Mohon tunggu...
Muhammad Luthfi Azmi
Muhammad Luthfi Azmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori Politik Klasik dan Demokrasi

8 Oktober 2024   00:17 Diperbarui: 8 Oktober 2024   00:17 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. Definisi Teori Politik Klasik

Politik adalah proses sekelompok orang dalam menghasilkan keputusan yang melibatkan otoritas untuk mengatur sumber daya publik, menyelesaikan konflik, dan membuat kebijakan yang berdampak ke masyarakat (Heywood, 2013). Teori politik klasik adalah pemikiran dasar oleh filsuf awal, mengeksplorasi pertanyaan terkait pemerintahan, keadilan, kekuasaan, dan bentuk negara (Dryzek, et al., 2008).


B. Sejarah Teori Politik Yunani Kuno

Di wilayah Athena, pemikiran dasar politik Yunani dikemukakan oleh beberapa filsuf. Sokrates (469-399 SM) menjadi bapak dari filosofi barat. Sokrates tidak menuangkan pemikirannya ke dalam buku, namun muridnya Plato menulis buku terkait ajaran Sokrates. Sokrates menekankan pentingnya etika dan kebajikan dalam politik. Beliau berpendapat bahwa pemerintahan seharusnya dipimpin oleh seseorang yang memiliki kebijaksanaan dan integritas moral atau philosopher-kings (Taylor, 2000). Plato (427-347 SM) dalam bukunya “The Republic” berpendapat bahwa dalam masyarakat hierarkis, masing-masing orang memiliki kedudukan, peran, dan tugas masing-masing untuk kebaikan bersama. Beliau memperkenalkan konsep “The Forms” yang menjadi panduan dalam kehidupan moral dan politik (Schofield, 2006). Aristoteles (384-322 SM) murid dari Plato, melakukan pendekatan empiris. Di dalam bukunya “Politics”, beliau mengungkapkan pada dasarnya manusia menyerupai binatang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Sehingga diperlukan semacam pemerintahan untuk hidup yang lebih baik. Aristoteles menyukai pemerintahan konstitusional yang dapat menyeimbangkan kebutuhan dari beragam kelas sosial, dalam rangka stabilitas dan keadilan (Lockwood & Samaras, 2015). Sofis (guru-guru pengembara) di Yunani pada abad ke-5 memiliki perspektif yang berbeda dari filsuf sebelumnya. Mereka berpendapat bahwa hukum dan norma etika adalah konstruksi manusia. Berbeda dengan ajaran Socrates dan Plato yang percaya pada kebenaran moral objektif (Guthrie, 1971). Stoik muncul pada abad ke-3 SM memperkenalkan ide “cosmopolis”, sebuah kota universal dengan anggapan bahwa semua orang adalah masyarakat. Filsuf seperti Zeno of Citium menekankan hidup penyelarasan diri dengan alam dan bersikap rasional, mengikuti hukum alam yang melampaui kebiasaan lokal (Holowchak, 2008).

C. Sejarah Teori Politik Romawi

Dalam ekspansi besar-besaran kekaisaran Romawi, pemikiran politik berevolusi secara signifikan. Cicero (106-43 SM) merupakan seorang pengacara dan orator, menulis dalam bukunya “On the Republic” dan “On Duties” menekankan pentingnya keadilan dan kebaikan bersama dalam pemerintahan (Hammer, 2014). Seneca (4 SM-65 M) juga berkontribusi dalam pemikiran politik Romawi. Beliau mengemukakan pentingnya tanggung jawab moral oleh penguasa (Griffin, 1992). Marcus Aurelius (121-180 M) terkenal karena bukunya “Meditations” mengemukakan pentingnya rasionalitas, disiplin diri, dan kebajikan dalam kepemimpinan. Beliau merupakan Kaisar Romawi yang banyak menghadapi perang dan konflik politik sehingga melakukan refleksi diri hingga mendalami prinsip stoik (Stephens, 2012). Epictetus (50-135 M) mengajarkan pentingnya inner-freedom dan kontrol diri. Epictetus percaya bahwa kebebasan sejati berasal dari dalam diri yang mana seharusnya individu fokus pada apa yang dikontrol daripada bergantung pada kondisi eksternal (Long, 2002).

D. Sejarah Teori Politik Tiongkok

Konfusius (551-479 SM) merupakan filsuf Tiongkok paling populer. Ajarannya dikumpulkan dalam buku “Analects”. Beliau mengajarkan pentingnya moralitas, kesesuaian perilaku, dan harmoni sosial. Konfusius menyukai sistem hierarkis dengan pemimpin yang menjadi teladan dan mengembangkan kebajikan (Schuman, 2015). Mencius (372-289 SM) mengembangkan pemikiran Konfusius. Beliau berpendapat bahwa penguasa harus mencontohkan moral yang baik dan pemerintah harus memperhatikan kesejahteraan rakyat (Norden, 2008). Laozi pada abad ke-6 SM memiliki pemikiran yang kontras dengan Konfusius. Beliau memiliki ide Daoisme yang mana setuju dengan intervensi pemerintahan yang minim dan penguasa yang baik sedikit memerintah dan membiarkan rakyat menentukan jalannya sendiri (Meyer, 2012). Xunzi (310-235 SM) berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya egois dan membutuhkan hukum yang ketat serta perlu pendidikan untuk mengembangkan kebajikan. Pemikirannya ini memunculkan konsep Legalisme (Hutton, 2014). Han Feizi (280-233 SM), pengikut Legalisme, mengemukakan ide bahwa negara yang kuat bersifat sentral dan memiliki aturan yang ketat serta konsekuensi hukuman yang tegas (Watson, 2003). Mozi (470-391 SM), pencetus Mohisme, mengemukakan ide cinta yang menyeluruh dan meritokrasi. Beliau berpendapat bahwa penguasa dipilih berdasarkan kemampuan, bukan berdasarkan usia (Fraser, 2016). Zhu Xi (1130-1200 M), pencetus Neo-Konfusianisme, berpendapat bahwa pemikiran Konfusian, Daois, dan Buddhis menekankan pentingnya pengembangan dan integritas moral dalam pemerintahan (Ivanhoe, 2019).

E. Sejarah Teori Politik India

Pada abad ke-6 SM, India dipengaruhi oleh ajaran Buddha, dengan konsep masyarakat tanpa kekerasan, penuh kasih, dan kesejahteraan dalam segala hal. Ajaran ini menekankan tanggung jawab etika oleh penguasa, mendorong penguasa untuk memerintah berdasarkan kebenaran dan ketulusan. Pada abad ke-4, Kautilya atau biasa dikenal Chanakya dalam karyanya “Arthashastra” berpendapat bahwa pemerintah harus memiliki kekuatan dan berupaya untuk mempertahankan kekuasaannya untuk kestabilan masyarakat (Patel, 2020). Pada periode ini, terdapat kisah rakyat Mahabharata dan diceritakan antara 400 SM sampai 400 M. Mahabharata mendalami kompleksitas dharma dan tanggung jawab para penguasa. Dalam “Bhagavad Gita” terdapat dialog antara Pangeran Arjuna dan Krisna terkait tugas dan kepemimpinan. Kemudian kisah Ramayana yang diceritakan dalam rentang waktu 500 - 100 SM menonjolkan peran Rama sebagai raja yang dianggap sebagai pemimpin ideal, yang mana sangat patuh dengan dharma dan menekankan pentingnya kewajiban dalam pemerintahan (Pandey, 2023).

F. Pemikiran Politik Islam 

Al-Farabi (872-950) mengintegrasikan filsafat Yunani dengan pemikiran islam. Beliau mengikuti Aristoteles dalam konsep philosopher-king. Beliau mengemukakan bentuk negara yang ideal dengan istilah “Al-Madina Al-Fadila” (Mahdi, 2001). Al-Mawardi (972-1058) dalam bukunya “Al-Ahkam al-Sultaniyya” menjelaskan tanggung jawab seorang khalifah dan struktur negara Islam (Rosenthal, 2009). Ibnu Khaldun (1332-1406) yang merupakan pionir dalam sosiologi dan sejarah mengulas kebangkitan dan keruntuhan peradaban peradaban dan dinamika kekuasaan politik (Irwin, 2018). Al-Ghazali (1058-1111) dengan bukunya “Ihya’ Ulumuddin”, beliau menyampaikan konsep tasawuf untuk kedamaian batin. Menurutnya seorang pemimpin harus mampu mengembangkan moral dan dimensi spiritual (Frank, 1994). Sayyid Qutb (1906-1966) seorang pemikir modern yang menyukai pendirian negara Islam berdasarkan hukum syari’ah (Calvert, 2010). Ali Shariati (1933-1977), seorang intelektual Iran menggabungkan Marxisme dan Islam, mendukung keadilan sosial dan menekan perubahan politik. 

G. Pemikiran Politik Abad Pertengahan Eropa

St. Augustin (354-430) meletakkan fondasi pada pemikiran politik Eropa Abad Pertengahan yang mengintegrasikan teologi Kristen dengan filsafat klasik. Konsepnya tentang “City of God” menampilkan perbedaan kontras antara kota duniawi dan kota surgawi. Beliau mengemukakan gagasan tentang takdir Tuhan dalam segala urusan manusia (Bettenson, 1972). Boethius (480-524) dengan karyanya “The Consolation of Philosophy” membahas tentang kebahagiaan alamiah dan aturan keberuntungan, mempengaruhi pemikiran abad pertengahan terhadap keadilan dan pemerintahan (Watts, 1999). John of Salisbury (1115-1180) berpendapat dalam karyanya “Policraticus” tentang tanggung jawab penguasa dan pentingnya hukum dalam menjaga urusan sosial (Nederman, 1990). Thomas Aquinas (1225-1274) menggabungkan filsafat Aristoteles dengan teologi Kristen. Karyanya “Summa Theologica” membahas tentang hukum alam, keadilan, dan urusan umum. Marsilius of Padua (1275-1342) mempertanyakan kepausan dan mengemukakan kedaulatan pemimpin sekuler (Gewirt, 1956). William of Ockham (1287-1347) menekankan keterbatasan otoritas Paus dan pentingnya hak individual. Beliau juga mengemukakan ide tentang nominalisme (Kilcullen, 1992).  

H. Pemikiran Politik Renaisans

Niccolò Machiavelli (1469-1527) sering dianggap sebagai bapak ilmu politik modern. Karyanya yang terkenal, “The Prince” mengeksplorasi langkah-langkah pragmatis yang harus diambil seorang penguasa untuk mempertahankan kekuasaan dan stabilitas. Ide-ide Machiavelli menandai pergeseran dari idealisme pemikiran politik abad pertengahan, menekankan realpolitik dan efektivitas kekuasaan di atas pertimbangan moral (Skinner, 2019). Jean Bodin (1530-1596) memperkenalkan konsep kedaulatan dalam karyanya “Six Books of the Commonwealth.” Bodin berpendapat bahwa kekuasaan negara yang berdaulat adalah mutlak dan tidak dapat dibagi, meletakkan dasar bagi teori-teori modern tentang negara dan pemerintahan. Ide-idenya sangat penting selama masa kekacauan agama dan politik di Eropa (Franklin, 2006). Giovanni Pico della Mirandola (1463-1494) dikenal dengan “Oration on the Dignity of Man,” yang sering dianggap sebagai manifesto humanisme Renaisans. Karya Pico menekankan potensi pencapaian manusia dan pentingnya martabat dan kebebasan individu (Pico, 2012). Ide-idenya berkontribusi pada perkembangan pemikiran politik humanis yang menghargai peran individu dalam masyarakat (Copenhaver, 2018). Marsilio Ficino (1433-1499) adalah tokoh kunci dalam kebangkitan Platonisme selama Renaisans. Terjemahan dan komentarnya tentang karya-karya Plato, terutama “The Letters,” mempengaruhi pemikiran politik Renaisans dengan mempromosikan gagasan tentang philosopher-king dan pentingnya kebijaksanaan dalam pemerintahan (Ficino, 2006). Karya Ficino menjembatani filsafat klasik dan humanisme Renaisans (Kristeller, 2003). Giordano Bruno (1548-1600) menantang tatanan yang ada dengan ide-idenya tentang kosmologi dan ketakterbatasan, yang memiliki implikasi politik. Dalam karya-karya seperti “On the Infinite Universe and Worlds,” Bruno berargumen untuk pluralitas dunia dan potensi tak terbatas dari alam semesta, secara tidak langsung mempertanyakan struktur kekuasaan terpusat pada zamannya (Bruno, 2014).

I. Filosofi Politik Masa Pencerahan

Pada abad ke-17 dan ke-18, pemikiran politik Masa Pencerahan menekankan pentingnya kebebasan individu, kesetaraan, dan rasionalitas dalam membentuk masyarakat yang lebih baik. John Locke (1632-1704) menekankan hak-hak dasar seperti kebebasan berbicara, beragama, dan berpikir, yang menentang kekuasaan absolut dan otoritas agama karena mengekang kebebasan pribadi (Tuckness, 2010). Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) mengemukakan bahwa semua manusia dilahirkan setara dan harus diperlakukan sama di depan hukum, menolak diskriminasi dan ketidakadilan sosial, serta mendukung hak-hak sipil dan politik yang sama bagi semua orang (Bertram, 2012). Immanuel Kant (1724-1804) menyampaikan penggunaan akal dan metode ilmiah untuk memahami dunia dan memecahkan masalah sosial, menolak takhayul dan dogma, serta mendorong pendidikan dan penyebaran pengetahuan (Guyer, 2006). Montesquieu (1689-1755) menekankan bahwa kekuasaan pemerintah harus berasal dari persetujuan rakyat, mendukung demokrasi dan pemerintahan yang representatif di mana keputusan diambil berdasarkan kehendak mayoritas (Cohler, 1989). Voltaire (1694-1778) menekankan pentingnya toleransi terhadap berbagai keyakinan dan praktik keagamaan, menolak intoleransi dan penganiayaan agama, serta mendukung kebebasan beragama sebagai hak dasar manusia (Gray, 2000). John Rawls (1921-2002) menekankan pentingnya distribusi yang adil dari sumber daya dan kesempatan dalam masyarakat, mendukung kebijakan yang mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi, serta memastikan kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat (Freeman, 2007). 

J. Teori Kontrak Sosial

Teori kontrak sosial adalah konsep yang menjelaskan asal-usul dan legitimasi otoritas pemerintah berdasarkan kesepakatan atau kontrak antara individu dalam masyarakat. Beberapa prinsip dari teori ini yaitu sebagai berikut. 1) Keadaan alamiah menggambarkan kondisi manusia sebelum adanya pemerintahan atau hukum. Dalam keadaan ini, individu memiliki kebebasan penuh tetapi juga menghadapi ketidakpastian dan bahaya. Keadaan alamiah ini sering digunakan untuk menunjukkan perlunya pembentukan kontrak sosial untuk menciptakan ketertiban dan keamanan (Hampton, 1986); 2) Hak-hak Alamiah menekankan bahwa setiap individu memiliki hak-hak dasar yang tidak dapat dicabut seperti hak atas kehidupan, kebebasan, dan properti. Pemerintah dibentuk untuk melindungi hak-hak ini dan legitimasi pemerintah bergantung pada kemampuannya untuk melakukannya (Tuckness, 2010); 3) Kontrak sosial adalah inti dari teori di mana individu secara sukarela setuju untuk membentuk masyarakat dan pemerintahan melalui kesepakatan bersama. Kontrak ini melibatkan penyerahan sebagian kebebasan individu kepada otoritas yang lebih besar untuk mendapatkan perlindungan dan manfaat kolektif (Bertram, 2012); 4) Kehendak umum menekankan bahwa keputusan dan hukum dalam masyarakat harus mencerminkan kehendak umum atau kepentingan kolektif semua masyarakat. Pemerintah yang sah adalah yang bertindak sesuai dengan kehendak umum ini bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu (Bertram, 2012); 5) Keadilan mengusulkan bahwa aturan dan kebijakan dalam masyarakat harus adil dan merata bagi semua individu. Dalam “original position” di balik “veil of ignorance” individu akan memilih prinsip-prinsip keadilan yang memastikan distribusi yang adil dari hak dan sumber daya tanpa mengetahui posisi mereka dalam masyarakat (Freeman, 2007).

K. Konsep Utilitarianisme

Teori utilitarianisme adalah konsep yang menekankan bahwa tindakan atau kebijakan yang benar adalah yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak. Beberapa prinsip dari teori ini yaitu sebagai berikut. 1) Prinsip utilitas menekankan bahwa tindakan atau kebijakan harus dinilai berdasarkan kemampuan untuk memaksimalkan kebahagiaan atau kesejahteraan (Mill, 2001); 2) Hedonisme sebagai teori nilai menyatakan bahwa kebahagiaan atau kesejahteraan diukur berdasarkan pengalaman kesenangan dan ketiadaan rasa sakit. Hedonisme ini menjadi dasar bagi penilaian utilitarian tentang apa yang baik atau buruk (Crisp, 1997); 3) Kalkulus felicific adalah metode untuk menghitung nilai moral dari suatu tindakan dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti intensitas durasi kepastian dan jangkauan kebahagiaan yang dihasilkan kalkulus ini membantu dalam menentukan tindakan mana yang akan menghasilkan kebahagiaan terbesar (Bentham, 1988); 4) Egalitarianisme menekankan bahwa setiap individu harus dipertimbangkan secara setara dalam perhitungan kebahagiaan total. Tidak ada preferensi yang diberikan kepada individu tertentu sehingga setiap orang memiliki hak yang sama untuk kebahagiaan (Singer, 2011); 5) Konsekuensialisme adalah prinsip yang menyatakan bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh konsekuensi yang dihasilkannya. Bukan niat atau motif yang penting tetapi hasil akhir dari tindakan tersebut (Smart, 1973).

L. Teori Politik Marxisme

Teori Marxisme adalah konsep yang menekankan analisis kelas sosial, konflik, dan materialisme historis sebagai dasar untuk memahami perkembangan masyarakat dan perubahan sosial. Beberapa prinsip dari teori ini yaitu sebagai berikut. 1) Materialisme historis menekankan bahwa perkembangan sejarah manusia ditentukan oleh kondisi material dan ekonomi. Perubahan dalam cara produksi dan hubungan produksi adalah pendorong utama perubahan sosial dan politik (McLellan, 2006); 2) Kelas sosial dan konflik kelas menyatakan bahwa masyarakat terbagi menjadi kelas-kelas yang berbeda berdasarkan hubungan mereka dengan alat produksi. Konflik antara kelas-kelas ini, terutama antara borjuasi (pemilik modal) dan proletariat (kelas pekerja), adalah inti dari dinamika sosial (Wright, 2005); 4) Revolusi proletariat mengusulkan bahwa perubahan sosial yang signifikan hanya dapat terjadi melalui revolusi di mana kelas pekerja menggulingkan kelas kapitalis dan mendirikan masyarakat tanpa kelas (Callinicos, 2010); 5) Diktatur Proletariat adalah konsep di mana setelah revolusi, kelas pekerja memegang kekuasaan politik untuk menghapuskan sisa-sisa kapitalisme dan membangun sosialisme (Draper, 1986); 6) Komunisme adalah tahap akhir perkembangan sosial di mana tidak ada kelas sosial, negara, atau kepemilikan pribadi atas alat produksi. Semua sumber daya dan kekayaan didistribusikan secara merata berdasarkan kebutuhan (Eagleton, 2011). 

M. Konsep Liberalisme

Teori liberalisme adalah konsep yang menekankan kebebasan individu, hak asasi manusia, dan pemerintahan berdasarkan hukum. Beberapa prinsip dari teori ini yaitu sebagai berikut. 1) Kebebasan individu menekankan bahwa setiap individu memiliki hak untuk kebebasan pribadi, termasuk kebebasan berbicara, beragama, dan berkumpul. Kebebasan ini dianggap sebagai hak dasar yang harus dilindungi oleh pemerintah (Wolff, 1996); 2) Hak Asasi Manusia (HAM) menekankan bahwa setiap individu memiliki hak-hak yang tidak dapat dicabut, seperti hak atas kehidupan, kebebasan, dan keamanan. Hak-hak ini harus dijamin oleh hukum dan dihormati oleh semua pihak (Sandel, 2008); 3) Pemerintahan berdasarkan hukum menekankan bahwa pemerintah harus bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku dan tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Prinsip ini memastikan bahwa kekuasaan pemerintah dibatasi dan diatur oleh hukum (Ryan, 2012); 4) Demokrasi menekankan bahwa kekuasaan pemerintah harus berasal dari persetujuan rakyat melalui proses pemilihan yang bebas dan adil. Demokrasi memastikan bahwa pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat dan keputusan diambil berdasarkan kehendak mayoritas (Stanton, 2007); 5) Toleransi menekankan pentingnya menghormati dan menerima perbedaan pendapat, keyakinan, dan praktik dalam masyarakat. Toleransi ini mendukung keragaman dan mencegah diskriminasi (Kampfner, 2024).

N. Pemikiran Politik Setelah Kolonialisme

Edward Said (1935-2003) dalam karyanya “Orientalism” menekankan bagaimana Barat membentuk pandangan stereotip tentang Timur untuk membenarkan dominasi kolonial. Said mengkritik cara pandang ini dan menunjukkan bagaimana pengetahuan dan kekuasaan saling terkait (Ashcroft, 2001). Gayatri Chakravorty Spivak dalam esainya “Can the Subaltern Speak?” menekankan bahwa suara-suara dari kelompok yang terpinggirkan sering kali diabaikan atau disalahartikan oleh narasi dominan. Spivak mengajak untuk mendengarkan dan memahami perspektif dari mereka yang berada di pinggiran (Morton, 2007). Homi K. Bhabha dalam karyanya “The Location of Culture” menekankan konsep hibriditas, di mana identitas budaya tidak statis tetapi terus-menerus dibentuk dan diubah melalui interaksi antara budaya kolonial dan budaya yang dijajah. Bhabha menunjukkan bagaimana hibriditas ini dapat menjadi sumber resistensi terhadap dominasi kolonial (Rutherford, 1990). Frantz Fanon (1925-1961) dalam bukunya “The Wretched of the Earth” menekankan pentingnya perjuangan dekolonisasi dan bagaimana kolonialisme mempengaruhi psikologi individu dan masyarakat yang dijajah. Fanon mengajak untuk memahami dan melawan dampak psikologis dan sosial dari kolonialisme (Gibson, 2003). Ngũgĩ wa Thiong’o dalam karyanya “Decolonising the Mind” menekankan pentingnya bahasa dan budaya dalam proses dekolonisasi. Ngũgĩ mengajak untuk menggunakan bahasa dan budaya lokal sebagai alat perlawanan terhadap dominasi kolonial (Gikandi, 2000).

O. Teori Politik Feminisme

Teori feminisme adalah konsep yang menekankan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Beberapa prinsip dari teori ini yaitu sebagai berikut. 1) Kesetaraan gender menekankan bahwa laki-laki dan perempuan harus memiliki hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama dalam semua bidang kehidupan (Hooks, 2000); 2) Patriarki sebagai sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai penguasa utama dan perempuan sebagai subordinat. Teori feminisme berusaha untuk mengkritik dan mengubah struktur patriarki ini (Walby, 1990); 3) Interseksionalitas adalah konsep yang mengakui bahwa pengalaman perempuan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ras, kelas, dan orientasi seksual. Interseksionalitas membantu dalam memahami kompleksitas penindasan yang dialami oleh perempuan (Crenshaw, 1989); 4) Otonomi tubuh menekankan bahwa perempuan harus memiliki kontrol penuh atas tubuh mereka sendiri, termasuk hak untuk membuat keputusan tentang kesehatan reproduksi dan seksual (Davis, 2016); 5) Pemberdayaan perempuan adalah prinsip yang mendorong perempuan untuk mengambil peran aktif dalam masyarakat dan politik, serta untuk mengembangkan potensi mereka sepenuhnya (Nussbaum, 2000).

P. Politik dan Pemerintahan Global

Pemikiran politik global adalah konsep yang menekankan pentingnya kerjasama internasional dan peran lembaga-lembaga global seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam menjaga perdamaian dan keamanan dunia. Beberapa prinsip dari teori ini yaitu sebagai berikut. 1) Multilateralisme menekankan bahwa negara-negara harus bekerja sama melalui lembaga-lembaga internasional untuk mengatasi masalah global seperti perubahan iklim, konflik, dan kemiskinan (Weiss, 2018); 2) Kedaulatan negara adalah prinsip yang mengakui hak setiap negara untuk mengatur urusan dalam negerinya sendiri tanpa campur tangan dari negara lain, namun dalam konteks global, kedaulatan ini sering kali harus disesuaikan dengan kebutuhan kerjasama internasional (Krasner, 1999); 4) Pembangunan berkelanjutan adalah konsep yang menekankan pentingnya pembangunan ekonomi yang tidak merusak lingkungan dan dapat memenuhi kebutuhan generasi mendatang (Sachs, 2015); 5) Keamanan kolektif adalah prinsip yang menyatakan bahwa keamanan suatu negara bergantung pada keamanan semua negara, dan PBB berfungsi sebagai platform untuk mengkoordinasikan upaya-upaya keamanan global (Claude, 1984).

Q. Sejarah Pemikiran Demokrasi

Teori demokrasi adalah konsep yang menekankan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan politik dan pemerintahan. Plato (427-347 SM) dalam buk mengkritik demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang tidak stabil dan cenderung menuju tirani, namun ia juga mengakui pentingnya partisipasi rakyat dalam pemerintahan (Annas, 2003). Aristoteles (384-322 SM) menyatakan bahwa demokrasi adalah salah satu bentuk pemerintahan yang baik jika dijalankan dengan benar, dengan menekankan pentingnya hukum dan keadilan (Miller, 1995). John Locke (1632-1704) dalam “Two Treatises of Government” menekankan bahwa pemerintahan yang sah harus didasarkan pada persetujuan rakyat dan hak-hak individu harus dilindungi (Tully, 1982). Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) dalam “The Social Contract” mengemukakan konsep kedaulatan rakyat dan kehendak umum sebagai dasar dari pemerintahan demokratis (Bertram, 2012). John Stuart Mill (1806-1873) dalam “On Liberty” menekankan pentingnya kebebasan individu dan partisipasi aktif dalam proses politik sebagai elemen kunci dari demokrasi (Ryan, 1998). Robert Dahl (1915-2014) dalam “Democracy and Its Critics” mengembangkan teori demokrasi pluralis yang menekankan pentingnya partisipasi dan persaingan politik dalam sistem demokratis (Shapiro, 2003). Prinsip-prinsip dalam demokrasi yaitu sebagai berikut. 

R. Prinsip - Prinsip Demokrasi 

 Teori demokrasi adalah konsep yang menekankan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan politik dan pemerintahan. Beberapa prinsip dari teori ini yaitu sebagai berikut. 1) Kedaulatan rakyat menekankan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dan pemerintah harus bertindak sesuai dengan kehendak rakyat (Dahl, 2006); 2) Kebebasan politik adalah prinsip yang menjamin hak individu untuk berpartisipasi dalam proses politik, termasuk kebebasan berbicara, berkumpul, dan berpendapat (Berlin, 2002); 3) Kesetaraan politik menekankan bahwa setiap individu memiliki hak yang sama dalam proses politik, termasuk hak untuk memilih dan dipilih tanpa diskriminasi (Rawls, 1999); 4) Akuntabilitas pemerintah adalah prinsip yang menyatakan bahwa pemerintah harus bertanggung jawab kepada rakyat atas tindakan dan kebijakannya, serta harus transparan dalam pengambilan keputusan (Held, 2006); 5) Pluralisme adalah konsep yang mengakui keberagaman pandangan dan kepentingan dalam masyarakat, dan demokrasi harus mencerminkan dan mengakomodasi keberagaman ini (Mouffe, 2000).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun