Mohon tunggu...
Luthfy Avian Ananda
Luthfy Avian Ananda Mohon Tunggu... Penulis - Kuli Tinta

Pernah belajar di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tim Gabungan Pencari Fakta, Jalan Keadilan untuk Novel Baswedan

12 April 2018   00:27 Diperbarui: 12 April 2018   17:04 2637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Baswedan dan Laode M Syarif (Foto: kompas.com)

Malam ketika saya membuat tulisan ini adalah tepat satu tahun tragedi Hak Asasi Manusia yang menimpa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Kasus penyiraman air keras itu sampai sekarang belum menemui titik terang. 

Jangankan untuk mengungkap identitas otak di balik semua ini, sekedar menemukan pelaku penyiramannya saja juga nihil. Gemparnya tragedi ini bisa dikatakan hampir sama dengan apa yang terjadi kepada aktivis HAM, Munir yang meninggal karena racun di makanannya pada 2004 silam. Sama karena kedua tokoh tersebut adalah pejuang Hak Asasi Manusia di Indonesia.

Melalui tulisan ini saya tidak mau terlalu menggiring opini publik dengan membuat spekulasi mengenai apa sesungguhnya motif dibalik penyerangan yang dilakukan orang tak dikenal terhadap penegak hukum seperti Novel Baswedan. Karena beberapa hari setelah kejadian banyak timbul argumentasi yang mengatakan jika kejadian ini dilatarbelakangi motif oknum yang tidak senang terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.

Wakil Ketua KPK, Saut Sitomorang pernah mengungkapkan dugaan tentang adanya motif ego dibalik penyerangan kepada Novel Baswedan. "Bisa jadi motif ego, ada orang berpikir Pak Novel jagoan sehingga timbul rasa tidak suka," ungkap Saut.

Di sisi lain, ada juga anggapan kepentingan politik yang menjadi pemicu, karena kasus berjalan bersamaan ketika berlangsungnya Pemilihan Kepala Daerah Serentak di Indonesia 2017. Apapun itu motifnya, sejujurnya yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini adalah upaya kepolisian untuk segera menemukan pelaku.

Oleh sebab itu saya tidak mau terjebak dalam segala argumentasi di atas yang pada akhirnya akan berimplikasi buruk karena termasuk perilaku intervensi terhadap kinerja Polri.

Hukum merupakan panglima tertinggi dalam penegakan keadilan bagi rakyat, maka dari itu saya sama sekali tidak berniat untuk mencampuri bagaimana dewi keadilan itu bekerja untuk mengungkap kebenaran yang hakiki. Sebagai rakyat, saya mencari celah lain yang sekiranya bisa saya intervensi untuk sekedar memberikan surat terbuka demi menambah suara jutaan rakyat Indonesia yang mendorong agar kasus ini segera diusut secara tuntas.

Celah itu ada pada seorang pimpinan negara yang bernama Presiden Joko Widodo. Secara konstitusional memang beliau adalah pemimpin tertinggi sekaligus termasuk sebagai simbol negara yang harus dijunjung tinggi. Namun yang perlu diingat, hakikatnya seorang Presiden ialah pelayan rakyat.

Ya, sebagai seorang majikan, kita semua termasuk salah satunya adalah saya, bisa memanfaatkan celah itu sebebas-bebasnya secara demokratis untuk melakukan intervensi berupa kritik dan saran yang berkaitan langsung dengan kejadian ini. Sebagai pemimpin, saya harap bapak tidak antikritik terhadap segala persoalan menyangkut bangsa ini, khususnya mengenai permasalahan Hak Asasi Manusia semacam ini.

Sebagai seorang Presiden, Joko Widodo mempunyai berbagai macam kewenangan yang bisa digunakan sewaktu-waktu jika dirasa mendesak. Salah satu dari kewenangan itu adalah memberikan perintah untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang akan membantu dalam pengungkapan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan ini.

Sayangnya, terhitung sudah satu tahun sejak kejadian tersebut berlalu, Presiden belum juga menunjukkan sinyal-sinyal akan membentuk TGPF yang salah satu tugasnya juga membantu kinerja pihak kepolisian.

Mencermati kasus yang menimpa Novel Baswedan seperti ada kepingan besar yang belum terungkap. Ketika dimintai keterangan oleh penyidik, Novel pernah mengungkap bahwa ada indikasi jenderal yang terlibat, namun sampai saat ini identitas "orang besar" tersebut belum juga dibuka oleh Novel Baswedan.

Saat kesempatan bertemu dengan media, Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti menyebut terhambatnya kasus ini disebabkan karena belum adanya sinergi yang terjalin antar seluruh pihak, terlebih dari Novel Baswedan sendiri sebagai korban juga masih terkesan enggan untuk membuka diri terhadap pihak kepolisian.

Atas fakta itu, Poengky tidak menampik jika kurang kooperatifnya Novel terjadi karena adanya rasa tidak percaya kepada kepolisian. "Pak Novel pernah menyebut ada tanda-tanda jenderal yang terlibat, tetapi sampai sekarang beliau belum berbicara lebih lanjut mengenai itu. Tetapi saya pastikan polisi penyelidikan berdasarkan KUHAP dan di BAP, sehingga keterangan sekecil apapun dapat membantu aparat dalam mengunkap kasus ini," kata Poengky.

Pada kesempatan lain, Novel Baswedan juga turut meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta karena memang sampai satu tahun ini sepertinya pemerintah masih enggan untuk serius mengungkap kasus dengan jalan memanfaatkan hak prerogatif presiden itu.

"Saya berpikir bahwa Tim Gabungan Pencari Fakta ini penting untuk membuktikan betul atau tidaknya ucapan saya bahwa ada fakta-fakta yang tidak diungkap," kata Novel.

Di sinilah benang merah identitas terduga pelaku baru bisa tersambung jika pemerintah sudah membentuk TGPF. Bisa jadi memang Novel Baswedan enggan mengungkap nama kepada penyidik dari kepolisian karena adanya keraguan bahwa laporannya akan ditindaklanjuti.

Tetapi jika ada TGPF yang susunannya terdiri dari anggota masyarakat, KPK, Polri, dan Sekretariat Negara bisa bekerja independen dan memberikan kenyamanan bagi Novel untuk kooperatif dalam mengungkap kasusnya.

Penyidik KPK ini juga pernah berjanji jika sudah waktunya akan mengungkap sosok jenderal yang selama ini dimaksud. "Saya rasa bukan kapasitas saya untuk berbicara mengenai terduga pelaku di depan publik seperti ini, nanti jika waktu dan tempatnya sudah tepat akan saya sampaikan," ucap Novel.

Dari pernyataan tersebut, saya sedikit menafsirkan, mungkin saja yang dimaksud tempat dan waktu yang tepat oleh Novel Baswedan itu adalah saat pemerintah sudah memutuskan untuk membentuk TGPF.

Dalam kasus yang polanya hampir sama, sebelumnya pernah dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004. Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004 tentang Pembentukan TPF Kasus Munir yang terdiri dari unsur Polri, Kejaksaan Agung, Departemen Luar Negeri, dan LSM menjadi dasar hukumnya.

Meskipun kematian Munir sampai saat ini juga masih menyisakan tanda tanya serta perdebatan, namun paling tidak sudah menghasilkan sesuatu dengan ditetapkannya Pollycarpus Budihari Priyanto, Pilot senior Garuda Indonesia sebagai tersangka.

Ia resmi menjadi terpidana setelah Majelis Hakim PN Jakarta Pusat dalam amar putusannya menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana dengan memberi racun arsen ke minuman Munir. Vonis yang dijatuhkan padanya berupa hukuman penjara selama 14 tahun sejak 20 Desember 2005.

Saya selalu membandingkan kasus Novel Baswedan dengan yang menimpa Aktivis Hak Asasi Manusia, Munir karena beberapa alasan. Pertama, karena kasus-kasus ini seperti mempunyai pola klasik yang hampir sama, yaitu terjadinya penyerangan yang menyebabkan cedera atau kematian terhadap orang tertentu yang dianggap berpengaruh dalam mengungkap skandal besar di tanah air.

Munir semasa hidupnya dikenal sebagai pribadi yang vokal terhadap tragedi kemanusiaan seperti misalnya saat marak penculikan aktivis pada tahun 1997/1998. Sedangkan Novel Baswedan naik daun karena keberaniannya mengungkap tindak pidana korupsi seperti Wisma Atlet SEA Games Palembang dan suap sengketa Pilkada yang melibatkan Akil Mochtar saat masih menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.

Kedua, baik musibah yang menimpa Novel Baswedan maupun Munir sama-sama sebuah pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku. 

Terkait dengan dasar hukum yang termuat dalam undang-undang di atas, sudah jelas bahwa Novel Baswedan dan Munir belum memperoleh hak asasinya sebagai Warga Negara Indonesia setelah kejadian penyerangan yang menimpa para tokoh tersebut. Hak asasi yang dimaksud ini adalah hak untuk hidup, memperoleh rasa aman, mendapat kepastian hukum, serta hak pihak masing-masing keluarga untuk tahu secara gamblang siapa pelaku utamanya.

Ketiga, meskipun belum ada jaminan pasti terjadi, tetapi saya berharap dibentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan akan menghasilkan hal yang sama seperti ketika mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk TPF kasus pembunuhan Munir.

Hal sama yang saya maksud yakni terungkapnya pelaku penyerangan, kemudian bisa bermuara menuju "orang besar" yang diduga terlibat melakukan penyiraman air keras kepada Novel Baswedan. Sayangnya sampai saat ini aktor utama pembunuhan Munir juga masih belum terbuka ke publik hingga Pollycarpus bebas pada 29 November 2014 yang lalu.

Tentu kita berharap belum tuntasnya tindak pidana pembunuhan Munir tidak menular ke upaya aparat penegak hukum dalam mengungkap kejadian yang menimpa Novel Baswedan. Justru kekurangan yang ada di tim kerja TPF Munir seharusnya bisa menjadi bahan evaluasi agar calon TGPF kasus Novel bekerja lebih independen dan profesional.

Selanjutnya, Pemerintah jangan sampai setengah-setengah saat memutuskan untuk membentuk atau tidak membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta. Artinya, jika pada akhirnya Presiden menyusun TGPF wajib ditindaklanjuti dengan agenda penyelesaian kasus secara konsisten dan serius.

Jika tidak, maka keadaannya sama dengan kasus Munir, akibat terlalu lama molor dalam pengungkapannya sampai ada kejadian dokumen TPF pembunuhan Munir hilang. Ini membuktikan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani tragedi kemanusiaan khususnya yang menyangkut masalah Hak Asasi Manusia di dalam negeri.

Pada 2017 Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Mirko Ginting pernah mengatakan bahwa penegakan Hak Asasi Manusia belum menjadi agenda prioritas pemerintahan saat ini. Parameter yang digunakan untuk mendukung argumentasi itu adalah rendahnya tingkat akuntabilitas negara dalam hal kapasitas bertanggung jawab, menjawab, dan menjalankan kewajibannya.

Negara juga dianggap gagal mewujudkan prinsip negara hukum yang merupakan mekanisme proteksi terhadap hak asasi. Selain itu, sikap pasif  negara dengan membiarkan aktor nonnegara mengganggu kebebasan sipil semakin menjadi bukti kurang optimalnya penegakan HAM di tanah air. Dalam acara di Indonesia Lawyers Club yang disiarkan TV One, Selasa (11/4/2018), Rocky Gerung, 

Dosen di Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya UI juga membuat pernyataan bahwa dalam masa kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014 yang lalu, pernah ada tim kampanye Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang menegaskan Isu Hak Asasi Manusia bukan program prioritas yang akan dilakukan oleh Jokowi-JK.

Kedua data di atas memang sama-sama memiliki karakter yang debatable, apalagi terkait pernyataan Rocky Gerung, karena beliau juga tidak menyebutkan identitas pasti oknum tim kampanye Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang menyebut bahwa isu Hak Asasi Manusia bukan program prioritas. Tetapi, adanya rapor pemerintahan dalam hal penegakan HAM seperti di atas saya harap bisa menjadi lampu kuning bagi pemerintahan saat ini yang masa kerjanya praktis tinggal menyisakan satu tahun lagi.

Tidak hanya kasus yang menimpa Novel Baswedan dan Munir, tetapi tragedi Hak Asasi Manusia masa lampau seperti Trisakti, Semanggi 1, Semanggi 2, dan kerusuhan Mei 1998. Kita berharap sisa satu tahun pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla ini dimanfaatkan untuk menggunakan hak jawab atas data-data di atas sehingga membuktikan bahwa pemerintah serius dalam menegakkan keadilan terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia.

Jika nantinya pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta kasus Novel Baswedan bisa terlaksana, maka selain jalan keadilan bagi Novel, itu juga keadilan bagi masyarakat Indonesia. Perlu diingat agar agenda penegakan HAM jangan dimanfaatkan sebagai modus kampanye memasuki tahun politik seperti sekarang. Jangan gadaikan hak asasi kami.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun