Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Teana - Taw (Part 27)

2 Oktober 2018   16:51 Diperbarui: 2 Oktober 2018   17:12 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

       Sesampai di Penginapan Al Anbath, Teana berjalan memasuki kamarnya. Almeera mengikutinya. Almeera masih menanyakan perihal munculnya laba -- laba yang begitu banyak. Teana hanya diam. Ia tidak mempunyai jawaban yang bisa memuaskan Almeera. Sebab ia sendiri tidak mengetahui pasti dari mana asal laba -- laba itu.

"Aku tidak tahu Almeera, laba -- laba itu muncul tiba - tiba."

"Tuan benar, mereka muncul tepat saat Pendeta Samad memulai ritualnya. Saat patung Dewa Dhushara dibawa keluar kuil. Padahal sebelumnya, ketika patung Dewa Dhushara dikeluarkan dari kuil untuk acara ritual pemujaan, tidak pernah ada satu pun laba -- laba yang muncul. Tapi mengapa tiba -- tiba tadi muncul banyak sekali?"

"Aku tidak tahu Almeera." Jawab Teana singkat sambil membaringkan tubuhnya diatas ranjang.

       Almeera menyalakan lilin -- lilin dikamar Teana. Lalu ia membuka bungkusan kain putih. Ia mengamati patung Dewa Dhushara dalam keremangan cahaya lilin. Teana berusaha memejamkan matanya. Dalam keadaan setengah sadar, ia mendengar Almeera berkata.

"Jangan -- jangan patung ini adalah memang patung Dewa Dhushara yang asli." ucap Almeera pelan.

"Tuan... Tuaaan... Apa Tuan sudah tidur?" panggil Almeera pelan. Tidak ada jawaban dari Teana.

       Almeera pun keluar meninggalkan Teana setelah ia membungkus kembali patung itu dan menyimpannya ditempat semula. Teana membuka pelan matanya.

"Sepertinya ucapan Almeera ada benarnya. Aku harus segera mengamankan patung itu." gumam Teana dalam hati. Lalu ia memejamkan matanya.

***

       Matahari muncul perlahan dari balik Gunung Hor. Dari kejauhan Kota Petra tertutup kabut tipis. Jalan utama kota masih terlihat lengang. Di kiri kanan jalan terlihat dua ekor kuda diikat di sebuah tiang kayu tanpa pemiliknya.

       Pagi itu Teana bangun lebih awal. Ia berendam di dalam bak mandi yang terbuat dari batu cadas merah berbentuk cekungan sedalam kurang dari satu meter. Di sekeliling bak mandi itu menyala beberapa lilin untuk menerangi ruangan. Hangatnya air yang bercampur aroma Myrrh membuat pikiran Teana menjadi tenang. Sambil menarik napas dalam -- dalam dan memejamkan matanya, ia menikmati uap air yang mengepulkan aroma wangi yang menenangkan pikirannya. Kali ini ia benar -- benar menikmati kesendiriannya.

"Patung itu memiliki kekuatan. Kekuatan yang akan menjadikan pemiliknya tidak terkalahkan. Kekuatan magis dalam patung itu bisa menghancurkan Bangsa Nabataea jika disalahgunakan oleh Bangsa Bawah."

       Teana seketika terbangun dari lamunannya. Ia tersentak ketika kepalanya hendak tenggelam didalam bak mandi dan air hampir saja memasuki lubang hidungnya. Suara Peramal Simkath tiba -- tiba menggema didalam telinganya. Jantungnya berdtak dengan cepat. Ia mengambil napas panjang. Dan perlahan mulai mengatur kembali napasnya.

"Patung... Kekuatan... Laba -- laba... Apa maksudnya?" gumam Teana pelan.

***

       Perjamuan makan pagi telah disiapkan. Beberapa pelayan Penginapan Al Anbath sibuk keluar masuk dapur untuk menyajikan berbagai macam makanan. Irisan tipis daging kambing bakar, ayam kalkun berbumbu rempah pedas dikelilingi aneka sayuran nampak mengkilat kecoklatan dengan lelehan madu diatasnya. Bertumpuk -- tumpuk roti gandum lengkap dengan saus lada hitam siap disantap dengan irisan tipis daging kambing bakar. Sajian itu sangat menggoda selera. Sajian untuk para saudagar kaya yang menginap disana memang tidak main -- main. Semuanya benar -- benar sempurna.

"Almeera... Siang ini kita akan ke Kota Hegra. Aku tidak mau menundanya lebih lama lagi." ucap Teana sambil mengiris daging ayam kalkun diatas meja.

"Baik Tuan, akan hamba persiapkan keperluan Tuan."

"Siapkan pakaianku yang biasa saja Almeera, aku tidak mau penampilan kita terlihat mencolok. Dan jangan terlalu banyak membawa barang -- barang."

"Baik Tuan,"

"Satu lagi, bungkus patung itu serapi mungkin. Sisipkan didalam barang -- barang yang lain. Aku tidak mau penjaga gerbang kota melihat patung itu. Sebab akan menimbulkan masalah bagi kita." bisik Teana pelan kepada Almeera.

"Baik Tuan, akan hamba ingat pesan Tuan."

"Sekarang makanlah."

"Terimakasih Tuan."

***

       Keluar dari Penginapan Al Anbath, Teana, Almeera, Kemal dan Rajan berjalan beriringan. Teana dan Almeera menaiki kereta unta yang dikendalikan oleh Kemal. Sedangkan Rajan mengiringi mereka dari atas kudanya. Tak berapa lama mereka telah sampai di gerbang Kota Petra. Seperti apa yang telah diperkirakan Teana sebelumnya, para prajurit penjaga gerbang menghentikan rombongan mereka.

"Maaf Tuan, kami akan memeriksa barang -- barang Tuan." Seorang prajurit berkata kepada Rajan. Rajan pun turun dari atas kudanya dan berjalan menemui Tuannya.

"Tuan, mereka ingin memeriksa barang bawaan kita. Mohon Tuan turun sebentar." ucap Rajan kepada Teana. Teana dan Almeera menuruti ucapan Rajan.

       Setelah kereta unta itu dikosongkan, dua orang prajurit memeriksa kereta itu. Mereka menggeledah barang -- barang yang ada didalam kereta. Termasuk kursi tempat Teana dan Almeera duduk. Mereka menyingkap kursi itu dan menemukan sebuah bungkusan kain berwarna putih.

"Bungkusan apa ini Tuan? Apa isinya? Mengapa terlihat aneh sekali dan agaknya ini cukup berat." tanya prajurit penjaga sambil mengamati bungkusan ditangannya.

       Almeera terlihat pucat dan ketakutan. Ia memandangi Teana. Seolah ingin memberitahukan sesuatu kepadanya. Teana mengerti tanda yang diberikan Almeera. Kemudian ia berjalan mendekati penjaga itu.

"Prajurit, ini bukan apa -- apa. Ini hanya sebuah batu." ucap Teana sambil memainkan jari -- jari tangannya dengan genit di bibir prajurit itu. Sesekali ia bermain mata dengannya. "Jadi... Apalah artinya batu ini buatmu prajurit? Ini, ambillah. Gunakan untuk bersenang -- senang dengan yang lain." bisik Teana tepat di telinga kiri prajurit itu sambil tangannya menukar bungkusan kain putih dengan sekantung koin emas. Bungkusan kain putih ditangan penjaga kini berganti dengan kain berwarna hitam.

"I... Iya, aku paham maksud Nyonya." jawab prajurit itu terbata -- bata dengan peluh menetes di pelipisnya. Permainan tangan Teana telah menaikkan hasratnya. "Silakan lanjutkan perjalanan Nyonya."ucapnya kemudian.

***

       Dengan meninggalnya Pendeta Al Khuraimat, Taw dan pengikutnya lebih mudah untuk melancarkan setiap aksinya. Kekuatan magis mereka semakin bertambah. Sebab para penduduk jarang melakukan ritual kepada Dewa Dhushara. Pemimpin ritual itu kini telah mati. Sehingga tidak ada kekuatan lain yang sanggup menahan kekuatan Bangsa Bawah. Dulu, pada saat malam tiba, Taw dan beberapa pengikutnya yang setia tidak bisa berbaur dengan para penduduk Kota Hegra. Saat senja sebelum malam tiba, mereka akan pergi ke gua -- gua tak berpenghuni yang jauh dari jangkauan para penduduk Kota Hegra. Disana mereka akan menampakkan wujud asli mereka tanpa ada seorangpun yang mengetahui. Didalam gua itu mereka aman.

       Kini sepeninggal pendeta Al Khuraimat, mereka tak perlu mengasingkan diri didalam gua yang sepi, gelap dan pengap itu. Sebab kekuatan magis mereka telah mampu menahan kekuatan Dewa Dhushara. Mereka masih bisa bertahan dalam wujud manusia biasa ketika malam tiba.

***

       Teana, Almeera dan Rajan tiba di Kota Hegra. Bulan bersinar cukup terang. Ketika kereta unta mereka memasuki Gerbang Barat Kota Hegra, kedatangan mereka disambut oleh dua orang penjaga gerbang. Setelah melewati pemeriksaan, mereka melanjutkan perjalanan mereka.

       Malam belum terlalu larut, Taw dan pengikutnya masih terjaga dan sedang minum anggur didalam tenda mereka.

"Apa kau merasakan sesuatu?" ucap Taw kepada anak buahnya.

"Tidak Tuan, ada apa?"

"Tiba -- tiba aku merasakan sesuatu yang mengancam kita. Tapi entah apa itu. Yang jelas ini bukanlah kekuatan biasa."

"Kalau memang demikian, izinkan hamba mencari tahu sumber kekuatan itu." ucap anak buah Taw.

"Baiklah, cepat kau cari tahu darimana kekuatan itu berasal."

"Baik Tuan."

***

       Kedatangan rombongan Teana disambut hangat oleh Rashad dan Aairah. Mereka bertiga terlarut dalam suasana haru. Malam itu adalah malam paling membahagiakan bagi Aairah. Setelah perjamuan makan malam, Teana dan rombongannya beristirahat. Sebab masih banyak urusan yang menanti mereka besok.

"Ibu, malam ini aku akan tidur dengan Almeera. Boleh kan Bu?"

"Iya Nak, tentu. Kau temani Almeera."

"Terimakasih Bu, selamat malam."

       Udara malam itu cukup dingin. Teana meminta Almeera untuk menyiapkan selimut yang tebal untuk menghalau dinginnya udara malam. Namun Almeera tiddak menemukan selimut yang diinginkan Teana. sehingga Teana mencari selimut itu sendiri.

"Dimana ibu meletakkan selimutku?" gumam Teana.

       Teana mencoba mencari selimut itu di seluruh bagian rumahnya. Hingga akhirnya ia menemukan selimutnya tergantung diatas tali yang direntangkan didekat kandang unta. Ia melangkahkan kaki menuju kandang yang terletak dibelakang. Dengan menahan sedikit hawa dingin, ia berjalan pelan sambil menggosok -- gosokkan kedua telapak tangannya. Namun baru beberapa langkah, tiba -- tiba ia merasakan udara di sekelilingnya berubah panas. Rasa panas yang sama ketika berhadapan dengan lelaki berjubah hitam di Pasar Sabra.

       "Ada apa ini? Aku merasa tidak asing dengan udara panas seperti ini." gumam Teana sambil menatap sekelilingnya. Untuk memastikan tidak ada sesuatu yang janggal. Namun Teana hanya menemukan bayangan pohon -- pohon kurma yang tumbuh lebat. Setelah mendapatkan selimut miliknya, Teana melangkahkan kakinya menuju rumahnya.

"Rupanya kau disitu." gumam sebuah suara dari balik rimbunnya pohon kurma.

***

       Keesoakan paginya, ketika Teana bangun, ia dikagetkan oleh suara Almeera yang berteriak cukup keras. Teana memeluk tubuh Almeera agar dirinya merasa tenang. Dengan mata berkaca -- kaca, Almeera menceritakan bahwa patung itu telah lenyap. Bungkusan kain putih itu kini sudah hilang. Tak lama kemudian datanglah Rashad dan Aairah.

"Ada apa anakku? Mengapa Almeera berteriak seperti itu?"

"Oh itu Bu, tidak ada apa -- apa. Mungkin Almeera sedang mengalami mimpi buruk." jawab Teana sambil tersenyum kepada kedua orangtuanya. Sebuah senyuman yang menyembunyikan sebuah rahasia besar. Rashad dan Aairah pun pergi meninggalkan kamar Teana.

       Teana kemudian mengajak Almeera untuk mencari keberadaan patung itu. Mereka memeriksa seluruh sudut rumah. Lalu Teana mencoba mencarinya diluar sedangkan Almeera masih tetap mencarinya didalam rumah. Karena putus asa, akhirnya Teana duduk di sebuah batu besar yang berada  tidak jauh dari rumahnya. Berusaha untuk menjernihkan pikirannya. Sambil memejamkan mata dan merasakan hangatnya sinar matahari, Teana mulai merasakan pikirannya sedikit tenang.

"Tuan, minumlah teh hangat ini." ucap Almeera sambil memberikan secangkir teh hangat kepada Teana.

"Terimakasih Almeera."

"Sama -- sama Tuan," ucap Almeera sambil meraih cangkir teh dari tangan Teana. "Bagaimana hasilnya Tuan? Apakah Tuan menemukannya?" bisik Almeera pelan.

"Belum Almeera."

"Coba Tuan ingat -- ingat kembali, semalam Tuan pergi kemana? Apa yang terjadi semalam?"

"Semalam...." ucap Teana pelan. Pikiran Teana membayangkan kejadian yang semalam ia alami.

Suasana mendadak hening seketika...

Lalu tiba -- tiba ...

"Aku ingat Almeera, ayo ikut aku."

       Teana berjalan menuju kandang unta dan Almeera mengikutinya dari belakang. Masih teringat dalam pikirannya, semalam ia merasakan udara yang cukup panas di sekitar kandang untanya. Rasa panas yang tidak biasa. Sesampai di kandang itu, mata Teana mengamati keadaan sekeliling kandang. Namun ia tidak menemukan apapun. Ia lalu melangkahkan kakinya menuju rimbunnya pohon kurma tak jauh dari kandang unta miliknya.

"Almeera... Kau periksa dibagian sana." perintah Teana.

"Baik Tuan."

       Mereka berdua terlihat sibuk menyibak rimbunnya perdu di sekitar kebun kurma milik Rashad. Hingga tak lama kemudian...

"Tuan... Aku menemukannya.!" teriak Almeera senang.

       Teana berjalan mendekati Almeera. Ia memeriksa keadaan patung itu. dan ternyata masih utuh. Pikiran Teana mulai dipenuhi berbagai pertanyaan. Siapa yang berusaha mencuri patung ini? Untuk apa? Dan mengapa setiap kali ada kejadian aneh, ia selalu merasakan rasa panas yang tidak biasa?. Teana hanya bisa diam. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

"Tuan... Tuaaaan..."

"Oh... I... Iya Almeera, ada apa?" jawab Teana. Ia terbangun dari lamunannya.

"Mari kita masuk Tuan,"

"Ayo Almeera."

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun