Orang – orang melihat kelakuan Warsini semakin aneh. Di musim hujan ia selalu riang. Namun di musim kemarau ia selalu murung. Hal itu terjadi selama bertahun – tahun. Sehingga lama - kelamaan mereka memaklumi perubahan sikap Warsini.
“Mungkin ia tertekan atas kematian anak tunggalnya. Yang juga anak pertamanya yang ia harapkan muncul selama bertahun – tahun penantiannya. Namun tak muncul juga. Kasihan” ucap Sri Asih salah seorang tetangganya.
“Kau benar, ditambah lagi kematian suaminya Gunadi yang disebabkan oleh hujan. Sungguh tragis. Dua beranak temurun itu mati karena hujan” ucap Muryati tetangga yang lain.
“Tapi kita tidak boleh menyalahkan hujan. Itu dosa” balas Sri Asih
“Ya… aku tahu itu” Muryati menegaskan.
***
“Sudah 15 tahun kita menanti kedatangan buah hati kita. Namun baru kali ini do’a kita dibalas oleh tuhan. Aku sangat menyayangi bayi ini melebih nyawaku. Jagalah anak kita Bu” ucap Gunadi kepada Warsini seraya mencium buah hatinya sebelum ia pergi untuk bekerja pagi itu.
“Iya Pak, akan aku jaga anak kita. Berhati – hatilah dijalan” pesan Warsini kepada suaminya tercinta sebelum Gunadi menghilang lenyap di balik pagar rumah mereka.
Kebahagiaan itu belumlah lunas dirasakan Warsini. Belum lunas sempurna. Kebahagiaan itu terlalu terburu – buru pergi. Kepergiaannya digantikan oleh kedukaan. Kedukaan yang menyambangi Warsini tepat sore hari di depan pintu rumahnya yang diiringi hujan yang sangat deras.
“Suami ibu kecelakaan tunggal karena saat hujan tiba. Motornya selip” ucap petugas rumah sakit yang mengantar jenazah suaminya sore itu.
“Mengapa kalian berdua selalu pergi begitu saja saat hujan tiba. Mengapa kalian tak mengajakku” ucap Warsini dengan mata berkaca – kaca.