Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Kebudayaan Makan

3 Juli 2016   06:58 Diperbarui: 3 Juli 2016   08:48 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ketika lidah begitu dominan, maka makan tak sekedar lagi untuk menutupi rasa lapar semata, tapi sudah mengarah kepada keserakahan dan kemubadziran. Lidahlah yang meghendaki makan terlalu banyak, menginginkan makanan yang enak dan lezat, berselera untuk makan dengan harga yang mahal. Kita sering makan secara berlebihan, makan harus yang enak, atau didorong oleh rasa gengsi membeli makanan yang harganya selangit. Makan menjadi sebuah selera (baca=nafsu), makan sebagai sebuah budaya.

Padahal, budaya makan seperti di atas belum tentu membawa kesehatan atau membawa manfaat lainnya, tapi justru cenderung merusak kesehatan dan membawa kepada kerusakan. Makan yang berlebihan akan bisa merusak kesehatan. Makanan yang lezat seringkali menjadi sumber berbagai macam penyakit. Serta membeli makanan mahal adalah suatu bentuk pemborosan.

Terlebih lagi, makanan di restoran kebanyakan adalah fastfood atau makanan instan, yang tentu tidak alami lagi dan sangat banyak menggunakan bahan kimia buatan (penyedap rasa, pewarna, pengawet, pemanis buatan). Dalam jangka panjang, mengonsumsi jenis makanan tersebut akan menimbulkan berbagai gangguan kesehatan dari ringan hingga yang berat, seperti tumor, kanker, radang, disfungsi organ tertentu, dll.

Belum lagi jika kita belum mengetahui betul, apakah semua bahan-bahan yang dipakai adalah sudah dijamin kehalalannya. Karena tak jarang ada bahan yang mengandung babi, hewan yang tidak disembelih secara benar dan Islami. Bagi umat Islam, hal ini perlu mendapat perhatian dan pertimbangan utama.

Pada dasarnya tidak ada larangan untuk makan di restoran atau makan enak, sesekali bolehlah, untuk variasi dan rekreasi. Tapi jika sudah menjadi budaya dan gaya hidup, tentu persoalannya lain lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun