Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teana - Simkath (Part 15)

9 Januari 2018   08:17 Diperbarui: 9 Januari 2018   08:41 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah berlari menjauh dari serangan para penduduk, lelaki paruh baya itu bersembunyi didalam gua yang terletak tidak jauh dari kaki Gunung Hor. Keadaan di sekitar gua cukup membuat gua itu tidak terlihat oleh orang yang lewat didepannya. Gua itu dikelilingi oleh lebatnya tumbuhan perdu yang cukup tinggi, hampir separuh badan orang dewasa.

Ia berhasil menemukan gua itu karena kenekatannya menerobos apapun yang ada dihadapannya. Demi menghindari serangan membabi -- buta dari para penduduk yang tersulut amarah. Sebisa mungkin ia berlari dan berlari tanpa memperdulikan bahaya yang mungkin mengancam didepannya. Hingga akhirnya ia terjerembab jatuh diatas tanah pasir dengan nafas terengah -- engah.

Setelah ia berhasil mengatur nafasnya, ia kemudian berdiri. Pandangannya agak sedikit kabur akibat rasa perih terkena debu pasir gunung. Keringat menetes deras dari kedua pelipisnya. Lalu ia mengambil posisi duduk.

Ia dikejutkan dengan sebuah lubang cukup besar didepannya. Sebuah lubang didalam bukit batu yang memiliki tinggi kurang dari satu meter. Dengan menggunakan kepandaian yang ia miliki, ia bisa menyimpulkan dengan cepat bahwa lubang itu adalah sebuah gua.

Tanpa berpikir panjang, iapun segera memasuki gua. Dari kejauhan gua itu terlihat sangat gelap. Dengan tubuh merangkak, pelan -- pelan ia memasuki lubang gua yang cukup sempit namun masih bisa dilalui oleh tubuhnya yang tidak terlalu besar.

Semakin jauh ia merangkak kedalam gua, semakin gelap dan lembab yang terasa. Yang terdengar hanyalah suara tetesan air yang jatuh dari atas langit -- langit gua.

"Tempat apa ini? Semoga saja tidak ada binatang buas didalamnya." ujarnya pelan agak sedikit was -- was.

Setelah cukup lama merangkak didalam gua, akhirnya ia berhasil menemukan ujung mulut gua yang lain. Ia bisa melihatnya karena ada sedikit cahaya matahari yang masuk menembus kedalam ruangan didalam gua itu. Ia memutuskan untuk mendekat kesana, berharap ada sesuatu yang bisa ia temukan dan ia pergunakan untuk keselamatannya.

Hingga akhirnya ia sampai di sebuah ruangan gua yang cukup besar dan luas.

Kemudian ia berdiri dan mengamati keadaan di sekelliling ruangan itu.

"Dewa masih melindungiku, aku masih diberi umur panjang oleh Dewa." ucapnya pelan.

Setelah mengatur nafasnya dan menenangkan dirinya. Lelaki itu mengamati keadaan disekelilingnya untuk yang kedua kali. Ia berusaha mencari sumber air untuk ia minum. Wajar saja jika ia memikirkan air, bukan yang lain. Sebab ia telah kehilangan banyak tenaga dan merasa sangat haus akibat kejaran para penduduk Petra.

Kemarahan para penduduk itu disebabkan oleh meninggalnya salah satu putra pemimpin mereka saat menjalani pengobatan dari seorang dukun.

"Kau telah membunuh anakku. Sihirmu dan ramalanmu telah membuatnya meninggal. Kau harus bertanggungjawab!" teriak Farwan -- salah seorang pemimpin dan pembesar di Kota Petra.

Tak menunggu lama, para pengawal Farwan segera menangkap dukun itu.

Melihat keadaan yang tidak berpihak kepadanya dan ia merasa ini bukan kesalahannya, sang dukun segera berlari meninggalkan tempat itu. Ia menerobos barisan pengawal Farwan yang berusaha menghadangnya. Hingga akhirnya ia berhasil lolos dari kejaran para pengawal Farwan dan beberapa penduduk Petra yang menginginkan nyawanya.

Cukup lama ia mengamati keadaan di sekitar tempatnya berdiri, akhirnya ia menemukan sebuah sumber air. Ia meneguk air itu sepuasnya. Lalu duduk di tepian sumber air yang airnya terlihat sangat jernih.

Tiba -- tiba saja matanya tertuju pada sebuah bentuk benda yang terlihat jelas diatas permukaan air. Sebuah benda persegi yang menyerupai wajah manusia.

Dengan cermat ia mengamatinya. Lalu mencari dari mana asalnya.

Dan tanpa bersusah payah, ia telah menemukannya. Ia berdiri dan berjalan menuju benda berbentuk kotak itu.

"Apa ini?" ucapnya lirih sambil tangan kanannya meraba pahatan wajah lelaki yang dipahat di dinding gua. Sesosok wajah yang mirip dengan Dewa Zeus.

Cukup lama ia mengamati pahatan berbentuk persegi itu. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk melakukan sesuatu. Ia berusaha menggerak -- gerakkan pahatan itu dengan kedua tangannya. Mencari tahu ada apa dibalik pahatan itu.

Dan benar saja, pahatan itu mulai bergeser sedikit demi sedikit dari posisinya semula. Hingga akhirnya ia berhasil melepaskan pahatan itu dari dinding gua.

"Dapat..." ucapnya dalam hati.

Lelaki itu mengamati pahatan berbentuk persegi yang berada di tangannya. Membolak -- balikkannya. Dan tiba -- tiba matanya silau karena terpaan cahaya hijau dari bagian belakang pahatan. Sebuah batu rubi berwarna kehijauan. Rubi itu berbentuk segitiga. Menempel dibagian belakang pahatan batu yang ia bawa.

"Indah sekali rubi ini." gumamnya.

Ia segera mencungkil batu rubi itu menggunakan jari kirinya. Lalu memasukkannya kedalam saku bajunya. Ia ingin menggunakannya sebagai liontin kalung.

Sesaat setelah ia berhasil mencungkil rubi itu, tiba -- tiba lantai gua bergerak -- gerak. Dinding -- dinding gua mulai runtuh sedikit -- demi sedikit mengeluarkan banyak debu.

"Ada apa ini?" Apa yang terjadi?" ucap lelaki itu kebingungan.

Tanpa berpikir panjang, ia segera mencari jalan keluar. Ia bergegas berlari menuju pintu gua tempat ia masuk pertama kali. Ia membungkukkan badannya lalu merangkak cepat kedalamnya. Kali ini ia nampak kesulitan. Sebab ia membawa pahatan batu itu di tangan kirinya.

"Aku harus cepat meninggalkan gua ini," ucapnya lirih.

Dalam hitungan menit, gua itu mulai runtuh. Dinding gua mulai retak dan menjatuhkan bebatuan seiring dengan suara bergemuruh dari dalam gua.

Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya lelaki itu berhasil keluar. Kemudian ia merapikan jubahnya yang acak -- acakan.

"Benda ini sangat merepotkan. Tidak ada untungnya aku membawa benda ini. Apalagi sekarang aku telah memiliki batu rubi hijau yang sangat indah." umpatnya sambil mengamati pahatan batu di tangan kirinya.

Kemudian lelaki itu beranjak pergi meninggalkan reruntuhan gua setelah meletakkan pahatan patung berbentuk wajah seorang lelaki didepan mulut gua tempat ia masuk.

Setelah berjalan beberapa langkah ia memandang reruntuhan gua itu.

"Selamat tinggal semuanya. Selamat tinggal Petra, suatu saat Simkath akan kembali lagi untuk menuntut balas atas perbuatan yang telah kalian lakukan kepadaku." ucap Simkath dengan mata memerah memancarkan amarah.

***

Berhari -- hari ia melangkahkan kakinya tak tentu arah, kini sudah tidak ada yang bisa ia percaya lagi. Simkath pergi meninggalkan Kota Petra. Ia melanjutkan perjalanannya menuju Kota Hadera di Israel. Dari Hadera, ia akan melanjutkan perjalanannya menuju ke sebuah pulau kecil yang tak jauh dari Hadera. Yakni Pulau Siprus. Pulau para penyihir.

Hanya butuh waktu dua hari perjalanan unta untuk sampai di Kota Hadera.

Setelah sampai disana, Simkath segera mencari sebuah pasar. Ia membutuhkan uang untuk keperluannya selama di Pulau Siprus nanti. Jadi ia memutuskan untuk menjual keahlian meramalnya di pasar itu.

Keberuntungan berpihak kepadanya, dalam sehari ia berhasil mendapatkan sepuluh hingga lima belas orang di pasar. Keahlian membaca nasib orang yang dimilikinya cukup membuat pengunjungnya merasa puas. Uang hasil meramalnya itu ia gunakan untuk menyewa sebuah rumah kecil. Sekedar untuk ia tidur di malam hari.

Keesokan harinya...

"Terimakasih Tuan, semoga kali ini panen kurmaku tidak gagal lagi seperti tahun lalu. Aku akan menuruti nasehat Tuan."

"Percayalah, selama ada niat yang kuat kau pasti bisa melalui semua ini. Ramalanku tidak akan meleset." ucap Simkath tegas dengan nada yang sangat meyakinkan.

"Terimakasih Tuan, saya pamit dulu."

"Tunggu sebentar..." ucap Simkath.

"Ada apa Tuan?"

"Apakah kau tahu dimana pelabuhan terdekat disini?"

"Ada Tuan, berjalanlah ke arah Utara. Dalam waktu kurang dari satu jam, Tuan akan sampai disana."

"Terimakasih, ini sebagai imbalan atas informasi yang kau berikan." ucap Simkath sambil menyerahkan sebotol minyak wangi Myyrh miliknya.

Hanya dalam sepekan, uang telah terkumpul banyak. Mengisi kantung -- kantung uang miliknya.

"Sepertinya aku harus segera berangkat ke Pulau Siprus. Aku tak akan menunggu lama agar bisa membalaskan dendamku." ucap Simkath dengan gigi gemeretak dan tangan mengepal. Kemarahan telah menguasai dirinya.

Siang itu Simkath segera mengemasi barangnya. Membawa apa saja yang ia perlukan. Setelah semuanya beres, ia segera menuju pasar untuk memesan sebuah rantai kalung lengkap dengan pengikat liontin pada seorang pengrajin perak.

Keadaan pasar cukup ramai. Banyak pedagang berlalu lalang. Mereka mengenakan jubah untuk menghindari panas yang menyengat. Dilengkapi dengan turban bagi lelaki dan kerudung  bagi wanita.

"Apakah kau memiliki kalung rantai dengan pengikat liontin?" tanya Simkath kepada pengrajin perak di Pasar Kota Hadera.

"Ada Tuan, tapi boleh saya lihat liontin yang ingin Tuan pasang?"

"Ini liontinnya..."ucap Simkath sambil menyerahkan sebuah batu rubi hijau miliknya.

"Baik, silakan ditunggu sebentar."

***

Menjelang sore, Simkath telah sampai di pelabuhan Kota Hadera. Ia mencari kapal yang hendak berlayar menuju Pulau Siprus. Berbekal uang hasil meramalnya kemarin, ia mampu membayar kapal yang cukup bagus.

Sengaja ia memilih kapal yang lengkap dengan kamar, agar ia bisa beristirahat di dalam kamar yang disediakan oleh pihak kapal. Sebab perjalanannya kali ini akan memakan waktu sekitar seminggu.

Tak lama berselang, kapal yang akan membawanya ke Pulau Siprus telah datang. Segera ia mengambil gulungan daun papirus yang bertuliskan namanya. Gulungan itu sebagai bukti pembayaran sewa kapal yang ia pesan beberapa hari lalu.

Saat hari menjelang senja, kapal Simkath mulai berlayar meninggalkan pelabuhan Kota Hadera di Israel, lalu Simkath akan bertolak menuju ke Pulau Siprus.

"Silakan Tuan, ini kamar Tuan. Selamat menikmati perjalanan Tuan. Jika Tuan membutuhkan sesuatu, silakan bunyikan lonceng ini. Kami akan datang melayani Tuan." jawab si pelayan kapal dalam balutan sorban dan turban biru gelap.

Simkath mengangguk tanda mengerti.

Perjalanan kapal itu nampaknya akan berjalan lancar. Sebab dalam bulan ini gelombang laut cukup tenang untuk pelayaran.

Dengan langkah pelan Simkath memasuki kamarnya. Membereskan barang bawaannya. Kemudian ia merebahkan dirinya diatas ranjang yang empuk.

Pikirannya beralih ke kejadian yang dialaminya didalam gua di kaki Gunung Hor kemarin. Kejadian yang aneh namun berhasil menyelamatkan hidupnya. Simkath memutar otaknya berkali -- kali. Memikirkan maksud dibalik semua itu. Sebagai peramal, ia sudah pasti bisa menebak aura seseorang maupun aura yang ada di sekelilingnya.

"Sepertinya ini semua adalah rencana Dewa. Aku bisa merasakan getarannya sejak aku memasuki gua itu. Dan ini adalah buktinya." gumam Simkath sambil memutar -- mutar liontin batu rubi hijau di tangannya.

"Berkatilah aku dewa..." ucap Simkath pelan sambil memejamkan matanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun