Mohon tunggu...
Lygia Pecanduhujan
Lygia Pecanduhujan Mohon Tunggu... Penulis - Creative Writer, influencer, Blogger, Content Contributor, Social Worker, Backpacker, Founder Digiefood Indonesia, Founder of Baklavanesia

Bookografi A Cup of Tea for Single Mom (Stiletto Books, 2010), A Cup of Tea for Complicated Relationship (Stiletto Books, 2011), Storycake for Ramadhan (Gramedia Pustaka Utama, 2011), Emak Gokil, the Anthology (Rumah Ide, 2011), For the Love of Mom, the Anthology (2011), Storycake for Amazing Mom, the Anthology (Gramedia Pustaka Utama, 2011), Hot Chocolate for Broken Heart (Cahaya Atma Pustaka, 2012), Hot Chocolate for Dreamers (Cahaya Atma Pustaka, 2012), Storycake for Backpackers (Gramedia Pustaka Utama, 2013), Balotelli versus Zlatan (Grasindo, 2013), Jurus 100% Pensiun Kaya (Bisnis Sapi) with Raimy Sofyan (Grasindo, 2014), Ronaldo versus Messi, duet with Astri Novia (Grasindo, 2014), World Cup Attack (Grasindo, 2014), AC Milan versus Inter Milan (Grasindo, 2014), Van Persie versus Luiz Suarez (Grasindo, 2014), 101 Kisah Cinta Sepanjang Masa (Grasindo, 2014), As Creative as Steve Jobs (Grasindo, 2014), Peluk ia Untukku (ghostwriter) (Grasindo, 2014), Peruntungan Cinta Menurut Zodiak & Shio di Tahun Kambing 2015 (Menggunakan nama pena: Tria Astari, Penerbit Grasindo, 2015), 50 Ritual Malam Miliader Dunia bersama Honey Miftahuljannah (Grasindo, 2015)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah Keadilan Hukum Ditegakkan di Negeri Ini?

14 April 2016   16:56 Diperbarui: 14 April 2016   17:13 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Namanya Ibu Sri Suryanti.

Saya memanggilnya dengan nama Ibu Sri. Perkenalan kami terbilang baru, yaitu beberapa hari lalu saat saya hendak menuliskan kisah hidupnya yang bagi saya penuh hikmah dan inspirasi. Betapa tidak, di usianya yang sudah memasuki tahun ke-74, ia masih aktif bekerja sebagai penerjemah Bahasa Mandarin-Inggris paruh waktu untuk sebuah harian di Indonesia. Saat saya menghubunginya via telepon, suaranya masih sangat jelas, tegas, dan sama sekali saya tidak akan pernah menyangka bahwa usianya sudah sedemikian senja jika saya ia tidak memberitahukannya langsung kepada saya.

Ketika pembicaraan kami sudah mengalir panjang, di sela-sela mengisahkan pengalamannya sebagai penerjemah paruh waktu, terdengar nada suaranya sesekali tertahan seperti sedang menahan beban perasaan. Saya pun terusik untuk usil bertanya, “Ibu kenapa? Ada masalah apa?”

Tak disangka, sebuah kisah lain terungkap darinya. Sebuah kisah yang membuat mata saya sempat berkaca-kaca saat mendengarkannya bertutur dengan suaranya yang tegas namun halus mengalun.

“Tak adakah keadilan hukum di negeri ini?” bisiknya perlahan hingga saya nyaris saja tak mampu menangkap kata-katanya.

Hukum di negeri ini adil kok, Bu.” Sahut saya.

“Tapi saya tidak yakin hukum di negeri ini ditegakkan”. Ibu Sri “keukeuh” dengan pendapatnya.

Lantas, mengalirlah cerita itu. Potret buram penegakan hukum di negeri ini.

Ibu Sri, adalah seorang wanita yang dilahirkan dan besar di Indonesia namun memiliki darah Tionghoa. Ia menikah dengan suaminya Lukman Hakim, saat mereka masih memakai nama Tionghoa yaitu pada tahun 1966 di kantor catatan sipil Purwakarta. Dari perkawinan itu lahirlah lima orang anak, 4 lelaki dan 1 orang wanita.

Pada tahun 1978, keluarlah peraturan dari  Menteri Kehakiman saat itu yang mewajibkan adanya SBKRI bagi warga negara Indonesia keturunan -salah satunya Tionghoa- yang tinggal di Indonesia. SBKRI atau Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia ini merupakan kartu identitas yang menyatakan bahwa pemiliknya adalah warga negara Republik Indonesia dan menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk mengurus berbagai keperluan semisal membuat KTP, mendaftar sekolah, permohonan paspor, pendaftaran pemilihan umum, hingga saat harus menikah dan meninggal dunia.

Sebagai warga negara yang baik, Ibu Sri dan Pak Lukman Hakim pun tak ketinggalan mengurus SKBRI tersebut. Tercatat pada tahun 1980 mereka mengurus SKBRI bagi mereka dan kelima anaknya hingga terbitlah Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia No. 337866. Secara otomatis pula, mereka yang semula memiliki nama Tionghoa akhirnya berganti nama menjadi nama Indonesia.

Ibu Sri bersama suami dan kelima anaknya tinggal di Karawang. Suaminya, adalah seorang pegawai bank biasa yang setelah bertahun-tahun bekerja akhirnya mampu membeli sebidang tanah seluas 13.330 m2 di daerah Karawang. Saat itulah masalah rupanya bermula. Bapak Lukman Hakim memiliki sahabat yang berbisnis property. Mereka berencana untuk bekerjasama membangun perumahan di atas tanah milik Lukman Hakim tersebut.

Suatu hari, Bapak Lukman Hakim menitipkan sertifikat atas tanah seluas 13.330 M2 tersebut kepada sahabatnya, Bapak Handoyo untuk diperiksa kelengkapannya di Badan Pertanahan Negara. Belum lagi urusan tersebut selesai, Bapak Handoyo meninggal dunia di tahun 1991. Karena percaya dengan persahabatan mereka, Lukman Hakim tidak pernah menanyakan keberadaan sertifikat tanah miliknya tersebut kepada ahli waris Handoyo.

Tahun 2002, Lukman Hakim akhirnya bertanya kepada ahli waris alias keluarga Handoyo mengenai keberadaan sertifikat tanah miliknya, namun semua sepakat menjawab tidak tahu. Seolah memang sama sekali tidak pernah tahu menahu soal sertifikat yang dititipkan kepada almarhum ayah mereka. Karena itulah, Lukman Hakim menganggap bahwa sertifikat itu hilang dan berangkat ke BPN untuk meminta pemblokiran sertifikat atas namanya.

Di tahun 2004, Lukman Hakim meninggal dunia. Saat itu tanah milik Lukman Hakim dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Dengan meminta tolong kepada pihak ketiga, Tanah tersebut ditanami padi, mangga, pisang, dan jeruk oleh keluarga. Namun, di tahun 2014, pihak ketiga yang tinggal di tanah tersebut untuk mengelola, diusir dengan semena-mena oleh orang yang mengaku sebagai pihak pengembang. Konon, tanah tersebut tidak bisa ditanami lagi karena di atasnya akan dibangun perumahan oleh keluarga Handoyo, dengan alasan tanah tersebut telah dibeli dari almarhum Lukman Hakim pada tahun 1992.

Saat itulah para ahli waris yaitu Ibu Sri dan anak-anaknya menelusuri kebenaran pengakuan tersebut. Karena Ibu Sri dan anak-anaknya sangat yakin tidak pernah menjual dan mengalihkan hak atas tanah tersebut.

Melihat kenyataan seperti itu, apalagi ada bukti bahwa KTP Lukman Hakim yang dilampirkan pada saat proses jual beli tersebut (katanya) berlangsung menyatakan bahwa Lukman Hakim berstatus belum menikah, juga adanya selembar surat keterangan dari kelurahan setempat yang menyatakan bahwa Lukman Hakim belum menikah,  akhirnya keluarga, diwakili oleh anak kedua mereka yaitu Christian Dede Franseda datang ke BPN Karawang, mengajukan permohonan pemblokiran Sertifikat Hak Milik. Pemblokiran tersebut diajukan dengan alasan bahwa proses jual beli tersebut tidak sah, karena tidak ada persetujuan jual beli dari isteri Lukman Hakim yaitu Ibu Sri, dan dalam akta jual beli (AJB) yang dibuat oleh Notaris tidak terdapat tanda tangan dari Ibu Sri. Di situlah baru diketahui oleh para ahli waris Lukman Hakim, bahwa almarhum papanya juga sudah pernah mengajukan pemblokiran sertifikat dengan alasan hilang.

Permohonan tersebut dikabulkan, dan tanah itu dinyatakan adalah tanah sengketa. Berdasarkan keputusan tersebut, Dede, anak kedua Ibu Sri memasang patok/spanduk di atas tanah tersebut yang menyatakan bahwa status tanah itu sedang dalam  pemblokiran di kantor BPN atas gugatan hak waris dari sertifikat tanah itu. Sayangnya, jangka waktu pemblokiran tersebut hanya 30 hari, sesuai dengan ketentuan pasal 126 ayat (4) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, “Catatan mengenai status quo (blokir) saudara hapus dengan sendirinya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, kecuali apabila diikuti dengan Putusan Sita Jaminan dari Pengadilan yang Salinan resmi dan Berita Acara Eksekusinya disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan”.

Sesuai keputusan tersebut, majulah Dede mengurus gugatan secara Perdata ke pengadilan guna mendapatkan keputusan yang sah secara hukum bahwa tanah tersebut masih milik keluarga mereka karena jual beli yang dilakukan tidaklah sah.

Di tengah jalan, saat peradilan perdata masih berlangsung, rupanya, entah ada permainan seperti apa, kemudian pihak almarhum Handoyo langsung membuat pagar di sekeliling tanah. Tak berapa lama, datang panggilan dari pihak kepolisian yang ditujukan kepada Dede, untuk diperiksa dalam rangka penyidikan tindak pidana dengan dugaan tindak pidana memaksa memasuki pekarangan tertutup tanpa ijin dengan melawan hak.

Ketika gugatan Pidana dilayangkan oleh ahli waris Handoyo kepada Dede, perkara perdata tentang sengketa tanah tersebut belumlah usai.

Berkali-kali panggilan pihak kepolisian datang kepada Dede, berkali-kali pula Dede memenuhi panggilan tersebut dan menjalani gelar perkara. Puncaknya adalah, terhitung pada bulan Januari 2016, Dede ditahan atas dugaan tindak pidana memaksa memasuki pekarangan orang lain tanpa hak.

Dalam persidangan, pihak pengembang, pun jaksa penuntut umum, sama sekali tidak menghiraukan pengakuan Dede bahwa mereka adalah ahli waris sah dari Lukman Hakim. Jaksa dan pengacara pihak lawan selalu menyatakan bahwa pada saat jual beli Lukman Hakim berstatus belum menikah. Jadi pengakuan Dede adalah dusta belaka. Mereka tidak mau mengakui pernikahan sah yang terjadi antara Ibu Sri dan Lukman Hakim di tahun 1966, hanya berdasarkan KTP, surat keterangan dari kelurahan dan (katanya) pengakuan dari almarhum Lukman Hakim dulu saat melakukan jual beli tersebut.

Ibu Sri, menceritakan seluruh kisahnya ini di telepon kepada saya, orang yang belum lagi dikenalnya di dunia nyata. Dari nada suaranya, sama sekali tidak ada kemarahan menggebu, berkali ia menyebutkan bahwa yang utama baginya bukanlah tentang hak keluarga mereka atas tanah waris itu, namun harga diri dan kehormatan keluarga, terutama nasib Dede, anaknya.

Entah kasusnya sudah bergulir hingga ke mana, saya tidak tahu. Konon, Pihak pengadilan pidana akan menjatuhkan vonis kepada Dede pada tanggal 18 April 2016. Vonis yang akan menjadi saksi sejarah, apakah hukum di Indonesia benar akan ditegakkan berdasarkan kemanusiaan atau berdasarkan uang semata. Yang jelas, di akhir cerita, Ibu Sri menangis dan mengungkapkan perasaannya yang teramat sakit, karena berkali-kali ia datang ke pengadilan sebagai saksi dan berkali-kali pula jaksa penuntut umum selalu menudingkan hal yang sama, “Lukman Hakim tidak pernah menikah! Dede bukanlah anak dan ahli waris dari Lukman Hakim! Kalaupun Dede adalah anak dari Lukman Hakim, maka ia adalah anak haram karena status Lukman Hakim saat proses jual beli belum menikah!”

Setelah perbincangan kami, saya sempat mendiskusikan masalah kasus ini dengan sahabat-sahabat saya di Grup Whatsapp alumni Hukum ~Yeah, jelek-jelek begini, ijazah saya Sarjana Hukum juga sih~. Rata-rata dari sahabat saya memang membenarkan bahwa untuk banyak kasus terutama kasus sengketa tanah, terbukti bahwa pihak yang berkuasa dan punya uang banyaklah yang akan menang. Bukan siapa yang benar dan siapa yang salah.

“Memang kalau kasusnya kayak begini, Money Talks,” Komentar salah satu sahabat saya, seorang notaris di satu kota besar di Jawa Tengah.

“Nggak akan diproses.  Lha penyidiknya udah pasti dibayar sebelumnya kok. Kecuali mau bayar lebih tinggi” sahut yang lain.

Benarkah sudah sesinis itu pandangan banyak masyarakat kita di negeri ini terhadap penegakan hukum Indonesia? Apakah ini hanya salah satu kasus kecil di antara sekian banyak kasus besar lain yang berujung pada kekuasaan uang?

Saya memang lulusan Fakultas Hukum, tapi saya memang tidak bisa mengerti persoalan hukum di negeri ini. Itu sebabnya alih-alih memilih bekerja dan berprofesi sebagai hakim, jaksa, notaris, ataupun pengacara, saya memilih untuk hidup tenang dan nyaman dengan menjadi seorang penulis buku, blogger, buzzer, dan mengerjakan pekerjaan freelance lainnya sesuai minat. Saya hanya takut menghadapi fakta nyata di depan mata. Itu saja.

Kembali kepada kisah Ibu Sri, di akhir percakapan kami, beliau menambahkan sedikit kalimat, “Mbak, sebagai seorang ibu, barangkali Mbak bisa membayangkan perasaan saya? Saya menikah dengan suami dalam sebuah pernikahan yang sah di mata hukum. Ada surat-suratnya di catatan sipil. Anak-anak kami memiliki akte lahir yang lengkap, surat keterangan ahli waris pun kami miliki. Namun mengapa Jaksa seolah menutup mata dari fakta tersebut dengan hanya mengandalkan selembar KTP dan surat keterangan pengadilan?”

“Hati saya sakit, Mbak. Saya sudah tua, usia saya sudah 74 tahun. Selama bertahun-tahun saya tinggal di mess perusahaan, tidak punya apa-apa. Tanah itu adalah satu-satunya warisan dari almarhum suami saya. Saya sakit melihat anak saya, Dede, harus dijebloskan ke penjara dengan cara seperti ini. Dia tidak bersalah! Dia adalah anak sah dari pernikahan saya dan papanya. Dia hanya ingin memperjuangkan haknya dan hak adik-adiknya. Karena kasus ini, ia diberhentikan dari kantornya.”

Saya tercekat. Tiba-tiba kelebatan ketiga anak saya di rumah membayangi pelupuk mata. Duhai, saya ingin menangis! Betapa luar biasanya perjuangan seorang ibu, hanya demi keberadaan anak-anaknya diakui secara sah di mata hukum. Anak-anak saya pun sudah tidak memiliki ayah. Saya harus berjuang sendirian membesarkan mereka, seketika saya merasa memiliki nasib yang nyaris sama dengan Ibu Sri.

Ibu Sri, ya, demikian saya memanggilnya. Saya memang belum pernah menjumpainya secara langsung, hanya lewat percakapan panjang melalui telepon. Dan bagi saya, sepenggal percakapan itu sudah cukup untuk meyakini, bahwa betapa berat beban yang harus ia tanggung di usianya yang semakin menua. Harusnya, di usia 74 tahun ia sudah hidup tenang, bersama anak-anak dan cucu-cucunya. Nama beliau, cukup terkenal di Kota Karawang. Beliau menjadi penerjemah di harian Shang Bao, sebuah harian khusus berbahasa Mandarin yang sebagian besar rubriknya lahir dari tangannya. Nama Tjia Soek Jan alias Sri Surhanty, terkenal di Karawang sebagai guru les Bahasa Mandarin.

Saya sedemikian takjub mendengar betapa sederhananya yang ia inginkan saat ini. Terlepas dari kasus perdata dan pidana yang sedang membelit dirinya dan keluarga, hanya satu keinginan terdalam dari hati seorang Ibu yang terluka.

“Saya ingin mengembalikan harkat dan nama baik keluarga dan anak-anak saya, terutama Dede yang belum terbukti bersalah dan belum jatuh vonis, namun sudah harus mencicipi dinginnya tembok tahanan. Saya sakit, seluruh perjuangan saya selama 50 tahun menikah dan membesarkan anak-anak harus hancur oleh perkataan Jaksa yang selalu ditudingkan saat persidangan, bahwa perkawinan antara suami dan saya tidak pernah ada, dan anak-anak yang saya lahirkan dari pernikahan sah kami dianggap orang lain yang hanya mengaku-aku ahli waris”.

“Saya sudah tua, Mbak. Sudah tidak memiliki keinginan apa-apa selain melihat anak saya bebas. Namun, saya juga tidak ingin diperlakukan tidak adil seperti ini oleh hukum. Mengapa mereka hanya berpihak kepada orang-orang yang berkuasa? Mengapa mereka tidak mau sedikit pun melihat bukti-bukti yang kami miliki?”

Mengapa, mengapa, dan mengapa … pertanyaan itulah yang saya bawa pulang kembali menuju Bandung. Percakapan panjang, yang berujung airmata tak mampu dibendung oleh saya.

“Sabar ya, Bu. Ibu harus selalu kuat, sehat. Demi anak-anak.”

Hanya ucapan itu yang mampu saya berikan sebelum menutup pembicaraan kami. Ucapan yang selama bertahun-tahun senantiasa saya azzamkan kepada diri saya sendiri. Harus selalu kuat dan sehat demi anak-anak.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun