Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Teana - Al Khuraimat (Part 7)

28 April 2017   09:24 Diperbarui: 2 Mei 2017   13:28 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu matahari bersinar cukup hangat. Awan berarak di angkasa. Memberi warna biru cerah. Secerah senyum Aairah.

Semalam adalah malam yang membahagiakan untuk Aairah. Malam yang penuh harapan. Untuknya dan suaminya

“Oh Dewi, semoga kami segera mempunyai keturunan.” gumam Aairah dalam hati.

Sebuah senyuman terlukis di wajahnya.

Dengan mata terpejam dan tangannya mendekap dada, ia mengucap do’a dalam hatinya. Sebuah do’a yang ia panjatkan kepada Dewi Allat. Dewi kesuburan Bangsa Nabataea.

Angin berhembus pelan. Membuat suasana makin sejuk di Qasr Al Binth pagi itu.

Di seluruh penjuru Kota Hegra pagi itu cukup sibuk. Orang – orang sedang membersihkan rumah mereka. Memasang hiasan – hiasan didepan pintu rumah mereka.

Mulai dari Qasr Al Binth hingga ke pelosok Qasr Al Farid. Mulai dari para pembesar kerajaan hingga para budak. Semuanya larut dalam suasana perayaan

Penduduk di Kota Hegra -  termasuk Aairah dan suaminya - tinggal didalam batuan gunung berukuran besar. Batuan gunung itu bernama Qasr Al Binth. Sebuah pemukiman untuk para pembesar kerajaan.

Pemukiman yang khusus dibuat oleh pihak kerajaan untuk orang – orang yang memiliki kedudukan penting di kerajaan.

Untuk batu yang cukup besar diisi oleh tiga sampai empat kepala keluarga. Sehingga dalam satu batu gunung itu terdapat tiga sampai empat pintu. dimana masing – masing pintu berderet sejajar satu sama lain.

Tak jauh dari Qasr Al Binth, terdapat batu gunung besar yang dinamakan Al Khuraimat. Sebuah pemukiman di Hegra yang merupakan tempat tinggal para pendeta dan pelayan kuil.

Pagi itu Aairah dan pelayannya Hamra hendak pergi ke Al Khuraimat. Hamra mengikuti Aairah dari belakang sambil membawa sebuah keranjang berisi hasil kebun yang telah ia persiapkan tadi pagi. Di perjalanan ia bertemu Daleela.

“Bagaimana kabarmu Aairah? Aku dengar semalam kau baru saja pulang dari Petra.” tanya Daleela.

“Aku baik – baik saja Leela, kami pulang malam hari. Cukup melelahkan, tapi aku puas bisa berdo’a di kuil Al Khazneh. Memanjatkan do’a kepada Dewi Uzza.” jawab Aairah singkat.

“Do’a? Jauh – jauh kau pergi ke Petra hanya untuk berdo’a?” tanya Daleela keheranan.

“Kenapa? Apa ada yang salah?”

“Ti… tidak, tapi mengapa harus jauh – jauh kesana? Bukankah kita bisa berdo’a di Al Khuraimat? Lebih dekat dan tidak melelahkan.” jawab Daleela sambil berjalan beriringan dengan Aairah.

“Jika seseorang telah memiliki keinginan yang kuat, jarak sejauh apapun tidak akan menjadi masalah bukan?” ucap Aairah.

Daleela saling pandang dengan Aairah. Ia terdiam. Dengan sedikit tersenyum datar, ia membalas senyuman Aairah. Daleela mulai menangkap maksud dibalik senyuman Aairah itu.

“Nyonya, maaf. Kita sudah sampai.” ucap Hamra dengan suara pelan dibelakang telinga Aairah.

Aairah berhenti sebentar, membuka kerudungnya, dan melihat sekeliling. Daleela ikut berhenti.

“Hmm… Daleela, nampaknya kita harus berpisah disini. Ada sesuatu yang ingin aku beli.” ucap Aairah kepada Daleela.

“Oh, kau ingin membeli domba itukah?” tanya Daleela.

“Iya, aku akan berdo’a di Al Khuraimat seperti katamu.” jawab Aairah singkat sambil tersenyum menatap Daleela.

Saat itu juga wajah Daleela memerah. Ia merasa malu atas perkataannya barusan. Perkataan yang merendahkan Aairah. Menyepelekan Aairah.

“Maafkan aku Aairah, aku tidak bermaksud….” jawab Daleela terbata – bata menahan rasa malu.

“Tidak apa – apa Daleela, aku paham maksud baikmu.” ucap Aairah sambil tersenyum.

“Baiklah, aku akan melanjutkan perjalananku. Aku hendak ke Qahrs Al Farid. Ada beberapa barang yang ingin aku beli.”

“Hati – hati Daleela.”

“Iya terimakasih Aairah.”

Setelah berpamitan, merekapun berpisah. Aairah dan Hamra bergegas menuju sebuah tenda besar yang ada di pinggir jalan. Tenda itu dipenuhi domba.

Aairah menghampiri seorang lelaki yang duduk tak jauh dari tendanya. Lelaki itupun berdiri dari tempatnya.

“Maaf Tuan, apakah kau penjual domba – domba ini?” tanya Aairah kepada lelaki itu.

“Benar Nyonya, ada yang bisa aku bantu?” jawab si lelaki bersorban hijau.

“Tuan, pilihkan aku satu domba yang terbaik yang Tuan punya.” ucap Aairah setelah ia membuka kerudung penutup kepalanya.

“Domba untuk keperluan apa Nyonya?” tanya penjual domba.

“Persembahan.” jawab Aairah singkat.

“Tunggu sebentar Nyonya, akan saya carikan.” jawab penjual domba. Lalu ia masuk kedalam tendanya.

Di pagi hari yang agak panas itu, Aairah dan Hamra hendak berdo’a di Al Khuraimat. Setelah kemarin ia berdo’a di Al Khazneh, ia ingin berdo’a lagi disana.

Berharap kali ini Dewi Uzza akan mendengarkan do’a nya. Ia ingin segera diberi seorang keturunan.

Tak lama kemudian kembalilah penjual domba sambil membawa seekor domba berwarna putih yang gemuk dan sehat.

“Ini Nyonya, domba terbaik yang aku punya. Domba ini sangat cocok untuk persembahan kepada dewa.” ucap pemilik domba.

Kesepakatan antara keduanya terjadi. Aairah menyetujui harga yang ditawarkan pemilik domba.

Setelah ia menyerahkan 10 koin emas sebagai ganti domba itu, lelaki penjual domba menyerahkan tali pengikat domba kepada Hamra.

“Ini dombanya, peganglah erat – erat domba ini. Jangan sampai lepas. Karena ini adalah domba jantan terbaik disini.” ujar si penjual domba.

“Iya Tuan,” jawab Hamra singkat.

“Baiklah Tuan, aku dan pelayanku permisi dulu. Terimakasih banyak.” ucap Aairah dengan sopan dan lemah lembut. Sikapnya yang anggun menunjukkan bahwa ia adalah seorang bangsawan.

“Sama – sama Nyonya.” jawab si penjual domba.

Aairah dan Hamra kembali melanjutkan perjalanannya. Aairah mengambil keranjang dari tangan Hamra.

Sementara Hamra memegang tali pengikat domba. Mereka berdua berjalan menuju Al Khuraimat yang letaknya cukup dekat dari tempat ia membeli domba.

Sepanjang perjalanan mereka menuju Al Khuraimat, banyak sekali tenda – tenda didirikan. Tenda berwarna putih kecoklat – coklatan yang telah usang oleh debu padang pasir. tenda – tenda itu membentuk sebuah barisan mirip ular yang memanjang.

Tenda itu merupakan tempat tinggal orang Nabataea yang berada di Hegra. Namun mereka hanya singgah sebentar untuk kemudian melanjutkan perjalanan mereka kembali. Seperti kebiasaan nenek moyang Bangsa Nabataea yang suka berpetualang. Berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.

Diluar tenda nampak beberapa orang menyalakan api kecil untuk merebus air dalam periuk. Asap mengepul tebal ke udara. Ada juga yang memanggang daging kambing.

Beberapa ekor unta ditambatkan di sebuah tiang tidak jauh dari tenda – tenda itu.

Masing – masing tenda itu berisi beberapa orang. Dua hingga lima orang untuk sebuah tenda. Mereka tinggal secara berkelompok.

Dalam satu kelompok selalu ada seorang wanita. Wanita itu bertugas mengurusi kebutuhan makan untuk kelompok mereka karena diantara mereka masih memiliki hubungan kekerabatan satu sama lain.

Kehidupan seperti ini merupakan sebuah ciri khas Bangsa Nabataea yang tidak dimiliki bangsa lain di semenanjung Arab.

“Kemarilah, daging kambingnya telah matang.” ucap salah seorang lelaki muda.

“Ayo mari kita makan,” sahut yang lain.

“Ummi… Mana kopinya?”

“Iya, tunggu sebentar. Aku sedang memasak air. Kalian makanlah dulu.” sahut wanita paruh baya yang dipanggil dengan sebutan Ummi.

Setelah mendapatkan domba untuk persembahan kepada dewa, Aairah akhirnya sampai di Al Khuraimat. Sebuah tempat suci di Kota Hegra. Tempat itu berada di sebuah bukit batu besar. Dengan puncaknya yang mendatar.

Di tempat itu terdapat empat buah ruangan. Masing – masing ruangan memiliki sebuah pintu yang cukup tinggi. Setiap pintunya bermotifkan pahatan tiang rumah yang beratap segitiga.

Sedikit lebih keatas, terdapat pahatan berbentuk dua buah anak tangga yang menurun kebawah. Kedua anak tangga itu bertemu di satu titik tepat ditengah – tengah pintu rumah mereka.

Anak tangga itu melambangkan tempat tertinggi yang dihuni para dewa Bangsa Nabataea. Tempat yang kekal dan abadi.

“Selamat siang Nyonya, ada keperluan apakah Nyonya datang kemari?” sapa seorang lelaki paruh baya di halaman depan Al Khuraimat.

Lelaki itu berjubah putih panjang. Dililitkan di sekujur tubuhnya sebagai penutup badan. Menutupi bahu hingga ujung mata kakinya.

Badannya tidak terlalu tinggi dan agak gemuk. Ia dikenal sebagai seorang pendeta di Kota Hegra. Itu bisa dilihat dari kepalanya yang mulus tak berambut.

Pelan – pelan terdengar suara do’a dilantunkan.

“Pendeta, aku ingin memberikan persembahan domba ini untuk Dewi Allat. Adakah salah seorang pendeta yang bisa memimpin upacara persembahanku?” tanya Aairah sambil membuka penutup kepalanya hingga rambutnya yang panjang berwarna merah kecoklat – coklatan menjulur – julur tertiup angin padang pasir yang cukup kencang siang itu.

“Tentu ada Nyonya. Dan akan selalu ada. Karena kami disini adalah pelayan kuil yang selalu siap melakukan apapun untuk kepentingan Dewa.” jawab sang pendeta sambil menundukkan kepalanya.

Aairah memanggil pelayannya…

“Hamra, bawalah domba jantan itu kemari. Berikan kepada pendeta ini.” perintah Aairah.

“Baik Nyonya.” jawab Hamra sambil berjalan maju memberikan domba jantannya kepada pendeta.

“Oh ya, ini sedikit kurma hasil kebunku yang aku petik sendiri kemarin.” ucap Aairah sambil menyerahkan sebuah keranjang kecil kepada pendeta Al Khuraimat.

“Terimakasih Nyonya, semoga Dewa menerima persembahanmu ini dan segera mengabulkan keinginanmu.” ucap pendeta mendo’akan Aairah.

“Didalamnya juga ada dua botol minuman anggur. Anggur itu adalah anggur terbaik yang aku punya.” ucap Aairah.

“Iya Nyonya, terimakasih. Baiklah kalau begitu. Mari aku antar Nyonya menemui seseorang yang akan membantu Nyonya.”

“Mari.”

Ketiga orang itu kemudian berjalan beriringan menuju salah satu ruangan yang ada di bagian paling ujung bukit batu itu. Jaraknya hanya beberapa meter jauhnya.

“Masuklah Nyonya, berikanlah keranjang kurma dan dombamu ini kepada lelaki yang sedang duduk berdo’a disana.” ucap pendeta itu kepada Aairah.

“Baiklah….” balas Aairah.

Tepat siang hari, saat matahari berada diatas kepala. Persembahan kurma, anggur dan domba jantan itupun dibawa menuju altar yang ada diatas bukit batu Al Khuraimat.

Altar itu berada diatas ruangan yang digunakan oleh para pendeta dan penduduk Kota Hegra untuk berdo’a. Dengan menaiki beberapa anak tangga yang mengarah menuju atas bukit, Pendeta itu membawa domba jantan Aairah.

Sesampainya di altar yang cukup lapang dan luas diatas bukit batu Al Khuraimat. Angin berhembus cukup kencang. Sinar matahari mulai meneteskan butir – butir keringat Aairah dan Hamra.

Pendeta itu menggiring domba persembahan menuju sebuah meja batu. Meja berbentuk persegi yang dipahat sedikit cekung dibagian tengahnya dan terdapat pahatan lurus mengarah keluar ke salah satu sisi meja.

Pendeta menyiapkan peralatan untuk ritual siang itu. Sebuah pisau besar untuk menyembelih domba dan cawan dari tanah liat berukuran sebesar mangkuk kecil.

“Nyonya, bantu aku untuk menaikkan domba ini keatas meja batu.” perintah pendeta.

“Hamra, tolonglah pendeta itu.” ucap Aairah kepada pelayannya.

“Baik Nyonya.” jawab Hamra.

Tak lama kemudian darah segar berwarna kemerahan menetes deras diatas meja. Pelan – pelan mengalir menuju cekungan di tengah meja. Turun pelan melewati sebuah pahatan berbentuk lurus yang menuju keluar ke salah satu sisi meja.

“Ambillah cawan itu, letakkan di sisi meja tempat darah mengalir keluar. Biarkan darah domba ini memenuhi cawan.” perintah pendeta saat darah domba mulai menetes keatas meja.

“Baik Pendeta.” ucap Aairah. Lalu iapun segera melakukan apa yang diperintahkan pendeta tadi sebelum darah domba jatuh keatas bukit batu Al Khuraimat.

“Ucapkanlah permohonanmu kepada Dewa.” ucap pendeta itu.

Dengan menghadap kearah matahari terbit, Aairah memejamkan matanya, menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Mulutnya merapalkan do’a. Angin berhembus pelan menerpa wajahnya. Menghantarkan do’anya menuju tempat para Dewa bersemayam.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun