Mohon tunggu...
M. Hikmal Yazid
M. Hikmal Yazid Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Manusia Itu adalah Animal Rasional, Simak Penjelasan Berikut!

30 Juni 2023   15:21 Diperbarui: 30 Juni 2023   15:25 3045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam masa lampau, manusia dianggap sebagai hewan dengan tambahan sesuatu yang lebih (akal budi, roh). 

Manusia didefinisikan sebagai animal rationale (menurut Aristoteles), yaitu hewan yang memiliki kemampuan rasional. 

Namun, pandangan ini telah berubah secara signifikan. 

Di satu sisi, manusia memiliki kesamaan dengan hewan-hewan, dengan suatu cara yang tidak terlalu jelas ia muncul dari alam hewani dengan meninggalkan beberapa sifat hewan. 

Namun, di sisi lain, sebagai makhluk hidup sebagai organisme jasmaniah, manusia berbeda dengan hewan-hewan.
Ernest Cassirer Ahli biologi menyatakan bahwa meskipun reaksi manusia terhadap dunia luar lebih lambat, manusia memiliki kemampuan yang sangat penting dalam memberikan reaksi tersebut. 

Reaksi itu terlambat karena melibatkan tahapan peralihan, yaitu refleksi, tetapi penundaan ini memiliki fungsi simbolis bagi manusia. Manusia tidak pernah hidup di dunia yang hanya berfokus pada fakta-fakta semata. 

Sebaliknya, manusia menerima dan mengolah data-data melalui simbol-simbol seperti bahasa, agama, ilmu pengetahuan, dan seni. Manusia dianggap sebagai animal symbolicum, dan dunia manusia merupakan dunia yang diinterpretasikan. 

Manusia tidak dapat dijelaskan hanya berdasarkan data biologis, tetapi melalui tindakan kebudayaannya. Manusia menjadi manusia bukan karena faktor internal seperti naluri atau akal budi, melainkan karena pekerjaan dan kebudayaannya.

Pertanyaan tentang siapa yang pertama kali menggunakan istilah "hewan berakal budi" (rational animal) sering diperdebatkan. 

Banyak orang berpendapat bahwa istilah ini pertama kali muncul dalam metafisika Aristoteles, tetapi sebenarnya Aristoteles sendiri tidak memberikan definisi seperti itu. 

Dalam Nicomachean Ethics 13, Aristoteles hanya menyatakan bahwa manusia memiliki prinsip rasional. 

Istilah ini juga bukan berasal dari Socrates. Socrates diketahui mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang akan menjawab secara rasional ketika dihadapkan dengan pertanyaan yang rasional. 

Nama "rational animal" muncul jauh sebelum Socrates, Plato, dan Aristoteles. Ungkapan itu berasal dari Euripides, yang hidup sebelum zaman Aristoteles. 

Banyak filsuf memberikan komentar tentang definisi "hewan berakal budi" ini. Oscar Wilde, seorang penyair, menyindir definisi ini dengan mengatakan "manusia adalah hewan berakal budi yang selalu kehilangan kesabaran saat dihadapkan pada tindakan yang sesuai dengan tuntunan akal".

Pandangan Aristoteles menolak dualisme Plato. 

Menurut Aristoteles, dunia fisik yang selalu berubah dan terdiri dari substansi-substansi individual yang konkret seperti manusia, kuda, tumbuhan, dan batu merupakan realitas utama.

 Setiap substansi individual adalah gabungan dari materi dan bentuk. Kedua komponen ini tidak dapat dipisahkan karena bentuk tidak memiliki eksistensi yang independen. 

Bentuk hanya dapat ada ketika bersatu dengan materi. Menurut Aristoteles, jiwa adalah bentuk dari tubuh yang memberikan kehidupan dan struktur kepada materi spesifik dari seorang manusia. 

Semua manusia memiliki bentuk yang sama, yang menentukan mereka sebagai manusia. Perbedaan individual disebabkan oleh materi.

 Oleh karena itu, tidak mungkin jiwa manusia individu ada secara terpisah dari tubuh. 

Dengan demikian, Aristoteles menolak reinkarnasi sebagai suatu yang tidak mungkin terjadi. 

Sebaliknya, perbedaan fisik antara pria dan wanita menjadi penting secara filosofis karena jenis kelamin seseorang menjadi bagian penting dari identitasnya.
Pandangan manusia menurut Aristoteles bersifat hylemorfistik, yang mengacu pada ajaran Hylemorfisme (hyle = materi; morphe = bentuk). 

Menurut Aristoteles, manusia adalah kesatuan jiwa dan tubuh. Persatuan jiwa dan tubuh itu bersifat mutlak, artinya keduanya tidak dapat ada tanpa yang lain. 

Jiwa tidak ada sebelumnya seperti yang diajarkan oleh Plato. Oleh karena itu, saat kematian ketika tubuh hancur, jiwa juga lenyap menurut Aristoteles. Jiwa tidak kekal, melainkan muncul dari potensi materi.

 Jadi, jika materi yang menjadi tempat bagi jiwa hancur, jiwa juga lenyap dan hilang.


Secara biologis, manusia adalah hewan dengan spesies homo sapiens yang memiliki perkembangan otak depan (neo-cerebrum) yang lebih maju dibandingkan hewan lain. 

Oleh karena itu, manusia kurang dikendalikan oleh insting dibandingkan dengan hewan lain yang dikendalikan oleh otak bagian bawah (paleo-cerebrum) yang lebih terkait dengan insting.

manusia adalah animal rasional, bukan bintang itu genus kita, tetapi spesies kita adalah berpikir.

Pertama, konsep "hewan berakal budi" atau "jiwa-tubuh" Aristoteles menekankan bahwa manusia adalah kemanunggalan antara jiwa dan tubuh.

 Ini berarti bahwa manusia tidak dapat dipisahkan menjadi dua entitas terpisah yang berdiri sendiri.

 Hal ini memiliki implikasi dalam pemahaman tentang identitas manusia dan mempengaruhi cara pandang terhadap kehidupan manusia.

Dalam pandangan ini, tubuh menjadi wadah yang membawa dan mengekspresikan jiwa. 

Kondisi fisik dan kesehatan tubuh dapat mempengaruhi keadaan jiwa seseorang, dan sebaliknya, keadaan jiwa dapat mempengaruhi kondisi fisik tubuh. 

Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan dan keseimbangan baik secara fisik maupun mental menjadi penting dalam memahami kehidupan manusia secara filosofis praktis.

Selanjutnya, pandangan Aristoteles mengenai perbedaan individu disebabkan oleh materi menunjukkan bahwa karakteristik fisik, termasuk perbedaan jenis kelamin, menjadi bagian integral dari identitas individu. 

Ini memberikan pemahaman yang lebih holistik tentang manusia dan mempengaruhi pemikiran tentang persamaan dan keberagaman dalam masyarakat.

Dalam konteks praktis, pemahaman ini menekankan pentingnya menghormati perbedaan individu dan mempromosikan inklusi serta kesetaraan dalam kehidupan sosial. 

Hal ini dapat berimplikasi pada perlakuan yang adil, penghargaan terhadap keragaman budaya, dan penolakan terhadap diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin, atau karakteristik fisik lainnya.

Selain itu, pandangan Aristoteles bahwa jiwa tidak kekal dan bergantung pada tubuh menunjukkan pentingnya menjalani kehidupan yang bermakna dan bertanggung jawab di dunia ini.

 Fokus pada tindakan dan pengembangan diri yang baik menjadi penting dalam mencapai tujuan hidup yang lebih bermakna.

Secara keseluruhan, secara filsafat praktis, pandangan Aristoteles mengenai manusia, jiwa, dan tubuh menekankan pentingnya pemeliharaan keseimbangan fisik dan mental, penghargaan terhadap perbedaan individu, serta hidup yang bertanggung jawab dan bermakna di dunia ini. 

Pandangan ini dapat membantu membentuk pandangan etis dan moral dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hubungan sosial, pemeliharaan kesehatan, dan penegakan keadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun