Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Saliyem

5 Mei 2020   12:35 Diperbarui: 5 Mei 2020   18:55 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : pinterest.com

Aku tahu ada setan yang bersemayam dalam diriku

-Saliyem-

***

     Masa nyadran, beberapa hari menjelang puasa, bagi masyarakat Jawa merupakan kesempatan baik untuk nyekar. Seperti tahun ini di pemakaman umum Desa Madurejo dipenuhi oleh orang-orang yang sedang nyekar di makam keluarga mereka. Mereka membawa aneka macam bunga tabur. Mengepulkan aroma harum ke udara. Aroma harum yang bercampur wangi minyak misik.

"Jo, sepertinya ada yang aneh dengan wanita itu."

"Siapa"

"Wanita berkebaya coklat yang duduk itu."

"Oh, wanita tua itu maksudmu?"

"Iya, sudah dua jam ia berada di pemakaman ini."

"Tapi sepertinya akan lebih, karena selain makam kedua orangtuanya, ia juga akan mendoakan para suaminya. Setiap nyadran ia selalu kemari."

 "Suami-suami? Maksudmu?" tanya Warno penasaran.

"Nisan putih itu makam suami pertamanya, lalu yang kedua bernisan kayu, sedang yang keempat bernisan marmer."

"Suami yang ketiga?"

"Makamnya tidak ada disini."

"Dimana?"

"Aku tidak tahu perihal suami ketiga Mbah Saliyem." jawab Paijo singkat.

Madurejo, 1951

     Sebagai anak tunggal keturunan priyayi Jawa, Saliyem sangat bahagia. Pesta perkawinannya berlangsung meriah. Dua hari dua malam digelar acara pementasan wayang dan ludruk untuk memanjakan tamu yang hadir. Alunan gamelan jawa bersaut-sautan tiada henti sepanjang hari. Para kerabat dan kolega bisnis ayah Saliyem berdatangan. Aneka kado pernikahan berharga mahal terlihat bertumpuk di salah satu sudut kamar Saliyem.

     Meskipun saat itu masih dalam suasana peperangan, pesta pernikahan keluarga priyayi Jogja itu berlangsung aman. Pengaruh ayah Saliyem mampu membuat pihak kolonial tunduk pada perintahnya. Tepat di hari ketiga, pesta pernikahan itu akhirnya selesai. Saliyem dan suaminya telah sah menjadi sepasang suami istri. Mereka sangat bahagia.

     Bangsal Kencono tidak sepi lagi. Sebuah hunian bernuansa Jawa yang khusus dibangun oleh ayah Saliyem sebagai hadiah pernikahan itu telah ditempati oleh Saliyem dan Prayogo. Tapi sayang, pada malam keempat sejak kepindahan mereka ke Bangsal Kencono, suami Saliyem ditemukan tewas mengenaskan keesokan paginya di atas ranjang pengantin yang masih hangat. Aroma bunga melati dan kenanga mengharumkan tubuh Prayogo yang telah kaku membiru. Saliyem menangis histeris. Ia tidak menyangka suaminya pergi secepat itu saat usianya masih 21 tahun. Tanpa sebuah pertanda dan firasat apapun.

***

     Sejak kematian Prayogo, Saliyem lebih sering membantu usaha ayahnya. Keinginan untuk membina rumah tangga ia singkirkan. Ia masih trauma dengan kematian Prayogo yang tidak wajar itu.

     Saliyem berpikir keras untuk memajukan usaha batik milik ayahnya. Suasana perang yang makin tidak menentu membuat bisnis keluarga itu mengalami pasang surut. Pengaruh ayah Saliyem kini mulai melemah. Pihak kolonial mulai sulit untuk diajak bekerjasama lagi. Pajak setoran ayah Saliyem dianggap terlalu sedikit.

     Di masa-masa sulit itu akhirnya datanglah sebuah harapan. Seorang lelaki Belanda yang memiliki jabatan penting di pemerintahan mendatangi Bangsal Kencono. Hendrik Van Goens namanya. Lelaki keturunan Belanda itu sudah lama memendam rasa cintanya kepada Salinem. Seorang wanita yang masih cantik di usianya yang ke 30. Hendrik dan Saliyem sudah cukup lama kenal. Mereka sering bertemu ketika Saliyem mengantarkan ayahnya untuk menyetorkan pajak negara di kantor pemerintah Hindia Belanda di Kota Gede Jogjakarta. Berawal dari tatap muka dan tegur sapa, hubungan keduanya makin akrab. Hendrik sering berkunjung ke Bangsal Kencono setiap akhir pekan. Hanya untuk bertemu Saliyem. Pertemuan mereka akhirnya berujung pada sebuah percakapan yang cukup serius sore itu.

"Saliyem, maukah kau menikah denganku?" tanya Hendrik.

"Tentu, aku mau menikah denganmu." jawab Saliyem singkat. Pipinya merona merah jambu.

     Pesta pernikahan pun digelar. Selama empat hari mereka mengadakan jamuan makan ala Eropa dan Jawa. Tamu dari berbagai kalangan hadir di pesta itu. mulai dari pengusaha hingga pejabat pemerintahan.

"Saliyem, aku sangat bahagia malam ini." bisik Hendrik di telinga Saliyem.

"Aku juga mas. Aku sangat mencintaimu." jawab Saliyem sambil memeluk lelaki Belanda yang usianya setahun lebih muda darinya.

Malam ini milik mereka berdua. Malam yang sangat indah untuk Saliyem dan Hendrik.

     Matahari telah terbit. Semburat cahaya kemerahan menerobos celah jendela kamar Saliyem. Melimpahkan kehangatan sinarnya diatas kedua tubuh manusia yang telah melewati malam pertama mereka.

"Mas. Bangun mas. Sudah siang." ucap Saliyem pelan membelakangi tubuh suaminya yang sedang tertidur lelap di sampingnya.

     Saliyem duduk di tepi ranjang. Setelah merapikan jarik dan memakai sandal, ia berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Kemudian ia kembali ke kamarnya. Membuka jendela kamar dan merapikan korden. Melihat suaminya masih tidur, Saliyem hanya bisa tersenyum.

            "Mungkin mas Hendrik kelelahan." gumam Saliyem dalam hati.

     Saliyem tidak tega membangunkan suaminya itu. Ia kemudian menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi. Hampir satu jam telah berlalu. Sarapan telah siap di meja makan. Namun Hendrik tidak kunjung bangun juga.

     Akhirnya Saliyem masuk kembali ke kamarnya. Membangunkan Hendrik yang masih tengkurap di atas ranjang. Ia menepuk-nepuk lengan Hendrik. Namun suaminya itu tetap diam. Ia mengguncang-guncang bahu Hendrik. Hasilnya tetap sama. Hendrik tetap diam tak bergerak. Hingga akhirnya ia menarik dan membalikkan tubuh Hendrik.

"Mas Hendrik... Tidak!!!" teriak Saliyem histeris. Tangisnya pecah pagi itu.

     Upacara pemakaman selesai digelar. Sebuah nisan kayu berukir bunga kamboja tertancap di atas kuburan Hendrik. "Selamat jalan mas, maafkan aku." ucap Saliyem dalam hati. Airmatanya menetes.

     Sepuluh tahun berlalu setelah kepergian Hendrik. Bisnis keluarga milik Saliyem mulai bangkit. Kesibukan Saliyem mengelola usaha batik warisan ayahnya perlahan bisa menghapus kenangan dua orang lelaki yang pernah singgah di hatinya. Setahun setelah kematian Hendrik, ayah Saliyem menyusul. Kini ia hidup berdua bersama ibunya.

"Saliyem, ibu makin tua dan sakit-sakitan. Sebentar lagi ibu pasti mati."

"Ibu, jangan bicara seperti itu. Ibu masih sehat kok."

"Anakku Saliyem, dengar ibu. Carilah lelaki untuk mendampingimu. Sudah saatnya kau mengakhiri kesendirianmu."

"Iya ibu, Saliyem tahu. Mohon doa restu ibu agar Saliyem lekas menemukan lelaki yang akan mendampingi hidupku Bu."

"Tentu Nak, ibu selalu mendoakanmu."

***

     Sementara itu di sebuah kantor jasa pengiriman barang, Sujatmiko melamun. Laporan pengiriman barang terbengkalai tak terurus. Ada sesuatu yang memengaruhi pikirannya.

     "Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, orang yang berulang kali ditinggal mati pasangannya secara tiba-tiba dan tidak sempat menurunkan anak sering disebut bahu laweyan. Apabila bahu laweyan ini menikah yang ketiga kalinya, dan kembali pasangannya menghadapi kematian, pasti ada yang tidak beres dengannya. Biasanya setelah perkawinan yang ketiga, betapapun cantik atau gantengnya seorang bahu laweyan, dia akan kesulitan mencari pasangan. Memangnya siapa yang berani menanggung risiko kematian?" ujar Pak Supri seminggu yang lalu.

     Masukan dari atasannya itu tidak membuat Sujatmiko mundur. Meski ia paham akan resiko yang akan dihadapi, tetap saja peesona seorang Saliyem membuatnya takluk. Paras manis dan lembut tutur bahasanya mengalahkan segalanya. Cukup dua bulan perkenalannya dengan priyayi Jawa itu, Sujatmiko mantap untuk menikahinya. Dengan segala kelebihan dan kekurangan Saliyem. Seorang wanita bahu laweyan.

"Maukah Dik Saliyem menikah denganku?"

"Tapi aku janda mas, dua kali aku menjanda. Lebih baik mas mencari wanita lain."

"Mas tahu. Mas sudah siap akan hal itu."

     Saliyem akhirnya melangsungkan pernikahannya yang ketiga. Meski tak muda lagi, pesona kecantikan seorang priyayi Jawa memancar sempurna di wajahnya. 12 April 1970 dipilihnya sebagai hari pernikahannya. Tepat dua hari sebelum ia merayakan ulang tahunnya yang ke 40.

Di bawah sinar bulan purnama air laut berkilauan
Berayun-ayun ombak mengalir ke pantai senda gurauan

     Alunan lagu keroncong Jawa menemani istirahat malam mereka. Sujatmiko sangat bahagia. Wanita pujaan hatinya kini ada disampingnya. Sebagai orang Jawa yang taat beragama, ia selalu berdoa setiap akan melakukan sesuatu. Termasuk malam itu, sebelum menyentuh Saliyem, Sujatmiko mengambil air wudhu. Membaca doa dan memohon keberkahan kepada Yang Maha Kuasa.

"Saliyem, aku mencintaimu." bisik Sujatmiko pelan.

"Aku juga mas."

     Malam itu mereka tenggelam dalam lautan asmara. Desah napas mereka saling memburu. Darah mereka bergejolak bak ombak yang menghempas karang. Namun sesuatu terjadi, tiba-tiba tubuh Saliyem tidak bergerak. Ia ambruk diatas ranjang. Matanya melotot. Matanya berubah semerah darah. Sujatmiko berusaha menyadarkan istrinya. Ia lalu beranjak dari ranjang untuk mengambil segelas air putih di meja. Saat ia berbalik arah, gelas di tangannya terjatuh. ia melihat asap tipis keluar diantara kedua paha Saliyem. Naik ke udara secara perlahan hingga membentuk sebuah wujud ular hitam yang besar. Ular itu mendesis keras menjulur-julurkan lidahnya. Sorot matanya menatap tajam ke arah Sujatmiko. Sorot mata kebencian. Ular itu berusaha menyerang suami Saliyem. Ekornya melilit tubuhnya. Membantingnya berkali-kali diatas lantai. Membuat suami Saliyem itu kewalahan. Dalam keadaan terjepit itulah, pertolongan Tuhan datang kepadanya. Sujatmiko tersadar. Ia membaca ayat-ayat suci sambil terus memohon pertolongan Tuhan. Secara ajaib, lilitan ular hitam mulai mengendur lalu berubah menjadi asap putih yang perlahan-lahan menghilang di udara. Sujatmiko berlari keluar.

     Hari-hari Sujatmiko dan Saliyem berubah dingin. Ada jarak diantara mereka. Tidak ada percakapan hangat seperti dulu. Sujatmiko dan Saliyem hanya berbicara satu sama lain jika diperlukan. Selebihnya mereka diam membisu.

"Maafkan aku Saliyem, aku sangat mencintaimu. Tapi aku tidak bisa meneruskan pernikahan ini." ucap Sujatmiko. Saliyem diam. Matanya berkaca-kaca. Hatinya sakit.

"Aku paham mas, aku sudah menduganya dari awal. Tapi aku tidak menyesal. Setidaknya aku sudah membuka hatiku untukmu. Mas juga sudah menunjukkan rasa cinta yang sangat tulus kepadaku. Aku ikhlas jika berpisah adalah keputusan terakhir kita."

"Saliyem, akuuu...."

"Cukup mas, tidak perlu kau jelaskan lebih panjang. Aku mengerti."

     Bangsal Kencono menjadi saksi bisu kisah cinta Saliyem dan para suaminya. Rumah bergaya seni Jawa klasik itu menjadi tempat persinggahan sementara suami-suami Saliyem. Pemberhentian sementara untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Perjalanan panjang menuju kematian. Namun tidak bagi Sujatmiko, ia ditakdirkan untuk sekedar singgah di Bangsal Kencono. Belum waktunya Sujatmiko mati.

     Kesedihan tidak singgah lama di hati Saliyem, setahun setelah perceraiannya dengan Sujatmiko, ia menikah kembali. Seorang lelaki asal Sumatra meminangnya. Saliyem hidup bahagia bersama lelaki itu. Namun sayang, sebulan setelah pernikahan mereka, suami Saliyem meninggal dalam sebuah kecelakaan yang tragis.

     Dua tahun kemudian ibu Saliyem meninggal. Kondisi tubuhnya yang makin tua dan lemah menjadi penyebab kematiannya. Bangsal Kencono kini hanya dihuni oleh Saliyem dan para pembantunya yang setia. Setia menemani priyayi Jawa yang anggun dan halus budi pekertinya itu.

Aku ikut berduka atas kematian ibumu. Maafkan aku tidak bisa menjengukmu di Jogja. Karena aku memutuskan untuk memulai hidupku yang baru di Surabaya. Bersama istri dan anakku. Semoga kau selalu sehat disana.

Sujatmiko

***

     Makin tua Saliyem makin bersemangat. Tubuhnya bisa dikata jauh dari sakit. Tidak ada masalah serius dalam kesehatannya. Kebugaran tubuhnya selalu terjaga. Ramuan jamu herbal yang dibuatkan oleh para pembantunya membuat kondisinya selalu prima. Tak heran jika bisnis "Batik Saliyem" makin berkembang pesat. Gerai "Batik Saliyem" kini memiliki banyak cabang di Jogjakarta. Pada tanggal 17 Nopember 2000 saat Saliyem berusia 70 tahun, gerai "Batik Saliyem" cabang Malioboro resmi dibuka.

            Tidak ada kesuksesan tanpa cibiran. Demikian pula Saliyem. Kehidupannya yang janggal menjadi buah bibir kolega bisnisnya. Bahkan tetangga di sekitar Bangsal Kencono mulai melihat ada sesuatu yang tidak beres dalam diri Saliyem. Saliyem pun merasa demikian. Ia tidak serta merta mengambil kesimpulan yang gegabah. Ia masih ingat dengan jelas bagaimana suami pertamanya mati. Sekujur tubuh membiru dengan mata melotot kemerahan. Ada bercak darah yang keluar dari kedua belah paha suaminya itu. Pola yang sama juga terjadi kepada suami keduanya. Hal ini hanya Saliyem yang tahu. Awalnya ia hanya menganggap sebagai penyakit keturunan yang diidap para suaminya itu. Namun sekarang pikirannya mulai terbuka. Bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan dirinya.

"Aku tahu ada setan yang bersemayam dalam diriku" ucap Saliyem dalam hati.

***

"Tubuh seorang bahu laweyan dipinjam sebagai wadah oleh makhluk halus jahat yang ingin menguasainya. Makhluk halus ini tak rela jika ada manusia yang mengawini kekasihnya. Oleh karena itu makhluk halus ini akan membunuhnya sebelum manusia menyentuh kekasihnya itu."

     Ucapan orang pintar yang didatangi oleh Saliyem sore itu akhirnya menguak tabir misteri apa yang sebenarnya telah terjadi pada para suaminya. Sesuai anjuran dari orang pintar tadi, Saliyem hanya bisa pasrah atas nasib yang menimpa dirinya. Ia hanya bisa berdo'a memohon keselamatan kepada Tuhan. Memohon perlindungan Tuhan agar terhindar dari bahaya.

***

Dua puluh tahun kemudian

"Nyonya darimana? Sore begini baru pulang?" tanya Mbok Warsih pembantunya.

"Aku dari makam para suamiku. Aku telah meminta maaf kepada mereka." jawab Saliyem singkat.

     Tepat ketika matahari tergelincir ke Barat, Saliyem menghembuskan napas terakhirnya diatas ranjang. Senyum bahagia menghiasi bibirnya. Sebuah senyum kemenangan dalam kesendiriannya. Saliyem telah bebas dari takdirnya. Takdir seorang wanita bahu laweyan. Kini ia menjadi seorang wanita seutuhnya. Wanita priyayi Jawa yang anggun tutur bahasa dan sikapnya.

Di bawah sinar bulan purnama air laut berkilauan
Berayun-ayun ombak mengalir ke pantai senda gurauan

Di bawah sinar bulan purnama hati sedih tak dirasa
Beribu bintang bertaburan menghiasi langit hijau

Menambah cantik alam dunia serta murni pemandangan

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun