Jasmerah –Jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Suka atau tidak suka, 17 Agustus dan Kemerdekaan Indonesia seringkali divisualisasikan dan diidentifikasikan sebagai pertempuran berdarah “kaum pribumi Indonesia” yang memperjuangkan tanah pribumi mereka dengan senjata primitif di dunia yang sangat maskulin dan kelaki-lakian –Mitos atau fakta?
Mulai dari sejarah terlupakan pilot Indonesia yang melakukan aerial bombing(pengeboman dari pesawat) terhadap pasukan Belanda, pejuang perempuan hingga kontribusi etnis Tionghoa, berikut adalah mitos yang sering menyelimuti sejarah Kemerdekaan Indonesia.
Mitos #1
Pejuang kemerdekaan Indonesia adalah sekelompok pasukan irreguler yang memperoleh kemerdekaan RI dengan pertempuran bambu runcing.
Fakta
Meskipun memang terdapat ketimpangan militer antara Belanda (dan sekutu) dan pejuang Indonesia, namun sesungguhnya pejuang kemerdekaan Indonesia merupakan sekumpulan pasukan profesional yang merupakan embrio dari TNI.
Pertempuran dengan senjata primitif seperti bambu runcing –meski terjadi di beberapa tempat dan tanpa mengurangi rasa hormat terhadap para pejuang– merupakan sebuah romantisasi yang dikonstruksikan –Yang tentu saja untuk meromantisir sebuah tindakan patriotisme. Saya sendiri melihat bahwa romantisasi ini justru menghidupkan retorika keliru “Bangsa kulit putih (Belanda) pasti lebih unggul dari bangsa kulit berwarna (Indonesia) dalam teknologi dan kepandaian”.
Kembali ke topik: Mayoritas para pejuang kemerdekaan adalah mereka yang pernah mendapatkan pelatihan bersenjata Masa Pendudukan Jepang, seperti PETA (Pembela Tanah Air), Seinendan, Keibodan dan Heiho. Persenjataan utama mereka adalah sten gun Jepang namun minim senapan mesin. Dari mana mereka mendapatkan stok senjata dan amunisi? Dari bunker militer Jepang yang ditinggalkan begitu saja oleh bala tentara Dai Nippon setelah mereka keluar dari Hindia Belanda pasca-pengeboman Hiroshima dan Nagasaki. Ditambah dengan usaha menyelundupkan senjata dari luar negeri.
Tahukah Anda bahwa dalam Agresi Militer Belanda I di tahun 1947, pejuang kemerdekaan Indonesia mengerahkan pesawat pengebom untuk menghancurkan markas dan gudang persenjataan Belanda di Jawa Tengah? Pengeboman yang kemudian dikenal sebagai misi perdana TNI-AU (saat itu dikenal sebagai AURI) ini dikomandani oleh Kadet Mulyono, yang sempat menuliskan kisahnya dalam Majalah Angkasa edisi tahun 2004. Selain Mulyono, turut serta penerbang AURI yang ikut melakukan misi pengeboman, yakni Kadet Sigid Sutardjo dan Kadet Suharnoko. Para penerbang ini menggunakan pesawat latih Jepang yang dilengkapi dengan bom dengan sasaran posisi Belanda di Semarang, Salatiga dan Ambarawa. Peristiwa ini kemudian dikenang sebagai Hari Bhakti TNI AU yang diperingati setiap tanggal 29 Juli.
Kita seharusnya lebih berbangga bahwa dengan segala keterbatasan, pejuang RI masih bisa melawan penjajah sebagai sebuah kesatuan yang profesional.