Mohon tunggu...
Luthfy Avian Ananda
Luthfy Avian Ananda Mohon Tunggu... Penulis - Kuli Tinta

Pernah belajar di Fakultas Hukum UII, Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Isu Pembajakan di Balik Gemerlapnya Bisnis "Internet Cafe" di Yogyakarta

2 Februari 2018   18:47 Diperbarui: 3 Februari 2018   05:22 2132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixabay/FirmBee

Bahkan di salah satu online shop terkemuka, kita bisa mendapatkan komputer jinjing ini hanya dengan Rp 1,500,000 meskipun kondisinya bekas. Tetapi ternyata anggapan saya salah, setidaknya asumsi ini berlaku di kota yang saat ini menjadi domisili saya, Yogyakarta. Di tengah jaman yang semakin maju, justru warnet di kota pelajar ini keberadaannya masih menjamur, tidak hanya itu saja, peminatnya pun tidak surut, namun cenderung meningkat.

Hal ini tentu sangat mengherankan, coba bayangkan untuk apa orang di jaman yang sudah serba ada ini masih rela capek-capek pergi ke warnet, padahal mereka sudah mempunyai laptop yang menghiasi setiap aktifitasnya. Jika alasannya mencari koneksi internet, tentu bukan jawaban yang masuk akal, karena harga yang ditawarkan oleh provider telekomunikasi di Indonesia untuk membeli kuota internet dengan ukuran gigabyte pun lebih murah daripada makan satu paket menu super besar di salah satu gerai ayam goreng ternama. 

Hampir 8 tahun hidup di Daerah Istimewa Yogyakarta dan berkeliling dari satu warnet ke warnet lainnya, satu kesimpulan yang dapat saya ambil untuk menjawab pertanyaan mengapa mereka bisa tetap eksis bersaing dengan globalisasi. Jawabannya adalah, warung internet kini telah lahir kembali dengan kemasan yang baru.

Dahulu saya teringat ketika masih masa sekolah menengah pertama hingga atas, pergi ke warnet hanya untuk menyewa sebuah bilik komputer kecil dengan hitungan per jam. Semua itu dilakukan hanya untuk memenuhi tugas sekolah berkirim e-mail ke guru dan mencari hiburan dengan berselancar di media sosial seperti Friendster atau Facebook yang saat itu sedang naik daun. 

Jika dibandingkan dengan kondisi sekarang, tidak banyak yang bisa dilakukan pada waktu itu. Kini, warnet di kota besar seperti Yogyakarta ini telah merubah pandangan saya, dari tempat yang awalnya sempit, panas, komputer jadul dengan fitur membosankan, menjelma menjadi lokasi yang menawarkan hiburan alternatif bagi berbagai kalangan yang ingin tetap refreshing tanpa harus mengabaikan pekerjaan.

Pergeseran konsep dari warnet konvensional, menjadi warung internet dengan kemasan internet cafe yang sekaligus menghadirkan berbagai fitur multimedia lengkap kepada konsumen nampaknya menjadi ide kreatif yang cukup ampuh untuk bertahan. Awalnya saya mengira warnet masa kini sama saja, paling kita hanya bisa browsing, chatting, atau bagi yang suka ngegame ada tambahan layanan game online yang bisa dinikmati. Namun ternyata lagi-lagi pendapat itu salah dengan didukung fakta bahwa warung internet telah menyediakan lebih dari apa yang kita butuhkan. 

Contohnya ketika sekarang pergi ke salah satu warnet di Yogyakarta hanya sebagai jalan keluar untuk memenuhi deadline pengiriman pekerjaan atau tugas yang tidak dapat dilakukan di rumah karena keterbatasan koneksi internet. Sesampainya di bilik kita bisa mendapatkan lebih dari itu, karena pihak warnet tidak hanya menyediakan aplikasi browsing, melainkan juga berbagai macam file film, lagu, software, maupun game terbaru yang bisa langsung dicopy ke media penyimpanan dalam jumlah yang tidak terbatas.

Bagi yang enggan untuk duduk di dalam bilik komputer, pihak pengelola jasa warnet juga telah menyediakan tempat khusus dengan sofa yang nyaman sehingga membuat pengunjung betah berlama-lama menuntaskan pekerjaan menggunakan laptop atau smartphone pribadi yang sudah tersambung  jaringan wifi dengan sistem pembelian paket yang tergolong murah, mulai dari Rp 13,000 kita dapat menikmati hotspot selama 3 jam. Terkadang ruangannya pun dibagi dalam 2 tempat, yang pertama indoor lengkap dengan pendingin udara bagi mereka yang tidak merokok dan outdoor untuk para ahli hisap. 

Mungkin ini cara lain pengelola menghormati perokok pasif tanpa harus mendiskriminasi perokok aktif. Tenang saja, warnet kekinian di Yogyakarta ini juga tidak akan membiarkan pelanggannya kelaparan, namanya juga internet caf, mereka pun juga menyediakan berbagai menu makanan dan minuman yang akan mengiringi kita berkarya atau sekedar selingan dikala berinteraksi dengan kolega.

Karena tuntutan konsumen, mayoritas warnet atau sekarang bisa kita sebut internet cafe di Yogyakarta bahkan buka hingga 24 jam nonstop, terutama bagi yang buka di lokasi-lokasi strategis berdekatan dengan perguruan tinggi maupun perkantoran yang ada di daerah ini. Untuk mengatasi pengunjung yang padat, mereka rata-rata mempekerjakan banyak pegawai dengan giliran empat shift per hari. 

Seperti pengakuan Abhirama, seorang kerabat yang pernah merasakan bekerja di salah satu warnet Yogyakarta. "Dulu di tempat saya, shift pertama ada jam 1 malam sampai 7 pagi, kemudian dilanjutkan shift kedua jam 7 pagi hingga jam 1 siang, selanjutnya jam 1 siang berakhir pada jam 7 malam, dan terakhir pukul 7 malam hingga 1 malam, begitu seterusnya," ungkapnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun