Kini, harapan terakhir aku tujukan kepada ibu. Aku memandangnya dengan menghiba dan penuh harap. Aku menangkap mimik belas-kasih dari pancaran wajahnya. Tatapannya tampak teduh dan menenangkan. Sejurus kemudian, bulir-bulir bening mulai membasahi kulit tuanya yang mulai keriput.
"Ojo cilik ati, Le. Nanti Simbok akan coba berbicara pada Bapakmu", ungkapnya terasa menyejukkan.
Lalu, ia mendekatiku yang masih berdiri mematung. Memegang kedua bahuku dan mengusap rambutku dengan penuh kecintaan. Sesaat, aku merasa sedikit tenang, ada harapan baru yang kini membuncah. Dalam hati aku merapal doa-doa, semoga ibu berhasil meyakinkan Bapak untuk menyetujui pernikahanku.
***
Malam kian larut. Namun, mataku tak jua mau terpejam. Penolakan dari bapak dan kakakku cukup membuatku cemas. Aku tak ingin mengecewakan si Salwa calonku. Aku telah berjanji padanya akan menikahinya dalam waktu dekat. Maka, aku pun berpikir keras, bagaimana meyakinkan bapak dan kakakku agar mereka menyetujui calon pilihanku.
Di tengah kantukku yang mulai terasa, sayup-sayup kudengar bapak dan ibuku sedang bercakap-cakap. Ternyata mereka belum tidur juga. Perlahan, aku keluar dari kamar. Berjalan mengendap-ngendap mendekati kamar mereka. Lalu, aku mendekatkan telingaku ke lubang kunci pintu.
"Aku sebenarnya kasihan sama Joko, Bune. Lha dia kalem dan lembek begitu mau dapat orang Batak yang kasar dan keras gitu?"
"Bapak kok bisa mengatakan dia keras, kan Bapak belum pernah ketemu orangnya" sahut ibu berusaha bersikap netral.
"Banyak orang yang bilang, kalau orang Batak itu keras, Bu" sambung Bapak masih kokoh pada pendiriannya.
"Itu kan baru kata orang. Kita belum tahu persis kebenaranya. Lagian, menurutku, di mana pun pasti ada orang yang baik dan ada orang yang tidak baik, Pak. Wong di desa kita ini tidak sedikit juga orang yang keras, termasuk Bapak sendiri" sindir ibu langsung menohok.
"Apa, Bune. Kok malah ibu balik menuduk bapak, piye to. Wis, pokoknya Bapak tidak setuju kalau Joko mau menikah dengan orang sana. Titik."