Mohon tunggu...
Muhammad Luthfi Azmi
Muhammad Luthfi Azmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - -

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori Politik Klasik dan Demokrasi

8 Oktober 2024   00:17 Diperbarui: 8 Oktober 2024   00:17 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada abad ke-6 SM, India dipengaruhi oleh ajaran Buddha, dengan konsep masyarakat tanpa kekerasan, penuh kasih, dan kesejahteraan dalam segala hal. Ajaran ini menekankan tanggung jawab etika oleh penguasa, mendorong penguasa untuk memerintah berdasarkan kebenaran dan ketulusan. Pada abad ke-4, Kautilya atau biasa dikenal Chanakya dalam karyanya “Arthashastra” berpendapat bahwa pemerintah harus memiliki kekuatan dan berupaya untuk mempertahankan kekuasaannya untuk kestabilan masyarakat (Patel, 2020). Pada periode ini, terdapat kisah rakyat Mahabharata dan diceritakan antara 400 SM sampai 400 M. Mahabharata mendalami kompleksitas dharma dan tanggung jawab para penguasa. Dalam “Bhagavad Gita” terdapat dialog antara Pangeran Arjuna dan Krisna terkait tugas dan kepemimpinan. Kemudian kisah Ramayana yang diceritakan dalam rentang waktu 500 - 100 SM menonjolkan peran Rama sebagai raja yang dianggap sebagai pemimpin ideal, yang mana sangat patuh dengan dharma dan menekankan pentingnya kewajiban dalam pemerintahan (Pandey, 2023).

F. Pemikiran Politik Islam 

Al-Farabi (872-950) mengintegrasikan filsafat Yunani dengan pemikiran islam. Beliau mengikuti Aristoteles dalam konsep philosopher-king. Beliau mengemukakan bentuk negara yang ideal dengan istilah “Al-Madina Al-Fadila” (Mahdi, 2001). Al-Mawardi (972-1058) dalam bukunya “Al-Ahkam al-Sultaniyya” menjelaskan tanggung jawab seorang khalifah dan struktur negara Islam (Rosenthal, 2009). Ibnu Khaldun (1332-1406) yang merupakan pionir dalam sosiologi dan sejarah mengulas kebangkitan dan keruntuhan peradaban peradaban dan dinamika kekuasaan politik (Irwin, 2018). Al-Ghazali (1058-1111) dengan bukunya “Ihya’ Ulumuddin”, beliau menyampaikan konsep tasawuf untuk kedamaian batin. Menurutnya seorang pemimpin harus mampu mengembangkan moral dan dimensi spiritual (Frank, 1994). Sayyid Qutb (1906-1966) seorang pemikir modern yang menyukai pendirian negara Islam berdasarkan hukum syari’ah (Calvert, 2010). Ali Shariati (1933-1977), seorang intelektual Iran menggabungkan Marxisme dan Islam, mendukung keadilan sosial dan menekan perubahan politik. 

G. Pemikiran Politik Abad Pertengahan Eropa

St. Augustin (354-430) meletakkan fondasi pada pemikiran politik Eropa Abad Pertengahan yang mengintegrasikan teologi Kristen dengan filsafat klasik. Konsepnya tentang “City of God” menampilkan perbedaan kontras antara kota duniawi dan kota surgawi. Beliau mengemukakan gagasan tentang takdir Tuhan dalam segala urusan manusia (Bettenson, 1972). Boethius (480-524) dengan karyanya “The Consolation of Philosophy” membahas tentang kebahagiaan alamiah dan aturan keberuntungan, mempengaruhi pemikiran abad pertengahan terhadap keadilan dan pemerintahan (Watts, 1999). John of Salisbury (1115-1180) berpendapat dalam karyanya “Policraticus” tentang tanggung jawab penguasa dan pentingnya hukum dalam menjaga urusan sosial (Nederman, 1990). Thomas Aquinas (1225-1274) menggabungkan filsafat Aristoteles dengan teologi Kristen. Karyanya “Summa Theologica” membahas tentang hukum alam, keadilan, dan urusan umum. Marsilius of Padua (1275-1342) mempertanyakan kepausan dan mengemukakan kedaulatan pemimpin sekuler (Gewirt, 1956). William of Ockham (1287-1347) menekankan keterbatasan otoritas Paus dan pentingnya hak individual. Beliau juga mengemukakan ide tentang nominalisme (Kilcullen, 1992).  

H. Pemikiran Politik Renaisans

Niccolò Machiavelli (1469-1527) sering dianggap sebagai bapak ilmu politik modern. Karyanya yang terkenal, “The Prince” mengeksplorasi langkah-langkah pragmatis yang harus diambil seorang penguasa untuk mempertahankan kekuasaan dan stabilitas. Ide-ide Machiavelli menandai pergeseran dari idealisme pemikiran politik abad pertengahan, menekankan realpolitik dan efektivitas kekuasaan di atas pertimbangan moral (Skinner, 2019). Jean Bodin (1530-1596) memperkenalkan konsep kedaulatan dalam karyanya “Six Books of the Commonwealth.” Bodin berpendapat bahwa kekuasaan negara yang berdaulat adalah mutlak dan tidak dapat dibagi, meletakkan dasar bagi teori-teori modern tentang negara dan pemerintahan. Ide-idenya sangat penting selama masa kekacauan agama dan politik di Eropa (Franklin, 2006). Giovanni Pico della Mirandola (1463-1494) dikenal dengan “Oration on the Dignity of Man,” yang sering dianggap sebagai manifesto humanisme Renaisans. Karya Pico menekankan potensi pencapaian manusia dan pentingnya martabat dan kebebasan individu (Pico, 2012). Ide-idenya berkontribusi pada perkembangan pemikiran politik humanis yang menghargai peran individu dalam masyarakat (Copenhaver, 2018). Marsilio Ficino (1433-1499) adalah tokoh kunci dalam kebangkitan Platonisme selama Renaisans. Terjemahan dan komentarnya tentang karya-karya Plato, terutama “The Letters,” mempengaruhi pemikiran politik Renaisans dengan mempromosikan gagasan tentang philosopher-king dan pentingnya kebijaksanaan dalam pemerintahan (Ficino, 2006). Karya Ficino menjembatani filsafat klasik dan humanisme Renaisans (Kristeller, 2003). Giordano Bruno (1548-1600) menantang tatanan yang ada dengan ide-idenya tentang kosmologi dan ketakterbatasan, yang memiliki implikasi politik. Dalam karya-karya seperti “On the Infinite Universe and Worlds,” Bruno berargumen untuk pluralitas dunia dan potensi tak terbatas dari alam semesta, secara tidak langsung mempertanyakan struktur kekuasaan terpusat pada zamannya (Bruno, 2014).

I. Filosofi Politik Masa Pencerahan

Pada abad ke-17 dan ke-18, pemikiran politik Masa Pencerahan menekankan pentingnya kebebasan individu, kesetaraan, dan rasionalitas dalam membentuk masyarakat yang lebih baik. John Locke (1632-1704) menekankan hak-hak dasar seperti kebebasan berbicara, beragama, dan berpikir, yang menentang kekuasaan absolut dan otoritas agama karena mengekang kebebasan pribadi (Tuckness, 2010). Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) mengemukakan bahwa semua manusia dilahirkan setara dan harus diperlakukan sama di depan hukum, menolak diskriminasi dan ketidakadilan sosial, serta mendukung hak-hak sipil dan politik yang sama bagi semua orang (Bertram, 2012). Immanuel Kant (1724-1804) menyampaikan penggunaan akal dan metode ilmiah untuk memahami dunia dan memecahkan masalah sosial, menolak takhayul dan dogma, serta mendorong pendidikan dan penyebaran pengetahuan (Guyer, 2006). Montesquieu (1689-1755) menekankan bahwa kekuasaan pemerintah harus berasal dari persetujuan rakyat, mendukung demokrasi dan pemerintahan yang representatif di mana keputusan diambil berdasarkan kehendak mayoritas (Cohler, 1989). Voltaire (1694-1778) menekankan pentingnya toleransi terhadap berbagai keyakinan dan praktik keagamaan, menolak intoleransi dan penganiayaan agama, serta mendukung kebebasan beragama sebagai hak dasar manusia (Gray, 2000). John Rawls (1921-2002) menekankan pentingnya distribusi yang adil dari sumber daya dan kesempatan dalam masyarakat, mendukung kebijakan yang mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi, serta memastikan kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat (Freeman, 2007). 

J. Teori Kontrak Sosial

Teori kontrak sosial adalah konsep yang menjelaskan asal-usul dan legitimasi otoritas pemerintah berdasarkan kesepakatan atau kontrak antara individu dalam masyarakat. Beberapa prinsip dari teori ini yaitu sebagai berikut. 1) Keadaan alamiah menggambarkan kondisi manusia sebelum adanya pemerintahan atau hukum. Dalam keadaan ini, individu memiliki kebebasan penuh tetapi juga menghadapi ketidakpastian dan bahaya. Keadaan alamiah ini sering digunakan untuk menunjukkan perlunya pembentukan kontrak sosial untuk menciptakan ketertiban dan keamanan (Hampton, 1986); 2) Hak-hak Alamiah menekankan bahwa setiap individu memiliki hak-hak dasar yang tidak dapat dicabut seperti hak atas kehidupan, kebebasan, dan properti. Pemerintah dibentuk untuk melindungi hak-hak ini dan legitimasi pemerintah bergantung pada kemampuannya untuk melakukannya (Tuckness, 2010); 3) Kontrak sosial adalah inti dari teori di mana individu secara sukarela setuju untuk membentuk masyarakat dan pemerintahan melalui kesepakatan bersama. Kontrak ini melibatkan penyerahan sebagian kebebasan individu kepada otoritas yang lebih besar untuk mendapatkan perlindungan dan manfaat kolektif (Bertram, 2012); 4) Kehendak umum menekankan bahwa keputusan dan hukum dalam masyarakat harus mencerminkan kehendak umum atau kepentingan kolektif semua masyarakat. Pemerintah yang sah adalah yang bertindak sesuai dengan kehendak umum ini bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu (Bertram, 2012); 5) Keadilan mengusulkan bahwa aturan dan kebijakan dalam masyarakat harus adil dan merata bagi semua individu. Dalam “original position” di balik “veil of ignorance” individu akan memilih prinsip-prinsip keadilan yang memastikan distribusi yang adil dari hak dan sumber daya tanpa mengetahui posisi mereka dalam masyarakat (Freeman, 2007).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun