Mohon tunggu...
Mohammad Lutfi
Mohammad Lutfi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tenaga pengajar dan penjual kopi

Saya sebenarnya tukang penjual kopi yang lebih senang mengaduk ketimbang merangkai kata. Menulis adalah keisengan mengisi waktu luang di sela-sela antara kopi dan pelanggan. Entah kopi atau tulisan yang disenangi pelanggan itu tergantung selera, tapi jangan lupa tinggalkan komentar agar kopi dan tulisan tersaji lebih nikmat. Catatannya, jika nikmat tidak usah beri tahu saya tapi sebarkan. Jika kurang beri tahu saya kurangnya dan jangan disebarkan. Salam kopi joss

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sastra Anak, Media Pendidikan Karakter di Rumah

30 November 2022   11:23 Diperbarui: 30 November 2022   12:04 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ibu membacakan cerita untuk anak (Thinkstockphotos via Kompas.com)

Moral anak bangsa masih menjadi persoalan serius di negeri ini. Bukannya semakin membaik, persoalan moral anak bangsa justeru menuju ke arah sebaliknya. Degradasi menjadi kata yang sering muncul dan didengar di berbagai kesempatan bersanding dengan kata moral sehingga membentuk istilah 'degradasi moral'. Tentu, istilah ini bukanlah istilah yang baik bagi bangsa yang menjunjung tinggi adat ketimuran yang terkenal dengan sopan santun dan budi luhurnya.

Degradasi moral dapat diartikan sebagai kemerosotan moral atau budi pekerti yang terjadi pada diri seseorang atau kelompok. Degradasi moral ditandai dengan perilaku seseorang atau kelompok yang menyimpang dari nilai-nilai luhur yang berlaku dalam kehidupan. Contoh-contoh fenemona ini dapat dilihat dan didengar dari berbagai media, misalnya tawuran, bullying, kekerasan, pembegalan, pencurian, pembunuhan dan sebagainya yang seolah tidak ada habisnya untuk diberitakan setiap saat.

Catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia menyatakan naik turun tindak kekerasan yang terjadi di negara ini. Peta sebaran jumlah kasus kekerasan menurut provinsi pada tahun 2017 menunjukkan 21.027 kasus tindak kekerasan, tahun 2018 terdapat 21.666 kasus, tahun 2019 terdapat 20.531 kasus, tahun 2020 terdapat 20.501 kasus, tahun 2021 terdapat 25.210 kasus dan tahun 2022 data terakhir menunjukkan terdapat 22.778 kasus. Catatan KEMENPPPA juga mencatat tindak kekerasan lebih banyak terjadi pada perempuan. Misalnya pada catatan tahun 2022, KEMENPPPA mencatat sebanyak 3.722 korban laki-laki dan 20.765 korban perempuan. (kekerasan.kemenpppa.go.id)

Perilaku-perilaku menyimpang akibat degradasi moral seperti yang telah disebutkan di atas dalam ilmu sosial disebut dengan patologi sosial. Kartini Kartono (2011) mengartikan patologi sosial merupakan semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas keluarga, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan, dan juga hukum formal. Berbagai faktor menyelimuti masalah moral ini, seperti keluarga, lingkungan, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Degradasi moral yang terjadi saat ini telah membuat cemas. Setiap kalangan bertanya-tanya bagaimana nasib bangsa ini di masa depan jika masalah moral ini tidak diatasi dari sekarang. Menjawab persoalan maka kita tidak bisa lepas dari yang namanya pendidikan karakter. Pendidikan karakter dapat menjadi obat dari masalah degradasi moral saat ini, lebih-lebih dalam pendidikan keluarga.

Keluarga sebagai taman pendidikan pertama yang dikenal anak memiliki peran penting dalam mengikat kuat akar pendidikan karakter anak. Sejak dini keluarga dapat menanamkan karakter positif yang dapat diimplementasikan oleh dalam kehidupan sehari-hari dan masyarakat nanti. Sejak dini pula keluarga harus menyiapkan bekal yang cukup perihal karakter yang dapat menjadi tameng atau pengekang saat anak hendak berbuat di luar nilai yang seharusnya.

Pendidikan dalam keluarga akan berbeda dengan pendidikan di sekolah. Pendidikan keluarga tidak terikat dengan kurikulum. Namun, lebih mengarah pada pendekatan orang tua terhadap anak yang terwujud dalam kasih sayang. Pendapat ini sejalan dengan pernyataan Ratnawati Sukardi (2017) yang menyatakan bahwa pendidikan karakter dalam keluarga memiliki corak kekhasan berbeda halnya dengan pendidikan nilai dalam sekolah. Pendidikan dalam lingkungan keluarga berjalan bukan atas dasar tatanan ketentuan yang diformalkan, melaikan tumbuh dari kesadaran moral antara orang tua dan anaknya.

Meskipun berbeda antara pendidikan di rumah dengan pendidikan di sekolah, penanaman pendidikan karakter dalam rumah tangga dapat dilakukan dengan beragam metode dan media yang disesuaikan dengan perkembangan anak. Misalnya, orang tua dapat menggunakan metode ceramah, nasihat dan bercerita. Selain itu media juga dapat dipilih orang tua agar anak merasa tertarik jika diajar tentang pendidikan karakter, misal buku-buku yang mengandung nilai karakter, media sosial, media audio visual, dan sastra anak.

Sastra Sebagai Media Pendidikan Karakter Anak dalam Keluarga

Keluarga merupakan unit dalam kehidupan masyarakat yang terdiri dari pasangan suami yang hidup di bawah atap yang sama. Keluarga memiliki peran dan fungsi yang besar dalam penanaman pendidikan karakter anak di rumah. Mengutip pendapat Dobbert dan Winkler (dalam Purwaningsih, 2010), ada empat fungsi dan peran keluarga yang sangat strategis dan penting, yakni membantu rekayasa pendidikan nilai dalam bentuk hadinya proses. Fungsi tersebut meliputi identifikasi proses, internalisasi proses, proses pemodelan, dan produksi langsung.

Penguatan pendidikan karakter anak berbeda dengan orang dewasa. Anak-anak memiliki keunikan tersendiri yang menuntut cara unik pula dalam proses penanaman nilai karakter dalam diri anak. Anak berusia dua tahun dengan anak berusia enam tahun akan berbeda cara dalam menerima dan memahami stimulus kehidupan. Anak usia dua tahun yang masih belum memahami tulisan akan lebih senang jika dibacakan atau diceritakan. Sementara itu, anak usia enam tahun sudah mampu memahami tulisan, sudah dapat disuguhkan tulisan ringan bergambar.

Dunia anak merupakan dunia paling menyenangkan, sebab pada fase ini, anak lebih senang bermain dan serba ingin tahu dan mencoba. Pada fase ini juga disebut masa emas anak. Anak akan mengalami pertumbuhan otak secara maksimal diikuti juga dengan pertumbuhan fisik. Selain itu, pada masa emas anak akan mengalami perkembangan kepribadian dan pembentukan pola tingkah laku dan emosi yang nantinya melekat pada diri anak. Oleh karena itu, pada fase inilah orang tua secara disiplin dapat menanamkan pendidikan karakter untuk membentuk kepribadian anak. Setelah itu orang tua juga dapat memberikan penguatan pasca masa emas anak berakhir.

Penanaman dan penguatan pendidikan karakter yang dilakukan orang tua sebagaimana telah disinggung di atas dapat menggunakan media sastra. Sastra merupakan citra kehidupan yang bermakna dan ditransformasi ke dalam simbol-simbol bahasa yang khas dan berbeda dengan bahasa nonsastra. Sebagai citra kehidupan, sastra tentunya memberikan gambaran tentang kehidupan, pola tingkah laku, adat istiadat dan sebagainya yang dapat diambil sari maknanya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sejalan dengan pendapat di atas, Saxby (dalam Nurgiyantoro, 2010) mengatakan sastra anak adalah citraan dan atau metafora kehidupan yang disampaikan kepada anak yang melibatkan baik aspek emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, maupun pengalaman moral, dan diekspresikan dalam bentuk-bentuk kebahasaan yang dapat dijangkau dan dipahami oleh pembaca anak-anak. Lebih lanjut Nurgiyantoro (2010) menyebutkan bahwa cakupan sastra anak membentang luas sekali, atau yang lazim dikenal sebagai genre, bahkan melebih cakupan sastra dewasa. Ia bersifat lisan, tertulis, bahkan juga aktivitas.

Pengenalan sastra sebenarnya telah sering dilakukan orang tua pada anaknya sejak dulu kala. Kita dapat melihat dan mengingat dulu saat orang tua kita bercerita di samping anaknya sebelum tidur. Selain bercerita, kita sering mendengar orang tua bernyanyi sambil menggendong anak yang sedang menangis guna untuk menghibur. Bercerita dan bernyanyi seperti yang dilakukan seorang ibu secara tidak langsung si ibu telah mengenalkan sastra pada anak. Melalui cerita dan nyanyian yang dipilih dengan baik, sejatinya si ibu juga telah menanamkan pendidikan karakter dalam diri anak.

Penanaman karakter melalui media sastra dalam diri anak dapat dilakukan sesuai dengan fungsi keluarga yang telah dikemukakan di atas. Proses identifikasi dalam artian proses memilih dan memahami nilai, orang tua dapat memilihkan cerita-cerita yang mengajarkan karakter positif dengan cara membaca terlebih dahulu buku cerita atau jenis sastra lainnya sebelum disuguhkan kepada anak. Dari proses identifikasi ini orang tua dapat mengetahui cerita yang layak atau tidak layak, sebab terdapat pula buku-buku cerita yang justru tidak bermuatan pendidikan karakter. Beragam sastra anak dapat dipilih orang tua seperti buku-buku cerita yang berbentuk cerita bergambar, dongeng, fabel, legenda dan mitos.

Internalisasi merupakan proses dimana nilai-nilai diserap dan dibatinkan di dalam diri anak, sehingga menjadi sistem nilai atau tatanan. Sastra sebagai media memiliki peranan penting dalam proses internalisasi atau penanaman nilai dalam diri anak. Buku-buku cerita yang menampilkan tokoh, alur dan watak secara tidak langsung nantinya akan memberikan perubahan perasaan dalam diri anak. Misalnya saja dalam cerita Malin Kundang, anak-anak akan diajarkan tidak memiliki sifat pemarah, angkuh, dan durhaka kepada orang tua. Jika memiliki sifat-sifat tersebut justeru akan merugikan diri sendiri.

Sastra yang sifatnya memberikan kesenangan akan memengaruhi perasaan pembaca atau pendengarnya. Jadi, jangan heran jika melihat anak-anak berlakon selayaknya apa yang dilihat di televisi atau diceritakan oleh orang tua. Bahkan, bukan hanya anak-anak, orang tua terkadang akan ikut iba dan menangis ketika tokoh utama dalam sinetron di televisi mengalami kesulitan atau diperlakukan semena-mena oleh tokoh antagonis. Orang tua juga kemudian akan meniru karakter tokoh utama dalam sinetron tersebut yang kemudia bisa saja ditularkan kepada anak melalui nasihat-nasihat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa internalisasi nilai dalam diri anak-anak akan diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses ini anak disebut mengalami proses pemodelan.

Setelah proses pemodelan anak-anak akan mengalami proses tertanam kuatnya nilai dalam diri. Nilai-nilai yang diserap dari tokoh-tokoh dalam karya sastra kemudian akan terus melekat dalam diri anak-anak. Hal inilah yang diharapkan oleh orang tua yang selanjutnya dapat dilakukan penguatan nilai sehingga anak terbiasa berperilaku posistif dalam kehidupan (produksi nilai). Penyajian sastra anak dapat dilakukan secara berkalanjutan dalam proses ini agar anak tetap memeroleh penguatan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun