Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mutiara Gurun

28 Desember 2016   11:17 Diperbarui: 28 Desember 2016   11:38 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Aku akan menceritakan kepadamu, tapi aku punya satu permintaan kepadamu, maukah engkau mengabulkannya?”

“Baiklah, aku bersedia. Tapi jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan mengabulkan permintaanmu?” balas si musafir mencoba meyakinkannya.

“Walau Allah memberiku begitu banyak cobaan, tapi aku tetap selalu bersyukur kepadaNya. Bukankah aku diberikan akal sehat hingga dengannya aku bisa berpikir. Bukankah Ia yang Mahamendengar telah memberiku pendengaran, yang dengannya aku bisa mendengar adzan, memahami ucapan, dan mengetahui apa saja yang terjadi di sekelilingku. Bukankah Dia memberiku lisan, hingga aku bisa berdzikir dan menjelaskan keinginanku. Dan tidakkah Tuhan telah menjadikanku seorang Muslim yang selalu taat dan menyembahNya,” ungkapnya penuh semangat dan berapi-api.

Si musafir hanya bisa menunduk dan mencoba merenungi setiap kalimat yang dilontarkan si kakek tua. Ungkapan si kakek bagai siraman air hujan pada tanah yang tandus gersang, membawa kesejukan dan kehidupan baru. Kata-katanya bagai obat mujarab bagi hati yang terluka dan gelap. Lontarannya bak sabda alam yang membawa kepada kedamaian dan penyuntik ghirah keimanan.

Si musafir memejamkan matanya, ia seakan telah tersihir dan terlena, terbang tinggi ke awan pencerahan dan penyucian. Si kakek masih terus menyebut kenikmatan Allah atas dirinya satu persatu dengan penuh kemantapan iman. Ia begitu menikmati dan ridho atas segala anugerah yang Allah berikan. Sementara banyak di antara manusia yang diberi cobaan sedikit saja sudah mengeluh, menangis pilu, mengingkari segala nikmatNya, bahkan tak jarang hingga berputus asa.

Tak terasa, matahari mulai condong ke barat. Tapi hawa panas menyengat belum juga berkurang. Sesekali terdengar suara tikus gurun atau pekikan ternak-ternak dari kejauhan yang digembalakan orang-orang Badui. Seketika itu, sang kakek teringat akan anaknya yang pergi memetik kurma dari kemarin dan hingga kini belum kembali.

“Nah, aku telah menceritakan semuanya kepadamu, kini saatnya aku menyampaikan permintaanku kepadamu?”

Si musafir sedikit terkejut karena terlena beberapa saat akan untaian kata si kakek yang begitu dalam dan menentramkan. “Baiklah, katakan kepadaku Tuan”.

Si musafir menundukkan kepalanya sejenak, “Tiada lagi yang tersisa dari keluargaku melainkan seorang bocah berumur 15 tahun. Dialah yang memberiku makan dan minum, mewudhukan, dan mengurusi segala keperluanku. Sejak kemarin dia pergi mencari makan untukku dan hingga kini belum kembali. Aku tak tahu apakah ia masih hidup dan diharapkan kepulangannya, sementara kau tahu sendiri aku tidak bisa mencarinya”.

Seraya menahan tangis, ia berkata lagi, “Maukah engkau mencarikannya untukku?”

Si musafir hanya memberi tanda bahwa ia menyanggupi permintaan itu. Lalu ia meminta sang kakek untuk menjelaskan ciri-ciri anak tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun