Mohon tunggu...
mohammad endy febri
mohammad endy febri Mohon Tunggu... Administrasi - Orang awam

Asuh fikiran, lahirkan keyakinan...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Monolog Rindu

2 Februari 2016   15:47 Diperbarui: 2 Februari 2016   15:58 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kau terlihat sangat iba Sayang. Syukurlah. Airmata itu memang buat kamu dan Ayah. Ibu hanya memiliki sedikit dari itu. Selebihnya, tak pernah menetes lagi sejak Ayah memutuskan meninggalkanmu dan Ibu.Dulu.

Ingin Ayah bicara denganmu saat-saat itu. Tapi tak sanggup. Hanya akan menakutimu dan membuat hatiku lebih sepi nantinya. Kenanglah Ayah sebagai pria yang membuat hatimu iba dan pria yang harus selalu dikirimkan doa karena penderitaannya.

Kian hari, Ayah semakin harus mengencangkan ikat pinggang. Tadinya makan teratur, lama-lama harus menyesuaikan keadaan. Uang semakin menipis. Anehnya, kerinduan tak pernah berkurang. Dan melihatmu pulang sekolah adalah keharusan.

Ayah selalu mengawasi gerikmu saat pulang, menunggu di bahu jalan. Ayah khawatir sebelum kamu benar-benar terangkut naik ke dalam angkutan. Terlalu banyak keruwetan dan ketidakteraturan didepan sekolah jam-jam itu. Kendaraan roda dua khususnya, mencari celah diantara kelambatan-kelambatan yang menumpuk itu.

Hari itu, kala kamu kesekolah dengan pita rambut berwarna biru, nampak kamu dibonceng pulang oleh teman lelaki sebayamu. Ingin rasanya Aku datangi dan suruh kamu turun dari motornya. Anak sekecil kalian masih sangat berbahaya mengendalikan mesin beroda dua itu.

Kampus Cinta

Aku tak melewatkan kesempatan bernostalgia dengan diriku sendiri di kotamu. Tidak sedetikpun. Aku menyusuri kampus dimana Ayah dulu pernah dididik jadi intelektual bangsa ini. Disanalah bermula kasih kami. Ayah dan Ibu.

Suasana taman belakang sudah berubah. Kini jadi semi hutan. Pohon-pohon sudah cukup besar untuk menjadikan bayangnya peneduh dikala panas. Lebih adem sekarang rasanya. Tapi tak seindah kala itu. Kala Ayah masih sering curi-curi pandang menikmati keindahan raut muka Ibu. Menyimpan wajah itu dengan balutan busananya kedalam pori-pori kulit Ayah. Untuk dijadikan keringat saat kegugupan melanda.

Gugup. Itu hal yang paling Ayah ingat saat awal-awal bersua Ibu. Ketika kami belum melebur menjadi sahabat. Sering Ayah simpan gugup itu jelang bertemu Ibu. Mengubahnya menjadi rencana. Bahasa sepertia apa yang akan dipakai, baju apa yang terlihat menarik dan cerita apa yang akan disampaikan.

Ibu adalah jajaran primadona masa itu. Hingga hari ini, tak bosan Ayah memuja nya. Wajahnya memancarkan kecantikan puteri tanah mataram. Ayu sekali. Anggun bahkan. Ayah, pria dari pelososk kampung Sumatera ini, tak punya cukup keberanian untuk memacarinya. Hanya ingin kenal saja awalnya.

Ia wanita periang yang percaya diri. Tidak sungkan membuka diri terhadap siapa saja. Banyak kawan-kawan Ayah yang menyatakan cinta. Tetapi kecewa akhirnya. Mereka salah mengartikan kebaikan dan ketulusannya. Termasuk sahabat dekat Ayah yang sudah kuanggap seperti saudara sendiri, Bram namanya. Setahu Ayah, sudah empat kali ia ditolak Ibumu kala itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun