Ia resmi menjadi terpidana setelah Majelis Hakim PN Jakarta Pusat dalam amar putusannya menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana dengan memberi racun arsen ke minuman Munir. Vonis yang dijatuhkan padanya berupa hukuman penjara selama 14 tahun sejak 20 Desember 2005.
Saya selalu membandingkan kasus Novel Baswedan dengan yang menimpa Aktivis Hak Asasi Manusia, Munir karena beberapa alasan. Pertama, karena kasus-kasus ini seperti mempunyai pola klasik yang hampir sama, yaitu terjadinya penyerangan yang menyebabkan cedera atau kematian terhadap orang tertentu yang dianggap berpengaruh dalam mengungkap skandal besar di tanah air.
Munir semasa hidupnya dikenal sebagai pribadi yang vokal terhadap tragedi kemanusiaan seperti misalnya saat marak penculikan aktivis pada tahun 1997/1998. Sedangkan Novel Baswedan naik daun karena keberaniannya mengungkap tindak pidana korupsi seperti Wisma Atlet SEA Games Palembang dan suap sengketa Pilkada yang melibatkan Akil Mochtar saat masih menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.
Kedua, baik musibah yang menimpa Novel Baswedan maupun Munir sama-sama sebuah pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku.Â
Terkait dengan dasar hukum yang termuat dalam undang-undang di atas, sudah jelas bahwa Novel Baswedan dan Munir belum memperoleh hak asasinya sebagai Warga Negara Indonesia setelah kejadian penyerangan yang menimpa para tokoh tersebut. Hak asasi yang dimaksud ini adalah hak untuk hidup, memperoleh rasa aman, mendapat kepastian hukum, serta hak pihak masing-masing keluarga untuk tahu secara gamblang siapa pelaku utamanya.
Ketiga, meskipun belum ada jaminan pasti terjadi, tetapi saya berharap dibentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan akan menghasilkan hal yang sama seperti ketika mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk TPF kasus pembunuhan Munir.
Hal sama yang saya maksud yakni terungkapnya pelaku penyerangan, kemudian bisa bermuara menuju "orang besar" yang diduga terlibat melakukan penyiraman air keras kepada Novel Baswedan. Sayangnya sampai saat ini aktor utama pembunuhan Munir juga masih belum terbuka ke publik hingga Pollycarpus bebas pada 29 November 2014 yang lalu.
Tentu kita berharap belum tuntasnya tindak pidana pembunuhan Munir tidak menular ke upaya aparat penegak hukum dalam mengungkap kejadian yang menimpa Novel Baswedan. Justru kekurangan yang ada di tim kerja TPF Munir seharusnya bisa menjadi bahan evaluasi agar calon TGPF kasus Novel bekerja lebih independen dan profesional.
Selanjutnya, Pemerintah jangan sampai setengah-setengah saat memutuskan untuk membentuk atau tidak membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta. Artinya, jika pada akhirnya Presiden menyusun TGPF wajib ditindaklanjuti dengan agenda penyelesaian kasus secara konsisten dan serius.
Jika tidak, maka keadaannya sama dengan kasus Munir, akibat terlalu lama molor dalam pengungkapannya sampai ada kejadian dokumen TPF pembunuhan Munir hilang. Ini membuktikan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani tragedi kemanusiaan khususnya yang menyangkut masalah Hak Asasi Manusia di dalam negeri.
Pada 2017 Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Mirko Ginting pernah mengatakan bahwa penegakan Hak Asasi Manusia belum menjadi agenda prioritas pemerintahan saat ini. Parameter yang digunakan untuk mendukung argumentasi itu adalah rendahnya tingkat akuntabilitas negara dalam hal kapasitas bertanggung jawab, menjawab, dan menjalankan kewajibannya.