Seketika itu aku merasakan tangan hangat nan kekar menggendongku. Menimangku. Membelai rambutku. Menenangkanku hingga aku terlelap kembali dalam tidurku. Satu yang aku yakini. Itu adalah tanganmu.
Ayah… maafkan anakmu ini. Makin bertumbuh besar makin tak berbakti kepadamu. Maafkan kenakalanku. Sikapku yang menyusahkanmu. Selalu membantah nasehatmu.
Aku tahu dalam hati kecilmu menangis. Menangisi kelakuan nakalku. Meski air mata itu tak nampak dikedua ujung matamu. Sungguh engkau seorang pemeran drama yang hebat. Mampu menyembunyikan tangismu dalam lubuk terdalam dihatimu. Semua itu semata kau lakukan untuk mengajariku agar kuat dalam menjalani hidupku.
***
Ayah… Relakan aku pergi. Pergi menyambut mahligai hidupku yang baru. Pergi tanpa membalas budi baikmu. Maafkan aku ayah. Aku sadar bahwa hutangku terlalu banyak kepadamu. Bak buih di lautan. Debu – debu di udara. Tak sanggup aku membayarnya.
Ibu… Katakan pada ayah. Sampaikan maafku lewat dekapan erat pelukmu. Pelukan penyesalan yang menggetar dalam hatiku. Sampaikan ibu. Meski lewat deraian airmata yang deras berjatuhan dari kedua pelupuk matamu. Sampaikan pada ayah bahwa aku berjanji akan menjadi kuat sepertinya. Bahwa aku mampu menjadi imam untuk keluargaku. Seperti yang ayah lakukan dahulu.
Ayah… Masihkah kau disitu…..
Apakah kau mendengarku?
Tak terasa kakiku mulai kaku. Desir angin menyapu lembut wajahku. Membangunkanku dari buaian masa lalu. Ayah… aku pergi dulu. Sampaikan salamku kepada ibu. Kelak kita akan berjumpa. Dalam bingkai keluarga yang bahagia. Izinkan anakmu meninggalkanmu. Kan kulantunkan do’a – do’a untukmu. Dan kukirimkan ke langit ketujuh.
Ayah… Maafkan anakmu. Yang tak berbakti kepadamu. Yang selalu membuat susah dirimu. Selamat tinggal ayahku. Terimalah salam dari anakmu. Salam hangatku untukmu dan ibu. Sehangat senja diatas batu nisanmu.