Kau diam…
Masih kuingat masa itu. Tangisanku meraung – raung ke udara. Sebuah tangisan ketakutan. Takut akan dunia baruku. Dari kegelapan selama sembilan bulan, mendadak terang benderang tak beraturan. Kuhirupi aroma yang berbeda, kutatapi cahaya yang berkilauan dalam lamurnya mata. Serta suara – suara aneh yang belum pernah aku dengar sebelumnya di dunia lamaku.
Dalam kebingunganku kau datang menghampiriku dan ibuku. Kau berbisik merdu. Melantunkan kumandang adzan di telingaku. Seketika itu berhenti tangisanku. Suaramu menenangkan jiwaku.
Masa bertukar masa. Akupun tumbuh sempurna karenamu. Kau selalu bekerja tak kenal waktu. Peluh keringatmu terbayar dengan air susu untukku. Air susu ibu yang mengokohkan ragaku.
Ayah… masihkah kau disitu ? gumamku.
Aku pernah berteriak memanggilmu. Memaksamu untuk menemaniku bermain. Namun kau berbisik kepada ibu.
“Jagalah anak kita”
Lambaian tanganmu perlahan – lahan menghilang dari pandangan. Hanya senyumanmu yang masih kuingat kala itu. Senyuman kebanggaan akan diriku. Hingga senja kembali ke peraduannya, kau belum pulang menemuiku dan istrimu. Dalam tangisanku aku bertanya kepada ibu
“Kapan ayah pulang Bu?”
Lalu wanita itu menyanyikan nina bobok untukku. Agar aku bisa sejenak melupakanmu. Melepas letihku yang seharian dalam gendongan ibuku.
Aku terbangun dalam kelam malam. Ada sesuatu yang mengganggu tidurku. Aku menangis.