***
Si musafir pun urung untuk melanjutkan perjalanan. Ia harus melaksanakan amanat yang telah disanggupinya. Terlebih ini bukanlah pekerjaan ringan, sebab ia belum tahu daerah ini sama sekali dan belum pernah bertemu dengan anak dimaksud. Tapi dengan memohon pertolongan Allah, ia merasa yakin akan dapat menemukannya.
Pencarian pun dimulai. Ia bertanya ke penduduk di sekitar dan mereka mengaku tidak ada yang tahu. Ia terus berjalan hingga nampak olehnya sebuah bukit gersang. Perlahan, ia melihat sekawanan burung gagak yang sedang mengerumuni sesuatu. Ia pun bergegas mendekat.
“Masya Allah, mungkinkah ini si anak itu?” ia terkejut dan tubuhnya gemetar ketika melihat seorang bocah yang tubuhnya sudah hancur dan tercabik-cabik. Rupanya seekor serigala telah menerkamnya dan memakan sebagian tubuhnya dan meninggalkan sisanya untuk burung-burung.
Si musafir pun menuruni bukit dengan kesedihan yang teramat dalam. Ia begitu bingung, apa yang mesti dikatakan kepada bapak tua itu dan dari mana harus memulainya. Sementara itu matahari kian condong ke barat, pertanda sebentar lagi waktu Ashar tiba. Jika tidak menerima amanah itu, menjelang Maghrib seharusnya ia sudah tiba di tempat tujuan.
“Di mana bocah itu?” tanya pak tua yang sepertinya sudah tidak sabar ingin mengetahuinya.
“Jawablah terlebih dahulu, siapakah yang lebih dicintai Allah, engkau atau Ayyub as?” tanya si musafir ketika mendadak mendapatkan ide untuk tidak mengangetkan pak tua.
“Ayyub tentunya”.
“Lalu siapakah di antara kalian yang lebih berat ujiannya?”
“Ayyub juga tentunya”, jawab pak tua mantap.
“Kalau begitu, berharaplah pahala dari Allah karena aku mendapati anakmu telah tewas diterkam serigala di atas bukit sana”.