Mohon tunggu...
Luzen
Luzen Mohon Tunggu... -

Luzen

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Saya Tidak Mau Punya Anak

20 Agustus 2015   10:51 Diperbarui: 2 November 2015   14:55 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelumnya perlu saya sampaikan bahwa apa yang saya tuliskan ini adalah dari perspektif saya. Tolong jangan mencoba menghakimi saya dari perspektif Anda karena itulah yang biasanya saya dapatkan. Saya hanya ingin orang-orang lebih menghargai keberadaan kami dengan pilihan hidup kami yang memilih menjadi childfree by choice. Jika Anda berkenan, coba sejenak letakkan kaki Anda di sepatu kami sehingga Anda memahami cara berpikir kami. Anda perlu tahu, kami juga sangat menghargai pilihan Anda.

.........................

[caption caption="Source: Paula Bronstein/Getty Images AsiaPac"][/caption]

- Ketika Ibu-ibu muda mulai panik dan takut karena tak kunjung punya momongan, saya justru sebaliknya. Usia saya 27 tahun, saya hampir satu tahun menikah dan sampai saat ini kami sengaja untuk tidak mau punya anak. Dan ketika kami bilang bahwa untuk seterusnya kami tidak mau punya anak, tentu saja, kami dianggap gila.- 

Lahir - tumbuh dewasa - menikah - punya anak - menikahkan anaknya - punya cucu dan seterusnya terdengar seperti alur perjalanan hidup yang dianggap normal bagi sebagian besar manusia di planet ini. Apalagi jika mengacu pada dalil-dalil agama tertentu yang menghimbau manusia untuk terus berkembang biak memenuhi bumi.

Ya, saya sadar akan hal itu. Tapi ketika saya "membuka mata", dan saya melihat dunia yang sudah penuh sesak (coba perhatikan angka pertumbuhan penduduk yang terus naik secara global ,tak terkecuali di Indonesia), saya  bertanya pada diri sendiri, Tuhan ingin manusia berkembang biak sampai sebanyak apa? Jika saya tidak ikut menambah jiwa-jiwa baru lagi apakah Tuhan akan marah pada saya? Atau justru berterima kasih? 

Coba sekali waktu datanglah ke perkampungan kumuh padat penduduk, dimana anak-anak kecil berkeliaran di sepanjang gang sempit sementara Ibu-Ibunya tampak santai menyusui anaknya atau duduk-duduk berbincang satu dengan yang lain. Sekilas tampak tak ada beban di wajah mereka. Saya melihat mereka tak ubahnya seperti kucing-kucing liar yang terus beranak pinak. Antara sedih, prihatin, dan heran. Ditengah keterbatasan ekonomi, apakah mereka memikirkan masa depan anak-anak yang mereka lahirkan? Sebagian besar dengan tenangnya menjawab, "Rejeki anak mah udah ada yang ngatur, pasrah aja dan berusaha." Sebegitu murah dan tak pentingkah masa depan anak hingga bisa digadaikan ? Dan tak jelas apakah mereka sanggup menebusnya.

Mereka gambling untuk masa depan anak mereka sendiri. Tak heran banyak anak miskin yang makin miskin, tumbuh dewasa dalam keterbatasan,  tersandung dalam menggapai cita-citanya, terbatas dalam lahan pekerjaan, dan tak sedikit yang menjadi kriminal sebagai suatu bentuk pelarian dan protes atas ketidakadilan nasib yang menghampiri mereka.

Coba juga saat naik pesawat, ketika pesawat mulai take off atau landing, Anda melihat ke bawah. Saya melihat hutan beton yang makin luas, laut yang makin rusak, sawah yang kian mengecil. Terutama jika kita mau belajar fakta bahwa pulau jawa adalah salah satu pulau terpadat di dunia. Ini semakin memotivasi saya untuk ikut  berkontribusi pada planet bumi, tentunya dengan cara saya.

 

Saya sering Disebut Egois

Sebenarnya, ini adalah sindiran yang lucu. Saya bingung, maksudnya egois itu apa? Egois itu setahu saya mau enak sendiri dan tak peduli pada orang lain serta cenderung menyusahkan atau merugikan orang lain. Nah, lalu? Saya egois pada siapa? Pada anak yang tak pernah ada? Pada orang tua2 lain karena saya tidak mau repot mengurus anak seperti mereka? Lha kan itu bukan anak saya? Kenapa saya harus ikut repot? Pada orang tua yang mengharapkan cucu untuk mainan dan dipamerkan? Untuk hal ini, saya harap para orang tua bisa menghargai keputusan anaknya yang tak mau punya anak. Jangan terus berusaha mengatur dan mencap anak durhaka karena tidak sepaham dengan orangtuanya. Sudah cukup orang tua memaksa anaknya lahir ke  dunia. Jangan juga memaksanya hidup sesuai keinginan orangtuanya. Lagi pula yang mengurus anaknya nanti bukanlah kakek neneknya, tapi itu jadi tanggung jawab orang tuanya. Mereka harus legowo menerima apapun keputusan anaknya. 

Sekarang coba lihat anak2 jalanan, anak2 panti asuhan, anak2 miskin, dan anak2 broken home. Bandingkan pada saya yang peduli pada ancaman overpopulasi. Lebih egois mana menurut Anda? Masih saya? 

 

Saya  Dianggap Payah karena Tidak Bisa Melanjutkan Keturunan

Ini juga lucu. Manusia seperti saya itu buaaanyak lho. Saya bukan keturunan badak bercula satu yang langka dan patut dilestarikan. Saya adalah jenis manusia yang jumlahnya buanyak di bumi ini.  Saya justru melihat diskriminasi pada manusia-manusia yang menjaga kemurnian ras nya agar tidak bercampur dengan ras lain. Saya tidak mengeksklusifkan keluarga saya sebagai ras unggulan yang patut dilestarikan keturunannya. Saya sama seperti Anda semua, saya manusia biasa bermata dua, berkaki, tangan, telinga dua, berhidung satu dan bisa bicara.

 

Anak dijadikan Investasi di Hari Tua

Kebanyakan alasan orang ingin punya anak adalah agar ada yang mengurus mereka di hari tua. Tidak ada yang salah dengan hal ini. Hanya saja, bagi saya pribadi, saya tidak ingin menyusahkan anak saya. Dan saya melihat banyak pilihan dalam hidup. Bagi saya anak bukan jaminan bahwa masa tuamu bahagia. Hidup itu misteri, seperti orang tua Ade Sara yang lkhlas luar biasa. Mereka kehilangan anak semata wayangnya saat sudah dewasa dan akan menyelesaikan kuliahnya. Ada juga anak-anak yang mencampakkan orang tuanya. Banyak hal tak terduga yang bisa terjadi dan melihat hal ini saya semakin mantab bahwa anak bukanlah jaminan bagi saya.

Banyak anak yang mengirimkan orang tuanya ke panti jompo dan dicap egois. Padahal menurut saya. Panti jompo yang bagus adalah tempat yang sehat bagi para lansia. Lebih baik mereka berkumpul dengan teman sebaya dan "nyambung", daripada hidup terasing di rumah anak. Ya, ada banyak pilihan lain memang. Biaya yang orang lain keluarkan untuk mengurus anak sampai kuliah bisa saya tabung untuk investasi hari tua. Anda bisa sewa perawat atau bergabung di komunitas2 semacam golden girl yang saya prediksikan akan mulai muncul didekade-dekade mendatang. Ya, saya melihat hidup yang memberikan banyak pilihan. 

 

Tidak Semua Orang Terpanggil untuk Menjadi Ibu dan Ayah

Setidaknya, saya menyadari hal ini dalam diri saya.  Mungkin karena saya anak bungsu,tapi entahlah, bahkan dari kecil saya kurang tertarik pada anak kecil. Saya tidak benci pada anak kecil. Saya hanya merasa biasa saja dan tidak heboh seperti wanita pada umumnya yang ingin menggendong, menggoda dan ingin membawa pulang untuk mainan di rumah. Mungkin ada insting untuk mencurahkan kasih sayang dan sebaliknya, dan itu lebih dapat saya tumpahkan ke anjing. Saya lebih suka anjing dari pada bayi manusia. Saya tidak tahu mengapa jadi jangan salahkan saya. Disamping itu, perawatan anjing tak semahal biaya kuliah haahaha..

 

Hidup itu Tidak Mudah

Hidup itu tidak mudah. Saya tidak mau menyusahkan anak saya. Menyuruhnya berjuang menghadapi segala permasalahan hidup yang kompleks. Saya  pernah kecil, sekolah, remaja dan bahkan sejak kecil saya sudah sadar, hidup itu tidak mudah. Saya bukan berasal dari keluarga broken home. Keluarga saya bisa dibilang cukup sempurna untuk dapat memenuhi kebutuhan moril dan materiil. Sekolah saya lancar sampai bisa dapat beasiswa dan tidak pernah ada masalah. Singkat kata, keluarga saya keluarga baik-baik. Jadi kesadaran saya ini bukan karena faktor permasalahan keluarga. Mungkin dari pribadi saya yang introvert, saya cenderung menjadi pengamat sejak kecil. Saya melihat bully, iri dengki, persaingan, pencarian jati diri, geng-gengan (kelompok remaja), dsbnya. Si kuper terintimidasi dan perlu motivasi, Si badung perlu diawasi dan bikin darah tinggi. Orang tua was-was setiap hari.

 

Lapangan Pekerjaan Semakin Sempit

Saya tidak mau menyusahkan anak saya menyuruhnya bersaing dengan lulusan2 sarjana yang semakin banyak dari tahun ke tahun sementara lapangan pekerjaan makin sempit. Saya cukup prihatin melihat apa yang terjadi saat ini. Saya tidak bisa bayangkan apa yang akan terjadi 20 tahun lagi ketika kurva pertumbuhan penduduk makin menggunung da tak kunjung berjumpa pada si puncak gunung. 

 

Saya Tidak Mau "Dibebani" dan "Membebani" Siapapun

Saya tidak mau dibebani oleh segala urusan anak dan tetek bengeknya dan saya juga tidak mau membebani anak ketika saya tua. Sama seperti orang tua yang mendoakan semoga yang terbaik terjadi pada masa depan anaknya, biarlah saya juga mendoakan masa tua terbaik bagi saya. Semua sama-sama berharap kan? Karena dalam hidup ini tidak ada yang pasti. 

 

Jangan Salahkan Saya Kalau Saya Lebih Memilih Jalan-jalan dan Hobi

Saya suka photography, traveling, camping, exploring dan hal2 adventurous lainnya. Dan saya sadar saya tidak bisa melakukannya sebebas ketika sudah ada anak. Saya juga sering disebut egois gara-gara ini. Jika Anda sebut saya egois gara-gara ini, saya justru melihat bahwa Anda iri. Apakah saya salah jika saya lebih tertarik dengan kebebasan daripada terikat pada anak? Ingat, saya tidak merugikan siapapun. Saya justru bisa beramal menjadi OTA dan sebagainya. Dan saya justru merasa lebih bermanfaat dari pada menciptakan tanggungan baru yang semakin memperparah overpopulasi.

Jikapun saya harus punya anak, mungkin saya akan lebih mempertimbangkan adopsi. Banyak anak-anak terlantar di luar sana yang butuh kasih sayang. Bukan berarti saya harus dan wajib adopsi lho... ini juga hak saya. Setidaknya saya melihat mengadopsi jiwa2 yang sudah "terlanjur" lahir di bumi jauh lebih bijak dari pada membuat bayi2 baru ( ini jika anda kekeuh menganggap saya egois).

Dan yang terakhir, saya ingin perlahan lepas dari bentuk keterikatan apapun. Biarlah pernikahan dan suami adalah suatu bentuk keterikatan terakhir saya di bumi ini. Dan saya ingin dapat meninggalkan bumi ini dengan ringan tanpa membawa beban emosi, ego, dan pikiran yang penuh kemelekatan. Ya, saya mau "terbang" :)

Ingat, saya tidak mengatakan bahwa apa yang saya pilih ini benar dan terbaik.  Hidup ini memberikan banyak pilihan. Anda ke jalan A saya ke jalan B. Tidak ada yang benar tidak ada yang salah. Saya hanya mengharap agar semua orang bisa menghargai pilihan hidup orang lain sehingga tidak serta merta menilai dan menghakimi dengan kaca mata mereka :)

Sekian dan terima kasih :D 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun