Mohon tunggu...
Lygia Pecanduhujan
Lygia Pecanduhujan Mohon Tunggu... Penulis - Creative Writer, influencer, Blogger, Content Contributor, Social Worker, Backpacker, Founder Digiefood Indonesia, Founder of Baklavanesia

Bookografi A Cup of Tea for Single Mom (Stiletto Books, 2010), A Cup of Tea for Complicated Relationship (Stiletto Books, 2011), Storycake for Ramadhan (Gramedia Pustaka Utama, 2011), Emak Gokil, the Anthology (Rumah Ide, 2011), For the Love of Mom, the Anthology (2011), Storycake for Amazing Mom, the Anthology (Gramedia Pustaka Utama, 2011), Hot Chocolate for Broken Heart (Cahaya Atma Pustaka, 2012), Hot Chocolate for Dreamers (Cahaya Atma Pustaka, 2012), Storycake for Backpackers (Gramedia Pustaka Utama, 2013), Balotelli versus Zlatan (Grasindo, 2013), Jurus 100% Pensiun Kaya (Bisnis Sapi) with Raimy Sofyan (Grasindo, 2014), Ronaldo versus Messi, duet with Astri Novia (Grasindo, 2014), World Cup Attack (Grasindo, 2014), AC Milan versus Inter Milan (Grasindo, 2014), Van Persie versus Luiz Suarez (Grasindo, 2014), 101 Kisah Cinta Sepanjang Masa (Grasindo, 2014), As Creative as Steve Jobs (Grasindo, 2014), Peluk ia Untukku (ghostwriter) (Grasindo, 2014), Peruntungan Cinta Menurut Zodiak & Shio di Tahun Kambing 2015 (Menggunakan nama pena: Tria Astari, Penerbit Grasindo, 2015), 50 Ritual Malam Miliader Dunia bersama Honey Miftahuljannah (Grasindo, 2015)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah Keadilan Hukum Ditegakkan di Negeri Ini?

14 April 2016   16:56 Diperbarui: 14 April 2016   17:13 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam persidangan, pihak pengembang, pun jaksa penuntut umum, sama sekali tidak menghiraukan pengakuan Dede bahwa mereka adalah ahli waris sah dari Lukman Hakim. Jaksa dan pengacara pihak lawan selalu menyatakan bahwa pada saat jual beli Lukman Hakim berstatus belum menikah. Jadi pengakuan Dede adalah dusta belaka. Mereka tidak mau mengakui pernikahan sah yang terjadi antara Ibu Sri dan Lukman Hakim di tahun 1966, hanya berdasarkan KTP, surat keterangan dari kelurahan dan (katanya) pengakuan dari almarhum Lukman Hakim dulu saat melakukan jual beli tersebut.

Ibu Sri, menceritakan seluruh kisahnya ini di telepon kepada saya, orang yang belum lagi dikenalnya di dunia nyata. Dari nada suaranya, sama sekali tidak ada kemarahan menggebu, berkali ia menyebutkan bahwa yang utama baginya bukanlah tentang hak keluarga mereka atas tanah waris itu, namun harga diri dan kehormatan keluarga, terutama nasib Dede, anaknya.

Entah kasusnya sudah bergulir hingga ke mana, saya tidak tahu. Konon, Pihak pengadilan pidana akan menjatuhkan vonis kepada Dede pada tanggal 18 April 2016. Vonis yang akan menjadi saksi sejarah, apakah hukum di Indonesia benar akan ditegakkan berdasarkan kemanusiaan atau berdasarkan uang semata. Yang jelas, di akhir cerita, Ibu Sri menangis dan mengungkapkan perasaannya yang teramat sakit, karena berkali-kali ia datang ke pengadilan sebagai saksi dan berkali-kali pula jaksa penuntut umum selalu menudingkan hal yang sama, “Lukman Hakim tidak pernah menikah! Dede bukanlah anak dan ahli waris dari Lukman Hakim! Kalaupun Dede adalah anak dari Lukman Hakim, maka ia adalah anak haram karena status Lukman Hakim saat proses jual beli belum menikah!”

Setelah perbincangan kami, saya sempat mendiskusikan masalah kasus ini dengan sahabat-sahabat saya di Grup Whatsapp alumni Hukum ~Yeah, jelek-jelek begini, ijazah saya Sarjana Hukum juga sih~. Rata-rata dari sahabat saya memang membenarkan bahwa untuk banyak kasus terutama kasus sengketa tanah, terbukti bahwa pihak yang berkuasa dan punya uang banyaklah yang akan menang. Bukan siapa yang benar dan siapa yang salah.

“Memang kalau kasusnya kayak begini, Money Talks,” Komentar salah satu sahabat saya, seorang notaris di satu kota besar di Jawa Tengah.

“Nggak akan diproses.  Lha penyidiknya udah pasti dibayar sebelumnya kok. Kecuali mau bayar lebih tinggi” sahut yang lain.

Benarkah sudah sesinis itu pandangan banyak masyarakat kita di negeri ini terhadap penegakan hukum Indonesia? Apakah ini hanya salah satu kasus kecil di antara sekian banyak kasus besar lain yang berujung pada kekuasaan uang?

Saya memang lulusan Fakultas Hukum, tapi saya memang tidak bisa mengerti persoalan hukum di negeri ini. Itu sebabnya alih-alih memilih bekerja dan berprofesi sebagai hakim, jaksa, notaris, ataupun pengacara, saya memilih untuk hidup tenang dan nyaman dengan menjadi seorang penulis buku, blogger, buzzer, dan mengerjakan pekerjaan freelance lainnya sesuai minat. Saya hanya takut menghadapi fakta nyata di depan mata. Itu saja.

Kembali kepada kisah Ibu Sri, di akhir percakapan kami, beliau menambahkan sedikit kalimat, “Mbak, sebagai seorang ibu, barangkali Mbak bisa membayangkan perasaan saya? Saya menikah dengan suami dalam sebuah pernikahan yang sah di mata hukum. Ada surat-suratnya di catatan sipil. Anak-anak kami memiliki akte lahir yang lengkap, surat keterangan ahli waris pun kami miliki. Namun mengapa Jaksa seolah menutup mata dari fakta tersebut dengan hanya mengandalkan selembar KTP dan surat keterangan pengadilan?”

“Hati saya sakit, Mbak. Saya sudah tua, usia saya sudah 74 tahun. Selama bertahun-tahun saya tinggal di mess perusahaan, tidak punya apa-apa. Tanah itu adalah satu-satunya warisan dari almarhum suami saya. Saya sakit melihat anak saya, Dede, harus dijebloskan ke penjara dengan cara seperti ini. Dia tidak bersalah! Dia adalah anak sah dari pernikahan saya dan papanya. Dia hanya ingin memperjuangkan haknya dan hak adik-adiknya. Karena kasus ini, ia diberhentikan dari kantornya.”

Saya tercekat. Tiba-tiba kelebatan ketiga anak saya di rumah membayangi pelupuk mata. Duhai, saya ingin menangis! Betapa luar biasanya perjuangan seorang ibu, hanya demi keberadaan anak-anaknya diakui secara sah di mata hukum. Anak-anak saya pun sudah tidak memiliki ayah. Saya harus berjuang sendirian membesarkan mereka, seketika saya merasa memiliki nasib yang nyaris sama dengan Ibu Sri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun