Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Marlojong

27 April 2018   08:49 Diperbarui: 27 April 2018   09:35 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Muka-muka tampak menegang. Sorot mata yang tajam, bak seekor singa hendak menerkam mangsa. Ibu menunduk kaku. Bapak berjalan mondar-mandir tak tentu. Sedangkan kakakku menunjukkan sikap antipati. Suasana hening begitu lama. Sunyi sekaligus menegangkan. Angin semilir dari jendela kayu tak jua membuat mereka tenang dan rileks.

Aura keakraban dan kegembiraan dalam musyawarah keluarga, karena mendengar kabar dariku bahwa aku telah memiliki calon istri, mendadak berubah gaduh dan keterkejutan saat aku menjawab pertanyaan ibu. "Dia orang Batak, Mbok?" jawabku ringan tanpa beban.

"Orang Batak itu wataknya keras, Le!" sontak bapakku menimpali dengan ekspresif hingga ia bangkit dari tempat duduknya.

"Bukannya orang Batak itu agamanya Kristen, apa kamu mau pindah agama?" sambung kakakku tak kalah sengit.

Aku cukup kaget dengan komentar mereka. Aku sempat gelagapan dan tak sanggup mengeluarkan kata-kata beberapa saat lamanya. Ada perasaan takut dan ciut ketika hendak mendebat mereka. Tapi ada dorongan kuat untuk menjelaskan kepada mereka. Aku harus bisa meyakinkan mereka. Harus berani.

"Di...dia itu Islam, Mas. Malah lulusan dari pesantren kok", jawabku masih dengan nada menghormat.

Mendengar jawabanku, bapak dan kakakku malah diam. Entah sedang mencerna jawabanku atau sedang berpikir hal lain. Suasana kembali hening. Perlahan, kulihat ibu mendongak dan sepertinya hendak bicara. Aku berharap ibu akan membela dan berpihak padaku.

"Mengambil istri dari Sumatera apa tidak kejauhan to, Le. Membayangkan jaraknya saja, ibu sepertinya tak sanggup", ujar ibu pelan.

Yah...ternyata meleset dugaanku. Walau tak secara langsung menolak, tapi ibu juga menyatakan keberatannya. Duh, aku harus bicara apa lagi ya untuk bisa meyakinkan mereka semua. Aku berpikir keras untuk menemukan kata-kata yang dapat melunakkan hati mereka.

"Pokoknya, bagaimanapun juga, Bapak tetap tidak setuju kamu menikah dengan orang seberang. Titik!" pungkas Bapakku sembari memukulkan kepalan tangannya ke meja kayu tua di ruang keluarga, dan bergegas meninggalkan kami semua.

Aku menjadi salah tingkah. Aku memandang ke arah kakakku. Aku masih melihat sorot ketidaksetujuan di mata kakakku. Seketika itu juga, kakakku pun angkat kaki mengikuti jejak bapak.

Kini, harapan terakhir aku tujukan kepada ibu. Aku memandangnya dengan menghiba dan penuh harap. Aku menangkap mimik belas-kasih dari pancaran wajahnya. Tatapannya tampak teduh dan menenangkan. Sejurus kemudian, bulir-bulir bening mulai membasahi kulit tuanya yang mulai keriput.

"Ojo cilik ati, Le. Nanti Simbok akan coba berbicara pada Bapakmu", ungkapnya terasa menyejukkan.

Lalu, ia mendekatiku yang masih berdiri mematung. Memegang kedua bahuku dan mengusap rambutku dengan penuh kecintaan. Sesaat, aku merasa sedikit tenang, ada harapan baru yang kini membuncah. Dalam hati aku merapal doa-doa, semoga ibu berhasil meyakinkan Bapak untuk menyetujui pernikahanku.

***

Malam kian larut. Namun, mataku tak jua mau terpejam. Penolakan dari bapak dan kakakku cukup membuatku cemas. Aku tak ingin mengecewakan si Salwa calonku. Aku telah berjanji padanya akan menikahinya dalam waktu dekat. Maka, aku pun berpikir keras, bagaimana meyakinkan bapak dan kakakku agar mereka menyetujui calon pilihanku.

Di tengah kantukku yang mulai terasa, sayup-sayup kudengar bapak dan ibuku sedang bercakap-cakap. Ternyata mereka belum tidur juga. Perlahan, aku keluar dari kamar. Berjalan mengendap-ngendap mendekati kamar mereka. Lalu, aku mendekatkan telingaku ke lubang kunci pintu.

"Aku sebenarnya kasihan sama Joko, Bune. Lha dia kalem dan lembek begitu mau dapat orang Batak yang kasar dan keras gitu?"

"Bapak kok bisa mengatakan dia keras, kan Bapak belum pernah ketemu orangnya" sahut ibu berusaha bersikap netral.

"Banyak orang yang bilang, kalau orang Batak itu keras, Bu" sambung Bapak masih kokoh pada pendiriannya.

"Itu kan baru kata orang. Kita belum tahu persis kebenaranya. Lagian, menurutku, di mana pun pasti ada orang yang baik dan ada orang yang tidak baik, Pak. Wong di desa kita ini tidak sedikit juga orang yang keras, termasuk Bapak sendiri" sindir ibu langsung menohok.

"Apa, Bune. Kok malah ibu balik menuduk bapak, piye to. Wis, pokoknya Bapak tidak setuju kalau Joko mau menikah dengan orang sana. Titik."

Usai berkata demikian, aku dengar Bapak bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu. Laksana maling yang kepergok tuan rumah, aku bergegas berlari kembali menuju kamarku. Dengan napas masih tersengal-sengal karena takut, aku merebahkan badanku di tempat tidur. Mengingat berbagai kejadian hari itu, tak terasa air mataku pun meleleh.

***

Pikiran siapa yang tak suntuk, hati siapa yang takkan kecewa. Ketika niat untuk menikah sudah sedemikian bulat dan mantap, tapi keluarga belum menyetujuinya. Sedih, bingung, sekaligus buntu. Apalagi yang mesti aku lakukan untuk meyakinkan mereka.

Di tengah segala kegundahan dan kegalauan yang tiada menentu, aku menemui calon istriku di Jakarta. Aku pun menceritakan hal yang sedang aku alami.

"Abang keliru sih, bilang aku orang Mandailing, jangan orang Batak", sarannya tegas. "Lagipula, kami juga tidak senang jika disebut orang Batak", imbuhnya kemudian.

Aku pun mengamini masukannya.

***

Sesampainya di kampung, aku mencoba bicara lagi dengan ayah maupun kakakku. Mendengar penuturanku, kakak mulai agak melunak, namun bapakku masih bersikeras menolak calon istriku.

"Bukan orang Batak bagaimana, wong ada marganya gitu?" sanggah bapakku tak kalah cerdik.

Aku sedikit gelagapan. Kesal dan kecewa kembali menggelayuti jiwaku. Sementara ibuku tak dapat berbuat banyak, padahal dari awal ia berada di pihakku, walau sebenarnya ia juga tak sepenuhnya setuju jika aku kawin dengan orang jauh.

Aku benar-benar dihadapkan pada pilihan sulit. Membatalkan janji pada calon istriku adalah hal yang tidak bijaksana dan memalukan, tapi pernikahan tanpa restu kedua orang tua dan keluarga juga hal yang tidak diharapkan.

Aku tak habis pikir, mengapa soal suku atau jarak harus menjadi penghalang dalam memilih pasangan hidup. Soal suku, bukankah di mata Allah semua manusia sama, hanya ketakwaannyalah yang membedakannya. Soal jarak, bukankah zaman sekarang tak menjadi masalah karena transportasi kian banyak dan mudah.

Orang tuaku terkadang juga aneh. Sering menasihati anak-anaknya kalau mencari jodoh utamakanlah agamanya. Tapi ketika kusampaikan bahwa calon istriku lulusan pesantren, mereka tetap bergeming. Yang tampak di mata mereka hanyalah soal suku dan jarak. Aneh!

Oh, Tuhan...berikanlah petunjukMu...

Baru saja aku hendak khusyu' untuk memanjatkan doa, tiba-tiba telepon genggamku berdering. Tertulis nama Salwa Hasibuan.

"Aku benar-benar tak menyangka, Bang, kalau hal ini juga menimpa padaku. Aku bingung, Bang!" suara di seberang sana terbata-bata.

"Tenang dulu, Salwa. Coba ceritakan apa yang sebenarnya terjadi", perintahku lembut.

"Ternyata umak-ku juga tak setuju kalau aku mau menikah dengan halak Jawa", jawabnya dengan suara berat.

"Apa?" aku menjerit kaget. Badanku lemas seketika. Telepon genggam di tanganku hampir saja terjatuh. Aku mendesah panjang. "Kok semua jadi begini, lantas apa yang mesti kita lakukan?" tanyaku kemudian spontan.

Suasana hening sesaat. Sepertinya Salwa sedang memikirkan sesuatu. Aku sangat berharap ia tetap pada pendiriannya untuk tidak membatalkan rencana pernikahan ini, apapun yang terjadi. Karena dialah yang selama ini terus memotivasiku agar tidak mudah menyerah.

"Aku punya ide. Bagaimana kalau kita marlojong saja?" suara di seberang telepon mengagetkan lamunanku.

"Marlojong? Apa itu?"

"Kawin lari, Bang!" jawabnya mantap.

Bagai disambar halilintar dari berbagai penjuru, aku kaget bukan kepalang. Sebuah ide yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Mendadak kepalaku pening, berputar kencang seperti gasing. Tubuhku lunglai. Mata berkunang-kunang.

Dan ...bruuukkkk........! aku tak tahu lagi apa yang terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun