Ketika lidah begitu dominan, maka makan tak sekedar lagi untuk menutupi rasa lapar semata, tapi sudah mengarah kepada keserakahan dan kemubadziran. Lidahlah yang meghendaki makan terlalu banyak, menginginkan makanan yang enak dan lezat, berselera untuk makan dengan harga yang mahal. Kita sering makan secara berlebihan, makan harus yang enak, atau didorong oleh rasa gengsi membeli makanan yang harganya selangit. Makan menjadi sebuah selera (baca=nafsu), makan sebagai sebuah budaya.
Padahal, budaya makan seperti di atas belum tentu membawa kesehatan atau membawa manfaat lainnya, tapi justru cenderung merusak kesehatan dan membawa kepada kerusakan. Makan yang berlebihan akan bisa merusak kesehatan. Makanan yang lezat seringkali menjadi sumber berbagai macam penyakit. Serta membeli makanan mahal adalah suatu bentuk pemborosan.
Terlebih lagi, makanan di restoran kebanyakan adalah fastfood atau makanan instan, yang tentu tidak alami lagi dan sangat banyak menggunakan bahan kimia buatan (penyedap rasa, pewarna, pengawet, pemanis buatan). Dalam jangka panjang, mengonsumsi jenis makanan tersebut akan menimbulkan berbagai gangguan kesehatan dari ringan hingga yang berat, seperti tumor, kanker, radang, disfungsi organ tertentu, dll.
Belum lagi jika kita belum mengetahui betul, apakah semua bahan-bahan yang dipakai adalah sudah dijamin kehalalannya. Karena tak jarang ada bahan yang mengandung babi, hewan yang tidak disembelih secara benar dan Islami. Bagi umat Islam, hal ini perlu mendapat perhatian dan pertimbangan utama.
Pada dasarnya tidak ada larangan untuk makan di restoran atau makan enak, sesekali bolehlah, untuk variasi dan rekreasi. Tapi jika sudah menjadi budaya dan gaya hidup, tentu persoalannya lain lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H