Mohon tunggu...
Muhammad Reza Zaini
Muhammad Reza Zaini Mohon Tunggu... -

An anthropolgy and sociology enthusiast. Bachelor from FISIP UI.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Indonesia (Hendak) Dipecah-belah Oleh Kerusuhan Tanjung Balai

30 Juli 2016   14:12 Diperbarui: 30 Juli 2016   14:41 1026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu saja yang saya maksudkan di sini adalah munculnya kembali retorika “Pribumi versus Non-Pribumi (Tionghoa)”. Memang, konteks penduduk asli vs. pendatang juga timbul dalam konflik di Lampung, Kalimantan Tengah atau Ambon. Namun, retorika tersebut hanya dalam konteks “kedaerahan”. Atau dalam Bahasa sederhananya: “Kami tidak ingin ada pendatang di sini karena mereka membuat onar!

Namun, insiden Tanjung Balai menuai provokasi subur dari beberapa pihak “melenceng”, baik di dunia nyata atau maya. Mereka menyerukan kebangkitan “ras pribumi” untuk tidak kalah dengan “pendatang Tionghoa non-pribumi”. Tentu ini adalah rasisme pada level yang lebih tinggi. Sebab, dalam Bahasa sederhananya mungkin akan terdengar: “Tionghoa itu bukan penduduk asli! Kita sebagai pribumi harus menunjukkan ke mereka semua bahwa kita yang punya Indonesia!

Insiden Tanjung Balai bukan hanya memiliki potensi negatif pada masyarakat Sumatra Utara, namun ke seluruh Indonesia dengan adanya potensi kebangkitan isu “pribumi” dan “non-pribumi” yang disebarkan oknum-oknum di luar Sumatra Utara! Dan mereka ingin menegaskan opini mereka bahwa Indonesia itu milik “pribumi”.

Bahkan terdapat laporan yang menyatakan provokator memberikan isu palsu berbau SARA via medsos untuk menjustifikasi kekerasan terhadap etnis Tionghoa (Sumber CNN Indonesia).

Divide et Impera

Kenyataannya, tidak ada yang namanya “pribumi” dan “non-pribumi” di Indonesia (seharusnya). Mereka yang menghembuskan (atau akan membangkitkan) isu “kebangkitan pribumi”, “Indonesia milik pribumi”, “non-pribumi harus diberi pelajaran” atau isu-isu lainya yang berbau “Nazi-isme” sebenarnya keliru dalam menafsirkan definisi “Bangsa Indonesia”.

Sukarno menyatakan bahwa Republik Indonesia dan warganya adalah wilayah kepulauan di Asia Tenggara yang secara politik merupakan warisan kolonial Belanda. Dengan kata lain, Indonesia sebuah penemuan politik di era modern. Bila Anda percaya bahwa Indonesia adalah warisan pribumi, hendaklah pikirkan hal-hal berikut:

1. Apakah Sukarno pernah bilang bahwa Indonesia adalah Rumpun Melayu?

2. Apakah Sukarno pernah bilang bahwa Indonesia adalah warisan kerajaan kuno Nusantara? Setahu saya Sukarno hanya menyatakan bahwa kerajaan kuno Nusantara adalah warisan Indonesia, bukan sebaliknya!

Bila Anda menjawab “Ya”, maka saya balik bertanya:

Kalau begitu, sudah sepatutnya “Indonesia” hanya terdiri dari Jawa, Sumatra dan pesisir Kalimantan, plus Semenanjung Malaya, Singapura, Thailand Selatan dan Filipina Selatan serta tidak memasukkan Sulawesi Utara dan Papua ke dalam teritori Indonesia. Mengapa tidak? Sebab wilayah tersebut ‘kan bukan bagian kerajaan kuno pribumi seperti Sriwijaya atau Majapahit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun