Syahwat adalah bahan bakar hawa nafsu.  Hawa nafsu akan selalu mencari jalan, trik-trik, dan tipu daya untuk mendapatkan kepuasan yang tiada akhir itu. Arus hawa nafsu tak pernah berhenti karena selalu mencari cara untuk memperoleh dan  menemukan kepuasan-kepuasan lain.Â
Tak heran, gravitasi makhluk bumi pun seolah berpusat pada syahwat. Hampir seluruh energi masyarakat modern difokuskan pada upaya pemenuhan syahwat. Kehidupan bebas dan lepas dari kendali agama menjadi bentuk kehidupan yang diidealkan. Perilaku manusia pun  menjadi seperti hewan yang tak mengenal norma moral. Orang-orang  kini seolah-olah membiarkan dirinya hanyut bersama kekuatan-kekuatan naluriah. Segala bentuk kepuasan duniawi pun nyaris tak terbendung.
Di dalam kebudayaan yang dikuasai oleh instink hewani ketimbang kedalaman spiritual maka produk-produk yang dihasilkan pun malah produk yang justru menjatuhkan harkat dan martabat manusia. Di negara-negara maju  milyaran dollar dihabiskan untuk membangun berbagai sarana hiburan, film dan pertunjukan, perangkat permainan dan judi, atau tempat-tempat mabuk dan prostitusi. Lihat saja, bagaimana fasilitas-fasilitas dan sarana pemuasan syahwat itu ternyata tidak membuat manusia modern semakin bahagia.
Apakah yang kita dapatkan dari dunia gemerlap (dugem)? Katarsis sesaat. Apa yang kita peroleh dari berjudi? Kecanduan dan kebangkrutan.  Apa yang diajarkan tontonan? Kadang hanya kenikmatan  mata sesaat. Apa yang dirasakan dari kebebasan sex? Penyakit dan kerusakan moral-spiritual.Â
Kita sering saksikan betapa banyak orang yang kita anggap happy hidupnya karena berhasil mencapai puncak  popularitas, meraup kekayaan yang melimpah, atau memperoleh jabatan tinggi di masyarakat tetapi ternyata sebenarnya mereka unhappy. Jaguar, lamborgini, ferari, maserati yang bertengger di garasi rumah mereka yang supermewah, istri/suami dan anak-anak yang supercakep, jabatan dan penghargaan masyarakat yang supertinggi, ternyata tidak lantas menjadikan mereka 'superman' atau 'superwoman'.Â
Mereka malah menjadi zombie atau mayat hidup, the lving corpse.  Segala benda, perhiasan, dan berbagai asesori hidup yang mereka beli untuk mengisi dan menghiasi tempat tinggalnya ternyata tidak pernah bisa mengisi kehampaan rumah bathinnya.  Semakin diisi dan dipenuhi ternyata  membuat hidup mereka semakin hampa.
Pandangan kebendaan (materialistik) telah menyebabkan manusia tergantung pada image, citra diri dan ilusi-ilusi yang menyertai dirinya. Mereka begitu membutuhkan pengakuan masyarakat atas segala atribut semu yang tampak pada dirinya. Tongkrongan, prestise, dan gaya hidup  lantas dijadikan sebagai tujuan tertinggi.
Tasawuf Sebagai Terapi
Sungguh celaka jika kita tak bisa lagi membedakan antara kesenangan dan kebahagiaan. Maka kita pun berpikir kebahagiaan itu bisa diperoleh melalui kesenangan-kesenangan itu. Narkoba memang bisa merangsang emosi bahagia, Â atau ekstase sesaat, alkohol bisa membuat kita melupakan masalah sejenak, tapi setelah itu?. Kehampaan yang panjang menyerang kembali dengan cara yang lebih dahsyat.Â
Alih-alih 'membunuh Tuhan' mereka kini malah berupaya membunuh dirinya sendiri. Perasaan bosan, bete, jenuh, jemu, hampa, kehilangan minat dan inisiatif, acuh tak acuh, merasa gagal, kehilangan tanggungjawab serta rasa tak berdaya menyerbu kehidupan mereka.
Ibarat gelandangan di kota besar, manusia modern kehilangan jati diri dan tujuan hidup yang bernilai. Banyak di antara mereka yang mengalami krisis makna hidup. Â Kita saksikan bagaimana remaja cewek kota melarikan diri kehidupannya yang terhormat dengan menjajakan diri. Â Pekcun, perempuan bispak, perek, jablay, cabe-cabean dsb, mereka mencari makna hidup dengan menjual diri. Di antaranya banyak yang bukan karena kekurangan uang, tapi ketiadaan tujuan hidup akibat kekurangan perhatian dari keluarganya.Â