajar. Setelah sebelumnya mengawasi dirimu keluar masuk halaman rumah kalian, tak banyak yang berubah dari raut wajahmu Sayang.

Ingatkah kau pengemis berambut panjang bertopi yang kerap menatapmu dengan lelehan airmata dan kau melihatnya iba. Itulah Ayahmu sayang, pria yang menyimpan rindu begitu besar. Aku menangis karena hidupku ada di dekatku saat itu. Ya, kamu. Puncak dari semua kesakitan, kesepian dan penderitaan Ayah selama ini. Seluruhnya seperti luruh begitu memandangmu. Tapi aku tak berani menyentuh. Karena kau bukan milikku lagi Sayang.

Kau terlihat sangat iba Sayang. Syukurlah. Airmata itu memang buat kamu dan Ayah. Ibu hanya memiliki sedikit dari itu. Selebihnya, tak pernah menetes lagi sejak Ayah memutuskan meninggalkanmu dan Ibu.Dulu.

Ingin Ayah bicara denganmu saat-saat itu. Tapi tak sanggup. Hanya akan menakutimu dan membuat hatiku lebih sepi nantinya. Kenanglah Ayah sebagai pria yang membuat hatimu iba dan pria yang harus selalu dikirimkan doa karena penderitaannya.

Kian hari, Ayah semakin harus mengencangkan ikat pinggang. Tadinya makan teratur, lama-lama harus menyesuaikan keadaan. Uang semakin menipis. Anehnya, kerinduan tak pernah berkurang. Dan melihatmu pulang sekolah adalah keharusan.

Ayah selalu mengawasi gerikmu saat pulang, menunggu di bahu jalan. Ayah khawatir sebelum kamu benar-benar terangkut naik ke dalam angkutan. Terlalu banyak keruwetan dan ketidakteraturan didepan sekolah jam-jam itu. Kendaraan roda dua khususnya, mencari celah diantara kelambatan-kelambatan yang menumpuk itu.

Hari itu, kala kamu kesekolah dengan pita rambut berwarna biru, nampak kamu dibonceng pulang oleh teman lelaki sebayamu. Ingin rasanya Aku datangi dan suruh kamu turun dari motornya. Anak sekecil kalian masih sangat berbahaya mengendalikan mesin beroda dua itu.

Kampus Cinta

Aku tak melewatkan kesempatan bernostalgia dengan diriku sendiri di kotamu. Tidak sedetikpun. Aku menyusuri kampus dimana Ayah dulu pernah dididik jadi intelektual bangsa ini. Disanalah bermula kasih kami. Ayah dan Ibu.

Suasana taman belakang sudah berubah. Kini jadi semi hutan. Pohon-pohon sudah cukup besar untuk menjadikan bayangnya peneduh dikala panas. Lebih adem sekarang rasanya. Tapi tak seindah kala itu. Kala Ayah masih sering curi-curi pandang menikmati keindahan raut muka Ibu. Menyimpan wajah itu dengan balutan busananya kedalam pori-pori kulit Ayah. Untuk dijadikan keringat saat kegugupan melanda.

Gugup. Itu hal yang paling Ayah ingat saat awal-awal bersua Ibu. Ketika kami belum melebur menjadi sahabat. Sering Ayah simpan gugup itu jelang bertemu Ibu. Mengubahnya menjadi rencana. Bahasa sepertia apa yang akan dipakai, baju apa yang terlihat menarik dan cerita apa yang akan disampaikan.

Ibu adalah jajaran primadona masa itu. Hingga hari ini, tak bosan Ayah memuja nya. Wajahnya memancarkan kecantikan puteri tanah mataram. Ayu sekali. Anggun bahkan. Ayah, pria dari pelososk kampung Sumatera ini, tak punya cukup keberanian untuk memacarinya. Hanya ingin kenal saja awalnya.

Ia wanita periang yang percaya diri. Tidak sungkan membuka diri terhadap siapa saja. Banyak kawan-kawan Ayah yang menyatakan cinta. Tetapi kecewa akhirnya. Mereka salah mengartikan kebaikan dan ketulusannya. Termasuk sahabat dekat Ayah yang sudah kuanggap seperti saudara sendiri, Bram namanya. Setahu Ayah, sudah empat kali ia ditolak Ibumu kala itu.

Ayah hampir putus kuliah waktu itu. Untunglah Tuhan mengirim Bram; pahlawan Ayah. Pria dari Jawa Timur itu sangat banyak membantu Ayah. Tak hanya sebagai teman jalan, sering ia jadi penyudah semua masalah yang datang. Entah itu yang berkaitan dengan akademik maupun keuangan. Selain cerdas, Bram tak pernah menghitung pengeluarannya buat Ayah. Rasanya, jika tak ada Bram, Ayah tak kan pernah bisa mendapat gelar sarjana. Terlalu banyak budinya jika harus Ayah ingat-ingat kembali.

Datang ke kampus lagi, membuka lebar kerinduan Ayah pada Bram. Masa sulit itu, jika Bram pulang dari Surabaya, ia akan membawa banyak bekal lauk kering yang tak mudah basi untuk Ayah. Dari Romo kata Bram menyebut Ayahnya. Kami serumah Sayang. Rumah milik Romo di Yogya.

Seluruh panganan itu jatahnya paling banyak buat Ayah pastinya. Karena Bram sering makan diluar. Tak sempat harus pulang-pergi ke rumah dengan aktivitasnya yang begitu padat. Calon insinyur itu sangat aktif. Ayah sangat terbantu, karena cukup beli beras dan kerupuk saja. Pelengkap. Diluar itu semua, Ayah tak pernah ceritakan padanya, Ayah sering menahan lapar.

Romo juga sudah seperti orangtua bagi Ayah. Ayah sering merindukannya. Karena Ayah tak pernah bisa pulang selama kuliah, sosok kakekmu di kampung, Ayah wujudkan dalam diri Romo. Bram sangat mirip dengan Romo. Suaranya yang berat dan ketampanannya. Tak heran Bram sangat mudah memilih cinta, dengan apa yang dia miliki ditopang kemapanan Romo kami. Kecuali Ibu.

Tiap tiga bulan sekali Romo mampir ke Jogja barang dua sampai tiga hari.Tanpa Nyai, panggilan Romo untuk isterinya. Nyai menderita stroke sudah hampir setahun sebelum Bram kuliah di Yogya. Di Surabaya, Nyai dirawat oleh pembantunya dan Laksmi, adik Bram satu-satunya. Adik ayah juga.

Kedatangan Romo artinya makan besar. Romo kerap mengajak Ayah dan Bram ke rumah makan yang bonafid. Yang tak mungkin Ayah masuki jika Ayah punya keinginan sendiri kesana. Semua menu terbaik akan dihidangkan, Bram si pelahap segalanya itu akan makan dengan kecepatan tinggi. Sampai akhirnya tersandar dengan perut buncit dan keringat sebesar biji semangka. Ayah tak seekstrim Bram, masih menyisakan harga diri.

Kebiasaan Romo yang lainnya, kami harus menyisakan satu malam begadang dengannya. Ia hobby nyanyi plus bermain gitar. Suaranya mirip biduan Kris Biantoro. Dalam dan berwibawa, tapi enak didengarkan. Tak seperti suara Ayah dan Bram. Standar sekali. Berpuluh lagu ia nyanyikan. Bergantian kami memainkan gitar. Diselingi teh panas dan martabak. Kombinasi kesukaan Romo.

Dalam jeda itulah, Romo menanyakan perkembangan kehidupan kami berdua. Tentang akademik, rencana, ambisi dan wanita. Semua hal akan mengalir kami ceritakan pada Romo. Kenangan yang hebat bersama mereka Sayang..

Romo memberi banyak motivasi dan keceriaan dalam saat-saat seperti itu. Ia tak menggurui, tapi kami selalu ingin diceramahi. Ia tak mengajarkan, tapi kami selalu ingin diberi jalan. Romo dan Bram adalah kombinasi yang sangat segar untuk jiwa ayah yang tak punya siapa-siapa di tanah Jawa ini. Mereka melebihi malaikat pendamping Ayah. Selalu menjaga dan mengiringi Ayah dalam segala keterbatasan yang kumiliki.

Kini, tempat kenangan bersama Bram hanya tinggal di kampus saja. Rumah Romo telah dijual sejak Bram mendapat gelar sarjana. Romo dan Bram adalah penggalan dari jiwa Ayah, selain Ibu tentunya sayang. Ayah merindukan suasana itu. Sangat meledak-ledak menginginkannya saat ini.

Ayah juga merindukan Om Badran. Selama di Yogya, beberapakali aku menemuinya.  Ia dulu tetangga kita, desa sebelah. Rumahnya, tempat aku melarikan diri. Dia tahu semua tentang Ayah dan Ibu. Ayah banyak bercerita padanya. Tentang kita. Apalagi tentang kesulitan hidup Ayah.

Awal menikah, Ayah sering ‘mengungsi’ ke rumahnya. Alasan Ayah kepada Kakek dan Nenek dirumah, aku ada kerja diluar. Padahal tidak. Ayah malu kalau dirumah saja, tampak seperti pengangguran kelas berat. Aku mendekanm lama dirumahnya.

Hubungan kami tak pernah putus hingga detik ini. Apalagi adik bungsu Badran bekerja tak jauh dari kampung Ayah sekarang. Sesekali waktu Ayah bertemu menanyakan kabar Badran kepada adiknya di kampung, begitu juga Badran. Ia sangat paham mengenai perkembangan hidup Ayah. Minimal dua tahun sekali adiknya pulang ke Yogya saat lebaran. Lalu Hangga adiknya, akan menyampaikan salam Ayah serta melaporkan apa saja alur terbaru hidup Ayah, yang diketahuinya.

Saat terakhir bertemu, Badran kembali menegaskan menyuruh Ayah kembali ke Yogya saja. Meninggalkan kampung yang Ayah diami sekarang. Mulai dari nol katanya. Banyak nasehat dan solusi darinya untuk memulai hidup baru (lagi) di kota yang banyak kenangan ini. Ia yakin aku pasti akan lebih baik keadaannya. Baik untuk kesehatan fisik yang sudah mulai menua. Baik pula untuk perkembangan mental. Ia mengkhawatirkan sampai kapan Ayah harus hidup terus dalam bayang-bayangmu dan Ibu.

Ayah angguk-anggukkan saja kepala didepannya. Seperti benar-benar menyimak dan meresapi perkataan dan usul-usul terbaiknya. Semuanya masuk akal dan dapat dilterapkan. Apalagi Badran akan memberi Ayah tempat tinggal sementara dan memberikan modal untuk buka usaha. Ia tak seperti Badran yang dulu. Tak garang lagi, tapi masih  menyisakan wibawa sebagai jawara di kampungnya. Ia sangat tenang sekarang. Dan mapan secara finansial.

Badran tak tahu betapa tak mungkinnya Ayah tinggal satu kota denganmu dan Ibu, sementara aku senantiasa merindukan kalian. Akan merusak seluruh hari Ayah dengan hanya memandangmu dan rumah kalian dari jauh. Ayah tak kan sanggup melakukan apa-apa. Bisa membuat Ayah lebih sakit dan terluka. Karena kalian lah obatnya, bisa Ayah pandangi setiap hari - dengan rahasia - tapi tak dapat Ayah miliki lagi.

Biarlah Ayah seperti ini, jadi nelayan yang bertemankan angin dan gelombang di kampung. Menua dengan doa dan cinta yang tak pernah pudar untuk kalian berdua. Seperti kalimat yang sering Ayah dengar: gunung akan tampak tinggi dan gagah, jika dipandang dari jauh Sayang.

Bukannya Ayah tak sayang pada Zaura dan Ibu. Jangan tanyakan kadarnya sebesar apa. Karena tak ada yang bisa menggambarkannya. Hanya Tuhan dan gelombang yang tahu. Ayah tak pernah membiarkan badan ini diam, karena pekerjaan yang sangat menyita otot-otot Ayah dan fikiran Ayah yang selalu memikirkan kalian. Jarak tak pernah melunturkan semuanya Zaura. Kenanglah Ayah sebagai pria yang selalu mencintaimu dan Ibu dalam senyap dan diam. Tanpa rupa, tapi selalu memberi makna. Ayah Sayang Zaura dan Ibu. Selamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun