Begitulah Warsini saat musim hujan tiba. Ia selalu merintih dalam do’a. Setiap hari. Terdengar sangat sering. Sesering hujan yang turun di musim hujan. Sebanyak tetes air yang dibawa oleh hujan dan diantar oleh angin kerumahnya. Lalu turun membasahi halaman rumahnya yang telah lama mengering.
Wanita itu keluar rumah. Menyambut kedatangan hujan dengan penuh sukacita. Berlari mengejar hujan yang rinainya tertiup angin. Seperti gerakan – gerakan menari di udara. Meliuk – liuk sangat indah. Seindah tarian Warsini.
Warsini menari – nari dibawah guyuran hujan. Menari bersama anaknya. Mengayun – ayunkan tangannya seperti menggendong bayi dalam ayunan. Menyanyikan lagu kerinduan seperti yang dinyanyikannya dulu saat anaknya masih dalam kandungan.
“Rinai… peluk ibu nak…” ucap Warsini. Lalu ia tersenyum bahagia.
Ya.. Anak Warsini bernama Rinai. Begitulah ia memanggilnya. Seperti hujan. Yang rinai airnya selalu turun seperti ribuan jarum yang menghunjam ke bumi.
Namun mendadak Warsini berhenti menari…
“Mana ayahmu? Kenapa ia tak datang bersamamu?”
Warsini menghentikan gerakan tangannya, ia menempelkan tangan kanannya ke telinga, seolah berkonsentrasi mendengarkan sesuatu.
“Oooh begitu? Baiklah, aku akan menunggunya” ucap Warsini sambil tersenyum bahagia.
***
Setahun telah berlalu sejak kematian anaknya. Kematian yang diiringi deras air hujan. Kadangkala ia melakukan gerakan berputar – putar dengan tangan terayun ke depan. Seperti sebuah gasing. Seolah – olah ia sedang menggandeng tangan seseorang. Tangan yang tak akan pernah dilepasnya lagi. Karena dimatanya, itu adalah anaknya yang ingin bermain – main dengannya. Anaknya yang ia beri nama Rinai.