Begitulah perihal kematian Gunadi; suami Warsini.
***
Malam itu, seperti saat musim hujan di tahun – tahun yang lalu. Hujan selalu turun dan enggan berhenti. Seakan – akan hujan ingin berlama – lama bernostalgia dengan Warsini. Dan seperti biasa, Warsini selalu keluar menikmati hujan. Menyambutnya dan menikmati perjumpaannya dengan Rinai anaknya.
Namun hujan kali ini berbeda dengan tahun – tahun sebelumnya. Hujan kali ini diiringi angin yang cukup kencang. Seolah hendak mengantar seseorang untuk menemui Warsini. Untuk memuaskan kerinduannya yang teramat dalam kepadanya.
“Rinai… kaukah itu? ayahmu mana Nak?” ucap Warsini seraya membasuh guyuran hujan yang mulai perih di matanya. Agar wajah cantik anaknya dan wajah manis suaminya merupa jelas di dalam matanya yang mulai lamur karena guyuran air hujan.
“Aaahh... kalian disitu rupanya. Kau telah menepati janjimu Rinai. Tunggu ibu Nak, ibu datang” ucap Warsini sambil berlari kecil dan menari – nari seperti gerakan anak kelinci melompat – lompat, Warsini menyambut kedatangan mereka berdua dengan penuh sukacita.
“Ibuuu… Kemarilah. Aku rindu padamu ibu” ucap Rinai kepada Warsini.
“Istrikuuu… Datnglah. Kami merindukan kasih sayangmu” ucap Gunadi kepada istri tercintanya.
“Iya suamiku… Anakku… Aku sangat merindukan kalian. Tunggu aku….” ucap Warsini sambil terus melompat dan menari – nari dibawah guyuran air hujan yang sangat deras malam itu.
“Datanglah ibuuu….”
“Kemarilah istrikuuu…”