“Sudah pak, aku minta cerai”
“Apa? Kau meminta cerai disaat kondisiku seperti sekarang ini? Wanita macam apa kau ini?” ucap Sarjito seraya menahan sesak di dada.
“Iya pak, aku tidak mau merawatmu lagi. Cukup sudah penderitaanku. Aku sendiri sakit – sakitan, ditambah penyakitmu makin lama makin parah. Anak tak tahu dimana. Semua pergi tanpa jejak. Seolah – olah menutup mata atas keadaan kita!” bentak istri Sarjito.
“Ceraikan aku!”
Seminggu setelah pertengkaran hebat itu, keadaan rumah Sarjito sepi. Tidak ada lagi keluarga atau anak kandung Sarjito yang berkunjung kerumah seperti yang biasa mereka lakukan. Bahkan dari luar nampak pintu rumah yang seperti terkunci. Rumah yang mati. Tak ada bau napas, tak ada aroma kehidupan. Sunyi, sepi dan mati.
“Eh ngomong – ngomong bagaimana keadaan Pak Sarjito sekarang ya?”
“Aku tak tahu, sudah seminggu ini aku tak melihatnya keluar”
“Anak dan menantunya?
“Hilang ditelan bumi”
“Istrinya?”
“Minggat. Tak tahan dengan keadaannya yang makin lama makin parah. Bau. Layaknya mayat hidup”