Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wanita yang Merindukan Hujan

26 Mei 2016   10:50 Diperbarui: 26 Mei 2016   14:27 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan datanglah…. Izinkan aku bertemu anakku. Wanita itu berdo’a kepada Tuhan agar segera mengubah langit yang biru menjadi langit hitam yang sangat gelap. Dan segera diturunkan hujan yang sangat deras. Seperti janji anaknya kepadanya sebelum kepergiannya yang sangat lama. Bahwa ia akan menemuinya kala hujan tiba. Ia sangat merindukan anak dan suaminya.

Rupanya, Tuhan mendengar do’a seorang Warsini. Wanita tua yang kesepian sebatang kara sejak ditinggal pergi kedua permata hatinya. Suami dan anak semata wayangnya.

“Kalian tahu? Aku sangat rindu kalian” ucap Warsini dalam rinai hujan yang sangat deras siang itu.. Lalu ia menari dengan riangnya dibawah guyurannya.

***

Persalinan itu sangat lama dan sulit. Mengingat usia Warsini yang tak lagi muda. Ia mengejan sekuat – kuatnya. Berusaha memindahkan buah hatinya ke dunia yang baru. Dari dunia rahim ke dunia nyata. Dunia sesungguhnya. Dengan peluh bercucuran di kening dan lehernya. Darah mengalir segar dari kedua selangkangannya.

Antara hidup dan mati, akhirnya buah hatinya keluar juga. Tangisannya bercampur ke udara dengan derasnya hujan. Warsini mendengarnya samar – samar. Senyum bahagia terukir di wajahnya. Senyum Warsini menghilang. Napasnya tinggal satu – satu. Saat itulah tangis bayinya tak terdengar kembali. Lenyap dibawa suara deras hujan malam itu. Dan sepertinya, ia tak akan pernah kembali lagi. Tak akan pernah menampakkan wajahnya di hadapan Warsini karena perawat yang membantu persalinannya terburu – buru memandikan dan membungkusnya dengan kain kafan agar secepat mungkin dimakamkan. Mengingat waktu sudah hampir malam.

Tiba – tiba sesosok gadis kecil mendadak muncul disamping Warsini.

“Siapa kau….” tanya Warsini kepadanya dalam suara yang sangat lirih. Hanya angin dan gadis itu saja yang bisa mendengarnya. Lainnya tidak.

“Aku anakmu Ibu, maafkan aku. Aku tak bisa menemanimu setiap hari. Karena Tuhan memanggilku kembali. Ada tugas yang belum aku selesaikan disana. Tapi aku berjanji Bu, aku akan menemuimu setiap kali hujan tiba. Saat itu aku akan datang bersama dengan turunnya hujan ke bumi. Tunggu aku ibu” ucap gadis kecil itu kepada ibunya.

“Tunggu…. Siii siapa kauuuu” teriak Warsini lirih. Lalu pingsan.

***

Begitulah Warsini saat musim hujan tiba. Ia selalu merintih dalam do’a. Setiap hari. Terdengar sangat sering. Sesering hujan yang turun di musim hujan. Sebanyak tetes air yang dibawa oleh hujan dan diantar oleh angin kerumahnya. Lalu turun membasahi halaman rumahnya yang telah lama mengering.

Wanita itu keluar rumah. Menyambut kedatangan hujan dengan penuh sukacita. Berlari mengejar hujan yang rinainya tertiup angin. Seperti gerakan – gerakan menari di udara. Meliuk – liuk sangat indah. Seindah tarian Warsini.

Warsini menari – nari dibawah guyuran hujan. Menari bersama anaknya. Mengayun – ayunkan tangannya seperti menggendong bayi dalam ayunan. Menyanyikan lagu kerinduan seperti yang dinyanyikannya dulu saat anaknya masih dalam kandungan.

“Rinai… peluk ibu nak…” ucap Warsini. Lalu ia tersenyum bahagia.

Ya.. Anak Warsini bernama Rinai. Begitulah ia memanggilnya. Seperti hujan. Yang rinai airnya selalu turun seperti ribuan jarum yang menghunjam ke bumi.

Namun mendadak Warsini berhenti menari…

“Mana ayahmu? Kenapa ia tak datang bersamamu?”

Warsini menghentikan gerakan tangannya, ia menempelkan tangan  kanannya ke telinga, seolah berkonsentrasi mendengarkan sesuatu.

“Oooh begitu? Baiklah, aku akan menunggunya” ucap Warsini sambil tersenyum bahagia.

***

Setahun telah berlalu sejak kematian anaknya. Kematian yang diiringi deras air hujan. Kadangkala ia melakukan gerakan berputar – putar dengan tangan terayun ke depan. Seperti sebuah gasing. Seolah – olah ia sedang menggandeng tangan seseorang. Tangan yang tak akan pernah dilepasnya lagi. Karena dimatanya, itu adalah anaknya yang ingin bermain – main dengannya. Anaknya yang ia beri nama Rinai.

Orang – orang melihat kelakuan Warsini semakin aneh. Di musim hujan ia selalu riang. Namun di musim kemarau ia selalu murung. Hal itu terjadi selama bertahun – tahun. Sehingga lama - kelamaan mereka memaklumi perubahan sikap Warsini.

“Mungkin ia tertekan atas kematian anak tunggalnya. Yang juga anak pertamanya yang ia harapkan muncul selama bertahun – tahun penantiannya. Namun tak muncul juga. Kasihan” ucap Sri Asih salah seorang tetangganya.

“Kau benar, ditambah lagi kematian suaminya Gunadi yang disebabkan oleh hujan. Sungguh tragis. Dua beranak temurun itu mati karena hujan” ucap Muryati tetangga yang lain.

“Tapi kita tidak boleh menyalahkan hujan. Itu dosa” balas Sri Asih

“Ya… aku tahu itu” Muryati menegaskan.

***

“Sudah 15 tahun kita menanti kedatangan buah hati kita. Namun baru kali ini do’a  kita dibalas oleh tuhan. Aku sangat menyayangi bayi ini melebih nyawaku. Jagalah anak kita Bu” ucap Gunadi kepada Warsini seraya mencium buah hatinya sebelum ia pergi untuk bekerja pagi itu.

“Iya Pak, akan aku jaga anak kita. Berhati – hatilah dijalan” pesan Warsini kepada suaminya tercinta sebelum Gunadi menghilang lenyap di balik pagar rumah mereka.

Kebahagiaan itu belumlah lunas dirasakan Warsini. Belum lunas sempurna. Kebahagiaan itu terlalu terburu – buru pergi. Kepergiaannya digantikan oleh kedukaan. Kedukaan yang menyambangi Warsini tepat sore hari di depan pintu rumahnya yang diiringi hujan yang sangat deras.

“Suami ibu kecelakaan tunggal karena saat hujan tiba. Motornya selip” ucap petugas rumah sakit yang mengantar jenazah suaminya sore itu.

“Mengapa kalian berdua selalu pergi begitu saja saat hujan tiba. Mengapa kalian tak mengajakku” ucap Warsini dengan mata berkaca – kaca.

Begitulah perihal kematian Gunadi; suami Warsini.

***

Malam itu, seperti saat musim hujan di tahun – tahun yang lalu. Hujan selalu turun dan enggan  berhenti. Seakan – akan hujan ingin berlama – lama bernostalgia dengan Warsini. Dan seperti biasa, Warsini selalu keluar menikmati hujan. Menyambutnya dan menikmati perjumpaannya dengan Rinai anaknya.

Namun hujan kali ini berbeda dengan tahun – tahun sebelumnya. Hujan kali ini diiringi angin yang cukup kencang. Seolah hendak mengantar seseorang untuk menemui Warsini. Untuk memuaskan kerinduannya yang teramat dalam kepadanya.

“Rinai… kaukah itu? ayahmu mana Nak?” ucap Warsini seraya membasuh guyuran hujan yang mulai perih di matanya. Agar wajah cantik anaknya dan wajah manis suaminya merupa jelas di dalam matanya yang mulai lamur karena guyuran air hujan.

“Aaahh... kalian disitu rupanya. Kau telah menepati janjimu Rinai. Tunggu ibu Nak, ibu datang” ucap Warsini sambil berlari kecil dan menari – nari seperti gerakan anak kelinci melompat – lompat, Warsini menyambut kedatangan mereka berdua dengan penuh sukacita.

“Ibuuu… Kemarilah. Aku rindu padamu ibu” ucap Rinai kepada Warsini.

“Istrikuuu… Datnglah. Kami merindukan kasih sayangmu” ucap Gunadi kepada istri tercintanya.

“Iya suamiku… Anakku… Aku sangat merindukan kalian. Tunggu aku….” ucap Warsini sambil terus melompat dan menari – nari dibawah guyuran air hujan yang sangat deras malam itu.

“Datanglah ibuuu….”

“Kemarilah istrikuuu…”

BRAAAAKKKKK……

T I I I N… T I I I N… T I I I I I I I I N N N…

Tubuh Warsini terpental ke seberang jalan. Jiwanya melesap lenyap ke udara.

“Aku telah datang……” ucap Warsini bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun