Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Marlojong

27 April 2018   08:49 Diperbarui: 27 April 2018   09:35 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tak habis pikir, mengapa soal suku atau jarak harus menjadi penghalang dalam memilih pasangan hidup. Soal suku, bukankah di mata Allah semua manusia sama, hanya ketakwaannyalah yang membedakannya. Soal jarak, bukankah zaman sekarang tak menjadi masalah karena transportasi kian banyak dan mudah.

Orang tuaku terkadang juga aneh. Sering menasihati anak-anaknya kalau mencari jodoh utamakanlah agamanya. Tapi ketika kusampaikan bahwa calon istriku lulusan pesantren, mereka tetap bergeming. Yang tampak di mata mereka hanyalah soal suku dan jarak. Aneh!

Oh, Tuhan...berikanlah petunjukMu...

Baru saja aku hendak khusyu' untuk memanjatkan doa, tiba-tiba telepon genggamku berdering. Tertulis nama Salwa Hasibuan.

"Aku benar-benar tak menyangka, Bang, kalau hal ini juga menimpa padaku. Aku bingung, Bang!" suara di seberang sana terbata-bata.

"Tenang dulu, Salwa. Coba ceritakan apa yang sebenarnya terjadi", perintahku lembut.

"Ternyata umak-ku juga tak setuju kalau aku mau menikah dengan halak Jawa", jawabnya dengan suara berat.

"Apa?" aku menjerit kaget. Badanku lemas seketika. Telepon genggam di tanganku hampir saja terjatuh. Aku mendesah panjang. "Kok semua jadi begini, lantas apa yang mesti kita lakukan?" tanyaku kemudian spontan.

Suasana hening sesaat. Sepertinya Salwa sedang memikirkan sesuatu. Aku sangat berharap ia tetap pada pendiriannya untuk tidak membatalkan rencana pernikahan ini, apapun yang terjadi. Karena dialah yang selama ini terus memotivasiku agar tidak mudah menyerah.

"Aku punya ide. Bagaimana kalau kita marlojong saja?" suara di seberang telepon mengagetkan lamunanku.

"Marlojong? Apa itu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun