Mohon tunggu...
Lydia Avry Inayah
Lydia Avry Inayah Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Online Learning Communication Science '17

a flight attendant, a student, and full time mother.

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Penting untuk Memahami Konflik dengan Pasangan

24 April 2021   13:55 Diperbarui: 1 Mei 2021   14:17 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bernyanyi dengan pasangan (sumber: suriya silsaksom via kompas.com)

Bulan April tiga tahun yang lalu, aku mengetahui bahwa aku sedang hamil anak pertama. Saat itu aku hendak bertugas dalam penerbangan ke Tokyo. Aku merasakan sesuatu yang...janggal. Instingku berkata, ada sesuatu di rahimku. Seakan-akan menyapa, "Hello. I am here".

Saat transit di Denpasar, aku memutuskan untuk membeli testpack.

"Oh, wow. It's happening!"

Kami baru menikah dua bulan. Sebelumnya kami berpacaran selama dua tahun. Awal-awal pernikahan kami masih seperti orang-orang kebanyakan di tahap fase bulan madu. 

Sesederhana aku belajar masak, suamiku membantu mencuci baju- sudah sangat istimewa bagi kami. Saat mengetahui bahwa aku hamil, dunia seperti terbalik. Aku merasa bahwa aku melakukan kesalahan yang besar. Kita tidak seromantis dulu lagi!

Hormon kehamilan mungkin berpengaruh besar dalam ---meminjam istilah suamiku---'drama-drama miskomunikasi' yang terjadi saat itu. Perusahaanku mewajibkan untuk langsung cuti bekerja sesaat setelah diketahui positif hamil. 

Aku yang bekerja setiap hari selama delapan tahun (bahkan beberapa kali menghibahkan cuti) merasa... shock? Tiga bulan pertama, aku menderita hyperemesis gravidarum. 

Kondisi dimana aku terus menerus mual dan muntah tidak peduli di pagi atau malam hari. Aku tidak bisa mencium 'bau dapur', aku kehilangan 5 kg karena aku terus menerus memuntahkan makananku. 

The pregnancy wasn't that easy, if I might say. Sehari-hari aku menghabiskan sebagian besar waktuku di rumah bersama kucing kami Pinyi karena suamiku harus bekerja dari pagi hingga malam. 

Saat suamiku pulang, aku biasanya ingin sekali berbincang karena aku merasa kesepian. Namun kami hanya berbincang sekadarnya. Ia mandi lalu menghabiskan sisa malamnya dengan bermain game online. Ia berkata ia butuh me time dulu setelah seharian bekerja.

"Me time?! What about ME?"

Aku yang kesepian berharap dia seharusnya memahami bahwa aku sedang hamil dan ingin ekstra disayang. Aku ingin dipeluk. Seperti lirik lagu grup dangdut Manis Manja yang selalu earworm ditelingaku karena tetangga sebelah kerap menyetelnya :

"Aku mau dimanja-manja,
Tapi kamu cuek-cuek aja..
Aku bete dicuekin..
Aku sebel dibiarin..
Aku keki dianggurin..
Aku bete, bete, bete...."

Sejujurnya, aku tidak serta merta mengungkapkan kekecewaanku dan hanya diam saat melihatnya memunggungiku dan memainkan mobile game VainGlory. Aku dengan senjata ampuh pasif-agresifku stomping my way to the bedroom. 

Membanting pintunya lebih keras  dan menguncinya dari dalam. Suamiku bertanya ada apa dan aku menjawab tidak apa-apa. Aku memilih untuk bungkam dan membiarkannya menerka-nerka apa yang telah ia perbuat sehingga membuatku marah. Aku tidur sambil menangis. Esoknya aku merasa bersalah. 

Bersalah dengan diriku sendiri karena membiarkan konflik tadi malam berlalu tanpa menghadapinya. Bersalah dengan suamiku karena aku 'drama'. 

Aku mengakui sulit bagiku untuk mengungkapkan perasaanku karena gengsi yang terlalu tinggi. Suamiku juga bukan cenayang, ia tidak bisa menebak segala keinginan yang ada di kepalaku. Ini tidak hanya terjadi sekali-dua kali. What went wrong?

---

Seiring dengan bertambahnya tahun pernikahanku, muncul drama-drama yang membumbui hari-hari kami. Banyak yang dapat aku refleksikan disini. It is true that marriage needs abundance of patience and commitment. 

Ketika kita membicarakan konflik, tidak semuanya dapat terlihat secara kasat mata. Kita mengekspresikan ketidaksetujuan dalam berbagai cara. Ada konflik yang terbuka seperti yang sering kita lihat di sinetron---melotot, saling konfrontasi, berteriak, dan menjambak. 

Lalu ada konflik tertutup, seperti yang aku sering alami dalam drama-drama komunikasi ini. Dengan kepasif-agresifanku aku menolak mengakui bahwa aku marah, tapi jelas-jelas sikapku menunjukkan bahwa aku marah. 

Protes ini aku lakukan untuk 'menghukum' suamiku tanpa aku sendiri bertanggung jawab pada hukumannya. Jika ini terjadi terus menerus, hubungan kami akan disfungsional.

Kita harus memahami bahwa konflik pada dasarnya hanya akan terjadi saat kita saling ketergantungan pada orang itu. Aku tidak akan menghabiskan energi dan emosiku hanya saat aku dan rekan kerjaku berbeda pendapat tentang politik.

Dalam hubungan interpersonal, kita hanya akan bertengkar dengan orang-orang yang kita anggap penting dan benar-benar kita pedulikan. Tentu saja perselisihan mungkin akan terjadi, namun tidak selalu sampai terjadi konflik. 

Perbedaan-perbedaan umum antara aku dan rekan kerjaku misalnya, tidak akan sampai menimbulkan konflik pada hubungan kami. Menurut Julia T. Woods dalam bukunya Interpersonal Communication : Everyday Encounters (2010), konflik melibatkan ketegangan antara tujuan, preferensi, atau keputusan yang kita rasa perlu kita selesaikan. 

Dengan kata lain, konflik melibatkan dua persepsi: persepsi bahwa perhatian kita bertentangan dengan orang lain, dan persepsi bahwa kita dan orang lain harus menyelesaikan perbedaan kita.

Pada prinsipnya, konflik itu sangat biasa terjadi dalam sebuah hubungan. Ketika kita merasa orang lain begitu berarti dalam hidup kita, dan kita berdua saling mempengaruhi, pasti muncul perbedaan-perbedaan yang sulit dihindari. Suamiku tidak suka makan jagung, tapi aku suka jagung di sayur bayamku. 

Aku suka tidur dengan lampu terang, tapi suamiku silau. Aku suka jalan-jalan di hari libur, suamiku homeboy sejati. Bahasa kasihku 40% physical touch, suamiku 50% act of service. 

Sepanjang pernikahan, kami selalu menemukan berbagai perbedaan. Bukan berarti kami tidak cocok, atau hubungan ini tidak sehat. Namun kami berkomitmen untuk mengatasi perbedaan ini dengan cara yang lebih baik dan tidak mengganggu keberlangsungan hubungan kami. 

What works for us : Pertama, pahami bahwa konflik wajar terjadi dalam hubungan interpersonal. Untuk mengatasinya, percakapan harus dihadirkan dalam situasi yang kondusif. 

Kami ingin mengenali perasaan kami dan mengkomunikasikannya untuk mencapai middle ground. Awalnya sulit, karena dalam konflik ada intense feeling yang sulit untuk diekspresikan. 

Aku merasa kecewa, marah, sebal pada orang yang aku sayangi.  Sulit sekali untuk menerima perasaan ini. Kedua, kami mungkin butuh time out, untuk mencoba mengatur perasaan dan merefleksikan diri sehingga diskusi akan lebih produktif. 

Ketiga, ketika konflik diselesaikan saat kita masih belum mampu owning the feelings, pola yang terjadi hanyalah win-lose atau lose-lose. Salah satu pihak akan masih merasa belum puas, sehingga menumpuk menjadi bom waktu. We don't want that, so aim for win-win solutions. 

Ketika konflik dikelola secara konstruktif, konflik dapat membantu kita tumbuh menjadi individu dan menguatkan hubungan kita. Aku menggali segala perasaan dan pemikiranku ketika aku mengungkapkannya pada suamiku. 

Lalu suamiku akan menjelaskan pandangannya, yang terkadang membuatku sadar. "Oh, betul juga ya?" Ada sesuatu yang baru yang sebelumnya tidak kita ketahui. 

Lalu melalui percakapan lebih dalam kita akan saling belajar, dan perlahan-lahan mengubah pandangan kita. Seperti perbedaan masalah preferensi suamiku tidur gelap dan aku suka tidur dengan lampu terang. 

Suamiku memberi tahu bahwa tidur dengan keadaan gelap akan mempengaruhi melatonin dan kualitas tidur secara keseluruhan. Dia bilang, mungkin ini sebabnya aku suka marah-marah. Katanya, tidurku selama ini kurang berkualitas .. :)

Last but not least, kami berterima kasih dengan konflik, karena konflik ini menandakan bahwa, after all this time, I still matter to him. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun