KEBUDAYAAN MAKAN
Oleh: Trimanto B. Ngaderi*)
Makan adalah kebutuhan dasar setiap mahkluk hidup untuk menjaga keberlangsungan hidupnya. pun dengan manusia, ia harus makan untuk tetap bertahan. Secara alamiah, orang membutuhkan makan ketika perutnya sudah memberikan sinyal berupa rasa lapar. Rasa inilah yang mendorong manusia mencari makanan untuk mengisi perutnya.
Allah Yang Mahapemurah telah menyediakan alam semesta ini dengan berbagai jenis makanan di dalamnya, baik yang berasal dari tumbuhan maupun hewan, baik yang langsung bisa dimakan maupun yang mesti diolah/dimasak terlebih dahulu. Dan manusia diberi kebebasan untuk memakan apa saja yang dia inginkan dan dia sukai, asalkan jangan yang diharamkan olehNya.
Secara fitrah, ketika perut lapar, ia tidak meminta atau menuntut makanan tertentu, atau dengan kata lain ia tidak pernah menolak apapun yang diberikan kepadanya. Mau dikasih nasi kucing harga seribu rupiah atau dikasih nasi dari beras termahal, ia terima semuanya. Mau dikasih ikan asing atau daging terenak, ia pun menerimanya. Atau mau dikasih soto seharga lima ribu atau seharga lima puluh ribu pun, tetap ia terima.
Demikian pun dengan minum, mau diberi minum air putih atau diberi susu, ia mau menampungnya. Mau diberi teh hangat atau jus buah, ia terima dengan senang hati. Atau mau dituang dengan kopi seharga dua ribu per gelas atau kopi seharga lima puluh ribu segelas, ia pun takkan menolaknya.
Kegiatan industrilah yang telah mengubah makan dari tindakan alamiah dan sederhana menjadi sebuah seremoni budaya yang rumit dan glamor. Lalu, orang ramai-ramai mendirikan warung, kedai, rumah makan, restoran, dan semacamnya. Orang makan tidak  sekedar sepering nasi dengan sendok dan garpu plus sayur dan lauk seperlunya.
Kini orang makan disetting dengan budaya tertentu. Kelengkapan minum dan lauk-pauknya, peralatan makannya, jenis masakan dan variannya, tempat dan suasana makannya, dekorasi dan hiasannya, para penyaji dan pelayannya, musik pengiring dan hiburannya, segala aksesoris dan fasilitas pendukung lainnya. Intinya, makan menjadi persoalan yang rumit dan kompleks.
Belum lagi terkait dengan perihal makan (terutama di restoran). Kita mengenal ragam jenis pelayanan, ragam harga, paket-paket menu, diskon pada momen tertentu atau dengan kartu tertentu, kelas biasa dan kelas VIP, fasilitas delivery order, dll. Ada lagi restoran terpadu, dalam arti sudah sekaligus menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung seperti penginapan atau hotel, tempat belanja, ruang internet, biro perjalanan, kids fun, dan seterusnya.
Dominasi syahwat perut
Sekali lagi perut tidak pernah rewel, apapun yang diberikan kepadanya akan ia terima dengan senang hati tanpa pernah menolaknya. Berbeda dengan lidah kita, karena di sanalah asal-muasal rasa dan selera. Nafsu dan syahwat perut bersumber dari sini.
Ketika lidah begitu dominan, maka makan tak sekedar lagi untuk menutupi rasa lapar semata, tapi sudah mengarah kepada keserakahan dan kemubadziran. Lidahlah yang meghendaki makan terlalu banyak, menginginkan makanan yang enak dan lezat, berselera untuk makan dengan harga yang mahal. Kita sering makan secara berlebihan, makan harus yang enak, atau didorong oleh rasa gengsi membeli makanan yang harganya selangit. Makan menjadi sebuah selera (baca=nafsu), makan sebagai sebuah budaya.
Padahal, budaya makan seperti di atas belum tentu membawa kesehatan atau membawa manfaat lainnya, tapi justru cenderung merusak kesehatan dan membawa kepada kerusakan. Makan yang berlebihan akan bisa merusak kesehatan. Makanan yang lezat seringkali menjadi sumber berbagai macam penyakit. Serta membeli makanan mahal adalah suatu bentuk pemborosan.
Terlebih lagi, makanan di restoran kebanyakan adalah fastfood atau makanan instan, yang tentu tidak alami lagi dan sangat banyak menggunakan bahan kimia buatan (penyedap rasa, pewarna, pengawet, pemanis buatan). Dalam jangka panjang, mengonsumsi jenis makanan tersebut akan menimbulkan berbagai gangguan kesehatan dari ringan hingga yang berat, seperti tumor, kanker, radang, disfungsi organ tertentu, dll.
Belum lagi jika kita belum mengetahui betul, apakah semua bahan-bahan yang dipakai adalah sudah dijamin kehalalannya. Karena tak jarang ada bahan yang mengandung babi, hewan yang tidak disembelih secara benar dan Islami. Bagi umat Islam, hal ini perlu mendapat perhatian dan pertimbangan utama.
Pada dasarnya tidak ada larangan untuk makan di restoran atau makan enak, sesekali bolehlah, untuk variasi dan rekreasi. Tapi jika sudah menjadi budaya dan gaya hidup, tentu persoalannya lain lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI