Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja Diatas Batu

27 April 2016   17:39 Diperbarui: 28 April 2016   15:59 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Senja http://www.keyword-suggestions.com/c2VuamE/"][/caption]

Sore itu aku sengaja mengunjungimu. Aku membulatkan niatku untuk menyambangimu. Dalam langkah penuh kerinduan, aku mendatangimu. Dengan seikat kenangan dan sekeranjang cinta, aku ingin bersua denganmu.

Kulangkahkan kakiku. Lalu aku duduk disampingmu. Menanyakan kabarmu.

Ayah… Bagaimana kabarmu?

Kau diam tak bergeming.

Mungkinkah kau marah kepadaku, Ayah? Maafkan anakmu.

Maafkan aku yang sengaja menelantarkanmu. Melupakanmu hingga keberadaanmu ditelan masa. Aaah.. aku sungguh anak yang tak berbakti. Maafkan aku ayah. Bisikku kepadamu.

Aku masih disebelahmu ayah…

Teringat masa itu. Tiga puluh tahun yang lalu. Tepatnya sore hari menjelang senja. Ibu melahirkanku ke dunia. Berbekal satu nyawa dan puluhan liter darah, dia mempertaruhkan semuanya demi kelahiranku. Saat itu aku memujanya bak pahlawan dalam hidupku.

Namun persangkaanku ternyata salah. Dalam darahku masih ada darahmu ayah. Ya… Darahmu dan darah istrimu – ibuku. Aaah… betapa egoisnya aku melupakanmu.

Maafkan aku ayah.

Kau diam…

Masih kuingat masa itu. Tangisanku meraung – raung ke udara. Sebuah tangisan ketakutan. Takut akan dunia baruku. Dari kegelapan selama sembilan bulan, mendadak terang benderang tak beraturan. Kuhirupi aroma yang berbeda, kutatapi cahaya yang berkilauan dalam lamurnya mata. Serta suara – suara aneh yang belum pernah aku dengar sebelumnya di dunia lamaku.

Dalam kebingunganku kau datang menghampiriku dan ibuku. Kau berbisik merdu. Melantunkan kumandang adzan di telingaku. Seketika itu berhenti tangisanku. Suaramu menenangkan jiwaku.

Masa bertukar masa. Akupun tumbuh sempurna karenamu. Kau selalu bekerja tak kenal waktu. Peluh keringatmu terbayar dengan air susu untukku. Air susu ibu yang mengokohkan ragaku.

Ayah… masihkah kau disitu ? gumamku.

Aku pernah berteriak memanggilmu. Memaksamu untuk menemaniku bermain. Namun kau berbisik kepada ibu.

“Jagalah anak kita”

Lambaian tanganmu perlahan – lahan menghilang dari pandangan. Hanya senyumanmu yang masih kuingat kala itu. Senyuman kebanggaan akan diriku. Hingga senja kembali ke peraduannya, kau belum pulang menemuiku dan istrimu. Dalam tangisanku aku bertanya kepada ibu

“Kapan ayah pulang Bu?”

Lalu wanita itu menyanyikan nina bobok untukku. Agar aku bisa sejenak melupakanmu. Melepas letihku yang seharian dalam gendongan ibuku.

Aku terbangun dalam kelam malam. Ada sesuatu yang mengganggu tidurku. Aku menangis.

Seketika itu aku merasakan tangan hangat nan kekar menggendongku. Menimangku. Membelai rambutku. Menenangkanku hingga aku terlelap kembali dalam tidurku. Satu yang aku yakini. Itu adalah tanganmu.

Ayah… maafkan anakmu ini. Makin bertumbuh besar makin tak berbakti kepadamu. Maafkan kenakalanku. Sikapku yang menyusahkanmu. Selalu membantah nasehatmu.

Aku tahu dalam hati kecilmu menangis. Menangisi kelakuan nakalku. Meski air mata itu tak nampak dikedua ujung matamu. Sungguh engkau seorang pemeran drama yang hebat. Mampu menyembunyikan tangismu dalam lubuk terdalam dihatimu. Semua itu semata kau lakukan untuk mengajariku agar kuat dalam menjalani hidupku.

***

Ayah… Relakan aku pergi. Pergi menyambut mahligai hidupku yang baru. Pergi tanpa membalas budi baikmu. Maafkan aku ayah. Aku sadar bahwa hutangku terlalu banyak kepadamu. Bak buih di lautan. Debu – debu di udara. Tak sanggup aku membayarnya.

Ibu… Katakan pada ayah.  Sampaikan maafku lewat dekapan erat pelukmu. Pelukan penyesalan yang menggetar dalam hatiku. Sampaikan ibu. Meski lewat deraian airmata yang deras berjatuhan dari kedua pelupuk matamu. Sampaikan pada ayah bahwa aku berjanji akan menjadi kuat sepertinya. Bahwa aku mampu menjadi imam untuk keluargaku. Seperti yang ayah lakukan dahulu.

Ayah… Masihkah kau disitu…..

Apakah kau mendengarku?

Tak terasa kakiku mulai kaku. Desir angin menyapu lembut wajahku. Membangunkanku dari buaian masa lalu. Ayah… aku pergi dulu. Sampaikan salamku kepada ibu. Kelak kita akan berjumpa. Dalam bingkai keluarga yang bahagia. Izinkan anakmu meninggalkanmu. Kan kulantunkan do’a – do’a untukmu. Dan kukirimkan ke langit ketujuh.

Ayah… Maafkan anakmu. Yang tak berbakti kepadamu. Yang selalu membuat susah dirimu. Selamat tinggal ayahku. Terimalah salam dari anakmu. Salam hangatku untukmu dan ibu. Sehangat senja diatas batu nisanmu.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun