Di masa-masa sulit itu akhirnya datanglah sebuah harapan. Seorang lelaki Belanda yang memiliki jabatan penting di pemerintahan mendatangi Bangsal Kencono. Hendrik Van Goens namanya. Lelaki keturunan Belanda itu sudah lama memendam rasa cintanya kepada Salinem. Seorang wanita yang masih cantik di usianya yang ke 30. Hendrik dan Saliyem sudah cukup lama kenal. Mereka sering bertemu ketika Saliyem mengantarkan ayahnya untuk menyetorkan pajak negara di kantor pemerintah Hindia Belanda di Kota Gede Jogjakarta. Berawal dari tatap muka dan tegur sapa, hubungan keduanya makin akrab. Hendrik sering berkunjung ke Bangsal Kencono setiap akhir pekan. Hanya untuk bertemu Saliyem. Pertemuan mereka akhirnya berujung pada sebuah percakapan yang cukup serius sore itu.
"Saliyem, maukah kau menikah denganku?" tanya Hendrik.
"Tentu, aku mau menikah denganmu." jawab Saliyem singkat. Pipinya merona merah jambu.
Pesta pernikahan pun digelar. Selama empat hari mereka mengadakan jamuan makan ala Eropa dan Jawa. Tamu dari berbagai kalangan hadir di pesta itu. mulai dari pengusaha hingga pejabat pemerintahan.
"Saliyem, aku sangat bahagia malam ini." bisik Hendrik di telinga Saliyem.
"Aku juga mas. Aku sangat mencintaimu." jawab Saliyem sambil memeluk lelaki Belanda yang usianya setahun lebih muda darinya.
Malam ini milik mereka berdua. Malam yang sangat indah untuk Saliyem dan Hendrik.
Matahari telah terbit. Semburat cahaya kemerahan menerobos celah jendela kamar Saliyem. Melimpahkan kehangatan sinarnya diatas kedua tubuh manusia yang telah melewati malam pertama mereka.
"Mas. Bangun mas. Sudah siang." ucap Saliyem pelan membelakangi tubuh suaminya yang sedang tertidur lelap di sampingnya.
Saliyem duduk di tepi ranjang. Setelah merapikan jarik dan memakai sandal, ia berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Kemudian ia kembali ke kamarnya. Membuka jendela kamar dan merapikan korden. Melihat suaminya masih tidur, Saliyem hanya bisa tersenyum.
"Mungkin mas Hendrik kelelahan." gumam Saliyem dalam hati.
Saliyem tidak tega membangunkan suaminya itu. Ia kemudian menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi. Hampir satu jam telah berlalu. Sarapan telah siap di meja makan. Namun Hendrik tidak kunjung bangun juga.
Akhirnya Saliyem masuk kembali ke kamarnya. Membangunkan Hendrik yang masih tengkurap di atas ranjang. Ia menepuk-nepuk lengan Hendrik. Namun suaminya itu tetap diam. Ia mengguncang-guncang bahu Hendrik. Hasilnya tetap sama. Hendrik tetap diam tak bergerak. Hingga akhirnya ia menarik dan membalikkan tubuh Hendrik.
"Mas Hendrik... Tidak!!!" teriak Saliyem histeris. Tangisnya pecah pagi itu.
Upacara pemakaman selesai digelar. Sebuah nisan kayu berukir bunga kamboja tertancap di atas kuburan Hendrik. "Selamat jalan mas, maafkan aku." ucap Saliyem dalam hati. Airmatanya menetes.
Sepuluh tahun berlalu setelah kepergian Hendrik. Bisnis keluarga milik Saliyem mulai bangkit. Kesibukan Saliyem mengelola usaha batik warisan ayahnya perlahan bisa menghapus kenangan dua orang lelaki yang pernah singgah di hatinya. Setahun setelah kematian Hendrik, ayah Saliyem menyusul. Kini ia hidup berdua bersama ibunya.
"Saliyem, ibu makin tua dan sakit-sakitan. Sebentar lagi ibu pasti mati."
"Ibu, jangan bicara seperti itu. Ibu masih sehat kok."
"Anakku Saliyem, dengar ibu. Carilah lelaki untuk mendampingimu. Sudah saatnya kau mengakhiri kesendirianmu."
"Iya ibu, Saliyem tahu. Mohon doa restu ibu agar Saliyem lekas menemukan lelaki yang akan mendampingi hidupku Bu."
"Tentu Nak, ibu selalu mendoakanmu."
***