Gott ist tot!Â
got bleibt tot!Â
Undwir haben ihn getotet!
(Tuhan Telah Mati!
Tuhan terus mati!
Kita telah membunuhnya!)
Demikian Nietzsche berseru melalui Zarathrustra, seorang tokoh dalam novelnya ''Also Sprach Zaratrusta'.
Seruan ini bergema ke segala penjuru. Lantas bangsa Barat beramai-ramai 'membunuh' Tuhan dalam kehidupan mereka. Tuhan yang tak pernah mereka kenal. Sikap anti Tuhan pun kemudian melanda dunia. Arus atheisme dan agnostisime tak tertahankan menjalar perlahan ke dalam jiwa dan pikiran generasi berikutnya, hingga menjadi hal yang lumrah jika ada yang mengatakan bahwa Tuhan itu tak ada.
Seluruh sistem di pemerintahan dan pendidikan kemudian diwarnai atheisme dan materialisme. Ini artinya dunia selama berabad-abad dilanda kekeringan spiritual. Bayangkan, jika kita mengarungi gurun pasir yang luas sedangkan kita hanya menemukan sedikit oasis yang ternyata hanya cukup untuk sedikit tumbuhan saja? Tentu saja, Â ratusan kilometer oasis tersebut bisa jadi merupakan ladang kematian.
"Membunuh Tuhan?"
"Gile bener! Apa-apaan!?"
Tunggu bentar, jangan komen dulu. Membunuh Tuhan di sini maksudnya hanya kiasan saja. Sebuah perumpamaan tentang manusia-manusia sok, super arogan yang ingin membangkang dengan menghapuskan pegangan hidupnya.  Bagaimanapun,  'Yang Maha Hidup' tak mungkin bisa dibunuh. Ungkapan tadi hanya  semacam simbol dari lunturnya keyakinan orang-orang di Barat atas segala jaminan Tuhan dalam hidup mereka.
Ada anggapan di kalangan mereka bahwa manusia bisa hidup mandiri dengan kekuatan dan potensi yang dimilikinya. Manusia adalah makhluk yang bebas. Dengan kebebasannya manusia adalah entitas  yang unggul, begitu keyakinan mereka. Dengan akalnya manusia memiliki berbagai daya untuk menghapus segala keterbatasannya.Â
Bagi mereka dengan meyakini keMahakuasaan Tuhan berarti manusia menjadikan dirinya tak berdaya. Rasa ketidakberdayaan inilah katanya yang membikin manusia luntur kepercayaan dirinya. Â Manusia jadi terkungkung dan tak lagi menjadi makhluk yang bebas dan memiliki peran yang nyata di dunia, begitu alasannya.
"Lupakan aturan-aturan Tuhan, lupakan segala janji-janjiNya.  Kita bisa hidup tanpa Dia.  Kita adalah Manusia Super ('der ubermensch'/Superman) yang  bisa melampaui segala sesuatu termasuk Tuhan," begitulah kira-kira ungkapan pembangkangannya.
Apa yang diungkapkan filsuf Jerman di atas  persis dengan perilaku Raja Namrudz tatkala ia membangun sebuah gedung pencakar langit. Kemudian di atas puncak gedung itu Namrudz dengan penuh arogansi berseru, "Aku akan membunuh Tuhan yang ada di langit!" Ia pun menarik busur dan melepaskan anak panah ke arah langit.
Begitulah, gedung itu dibangun  dengan maksud  menantang Tuhan. Allah pun kemudian  mengutus Jibril agar menjatuhkan seekor burung yang tertancap anak panah Namrudz tersebut. Ketika anak panah yang berlumuran darah itu jatuh ke tanah, Namrudz bertambah sombong dan bersorak, "Ah, sekarang akulah segalanya! Aku telah membunuh yang ada di langit!"
Ironisnya, kesombongan Namrudz segera terjawab. Tak lama setelah itu Namrudz  meregang nyawa disebabkan karena seekor nyamuk saja! Alkisah, hanya dengan seekor makhluk mungil yang masuk melalui lubang hidungnya itu, otak Namrudz habis digerogoti.  Namrudz yang besar kepala alias sombong itu ternyata tak sanggup mengalahkan nyamuk!
Adigung. Inilah watak utama hawa nafsu (ego). Di balik ungkapan-ungkapan sembrono itu, sebenarnya tanpa sadar mereka sedang memuja Tuhan lain. Tuhan mereka sekarang adalah hawa nafsu mereka sendiri. Â Siapa saja yang bersikap angkuh dan sombong itu artinya telah dikuasai oleh hawa nafsunya.
Gravitasi Hawa dan Syahwat
Hawa nafsu, menurut al-Qur'an, senantiasa menyuruh kita pada kejahatan. Â Aksioma ini tak pernah berubah sejak dahulu kala. Â Agar memenuhi segala ambisi duniawi untuk mencapai kepuasan yang tak terbatas hawa nafsu akan menyuruh kita menghalalkan segala cara. Â Manusia angkuh tidak pernah bisa berdamai dengan dirinya sendiri serta dengan lingkungan sekitarnya.Â
Semakin kita memberi hak-hak atas kesombongan seseorang maka lihatlah ia akan semakin menindas kita. Homo homini lupus. Manusia pun menerkam sesamanya. Siapa yang paling berhasil menindas dialah yang berkuasa. Demikianlah, dengan filosofi ini, Hitler mengekspresikan der wille zur macht (kehendak untuk berkuasa).Â
Syahwat adalah bahan bakar hawa nafsu.  Hawa nafsu akan selalu mencari jalan, trik-trik, dan tipu daya untuk mendapatkan kepuasan yang tiada akhir itu. Arus hawa nafsu tak pernah berhenti karena selalu mencari cara untuk memperoleh dan  menemukan kepuasan-kepuasan lain.Â
Tak heran, gravitasi makhluk bumi pun seolah berpusat pada syahwat. Hampir seluruh energi masyarakat modern difokuskan pada upaya pemenuhan syahwat. Kehidupan bebas dan lepas dari kendali agama menjadi bentuk kehidupan yang diidealkan. Perilaku manusia pun  menjadi seperti hewan yang tak mengenal norma moral. Orang-orang  kini seolah-olah membiarkan dirinya hanyut bersama kekuatan-kekuatan naluriah. Segala bentuk kepuasan duniawi pun nyaris tak terbendung.
Di dalam kebudayaan yang dikuasai oleh instink hewani ketimbang kedalaman spiritual maka produk-produk yang dihasilkan pun malah produk yang justru menjatuhkan harkat dan martabat manusia. Di negara-negara maju  milyaran dollar dihabiskan untuk membangun berbagai sarana hiburan, film dan pertunjukan, perangkat permainan dan judi, atau tempat-tempat mabuk dan prostitusi. Lihat saja, bagaimana fasilitas-fasilitas dan sarana pemuasan syahwat itu ternyata tidak membuat manusia modern semakin bahagia.
Apakah yang kita dapatkan dari dunia gemerlap (dugem)? Katarsis sesaat. Apa yang kita peroleh dari berjudi? Kecanduan dan kebangkrutan.  Apa yang diajarkan tontonan? Kadang hanya kenikmatan  mata sesaat. Apa yang dirasakan dari kebebasan sex? Penyakit dan kerusakan moral-spiritual.Â
Kita sering saksikan betapa banyak orang yang kita anggap happy hidupnya karena berhasil mencapai puncak  popularitas, meraup kekayaan yang melimpah, atau memperoleh jabatan tinggi di masyarakat tetapi ternyata sebenarnya mereka unhappy. Jaguar, lamborgini, ferari, maserati yang bertengger di garasi rumah mereka yang supermewah, istri/suami dan anak-anak yang supercakep, jabatan dan penghargaan masyarakat yang supertinggi, ternyata tidak lantas menjadikan mereka 'superman' atau 'superwoman'.Â
Mereka malah menjadi zombie atau mayat hidup, the lving corpse.  Segala benda, perhiasan, dan berbagai asesori hidup yang mereka beli untuk mengisi dan menghiasi tempat tinggalnya ternyata tidak pernah bisa mengisi kehampaan rumah bathinnya.  Semakin diisi dan dipenuhi ternyata  membuat hidup mereka semakin hampa.
Pandangan kebendaan (materialistik) telah menyebabkan manusia tergantung pada image, citra diri dan ilusi-ilusi yang menyertai dirinya. Mereka begitu membutuhkan pengakuan masyarakat atas segala atribut semu yang tampak pada dirinya. Tongkrongan, prestise, dan gaya hidup  lantas dijadikan sebagai tujuan tertinggi.
Tasawuf Sebagai Terapi
Sungguh celaka jika kita tak bisa lagi membedakan antara kesenangan dan kebahagiaan. Maka kita pun berpikir kebahagiaan itu bisa diperoleh melalui kesenangan-kesenangan itu. Narkoba memang bisa merangsang emosi bahagia, Â atau ekstase sesaat, alkohol bisa membuat kita melupakan masalah sejenak, tapi setelah itu?. Kehampaan yang panjang menyerang kembali dengan cara yang lebih dahsyat.Â
Alih-alih 'membunuh Tuhan' mereka kini malah berupaya membunuh dirinya sendiri. Perasaan bosan, bete, jenuh, jemu, hampa, kehilangan minat dan inisiatif, acuh tak acuh, merasa gagal, kehilangan tanggungjawab serta rasa tak berdaya menyerbu kehidupan mereka.
Ibarat gelandangan di kota besar, manusia modern kehilangan jati diri dan tujuan hidup yang bernilai. Banyak di antara mereka yang mengalami krisis makna hidup. Â Kita saksikan bagaimana remaja cewek kota melarikan diri kehidupannya yang terhormat dengan menjajakan diri. Â Pekcun, perempuan bispak, perek, jablay, cabe-cabean dsb, mereka mencari makna hidup dengan menjual diri. Di antaranya banyak yang bukan karena kekurangan uang, tapi ketiadaan tujuan hidup akibat kekurangan perhatian dari keluarganya.Â
Victor Frankl, seorang psikolog Yahudi menyebut gejala krisis makna hidup itu dengan istilah neurosis noogenic. Â Menurut Frankl, orang yang mengalami krisis makna hidup ini harus melakukan logoterapi, atau 'terapi makna' sehingga hidupnya kembali mendapat makna. Dengan logoterapi hidup seseorang akan kembali memiliki arti. Tetapi cukupkah?Â
Ketidakbahagiaan yang menerpa manusia-manusia akhir zaman ini sebenarnya bukan bersumber dari kekurangan makna saja tetapi bersumber dari kegersangan ruhani. Â Jiwa yang tak pernah disiram dan diberi pupuk tentu saja tak akan membuahkan makna bagi kehidupan, bahkan akan layu dan mati.Â
Hati yang tak pernah dibersihkan akan menjadi cermin yang buram bagi kehidupan sehingga kita kehilangan tujuan. Untuk itulah kita perlu mendalami dan menjalani tasawuf.  Mendalami tasawuf bukan berarti melarikan diri dari kehidupan dunia ini, akan tetapi melakukan usaha untuk membekali dan mempersenjatai diri kita dengan nilai-nilai ruhaniah. Dalam tasawuf kita menghidupkan cahaya dalam diri kita melalui  sumber cahaya kehidupan, sumber gerak, sumber norma, sumber motivasi, dan sumber nilai,  Sang Maha Nyata (Al-Haqq). Wallaahu a'lam,
Luthfi Musthofa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H