News liputan6.com
Analisa Hubungan Kasus Marsinah
Terhadap pelanggaran Sila Pancasila Ke-2 Dan 5
PENDAHULUAN
 Pancasila adalah dasar ideologi negara Indonesia dan terdiri dari 5 prinsip atau perintah. Kata Pancasila berasal dari Bahasa sansekerta, dimana panca yang berati lima dan sila berarti asas. Pancasila secara resmi diadopsi sebagai dasar negara dalam pembukaan UUD 45.
Pancasila adalah pedoman moral dan prinsip inti yang menjadi dasar bangunan dan pemerintahan negara Indonesia. Demokrasi melahirkan kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, melaksanakan demokrasi dengan memberdayakan rakyat untuk mengambil keputusan dan memilih pemimpin melalui mekanisme permusyawaratan dan perwakilan.
Kebijakan ini menekankan pentingnya partisipasi aktif Masyarakat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan negara.
 Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan ini menekankan pentingnya mengatasi ketimpangan sosial, memperjuangkan kebaikan Bersama dan memberikan kesempatan yang adil bagi seluruh warga negara.
Manusia dilahirkan dengan hak kodrati atau yang biasa disebut dengan HAM [Hak asasi manusia]. Pengertian hak asasi manusia dalam Undang-undang nomor 39 tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia  ciptaan Tuhan yang maha esa dan karunianya, yang diberikan dengan alasan yang terhormat oleh negara, hukum,  Pemerintah  dan setiap  orang.  harus  dihormati,  dihargai  dan dilindungi dan dilindungi. Martabat Manusia (UU No. 39 Tahun 1999,1999).Hak  Asasi  Manusia  (HAM)  adalah  hak  asasi  manusia  yang  melekat sebagai  anugerah  Tuhan  Yang  Maha  Esa  kepada  manusia  yang  harus dihormati dan dilindungi.
 2.  TENTANG MARSINAH
 Marsinah  adalah partner di  PT  Catur  Putra  Surya  (CPS),  pabrik  jam tangan  di  Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Semasa hidupnya Marsinah dikenal  aktif  mengkampanyekan  hak-hak  buruh.  Perjuangan  Marsinah harus berakhir setelah ia diculik, disiksa, diperkosa, dan dibunuh pada 8 Mei 1993.Marsinah lahir pada 10 April 1969 di Nglund, Nganjuki, Jawa Timur.Â
Ia adalah  anak  kedua  dari  tiga  bersaudara  yang  semuanya  perempuan. Nama  saudara  perempuannya  adalah  Marsini  dan  nama saudara perempuannya  adalah  Wijiati.  Ayah  Marsinah  adalah  Astin  dan  ibu adalah  Sumini.  Keluarganya  tinggal  di  Desa  Nglundo,  Kecamatan Sukomoro,  Kabupaten  Nganjuk.  Saat  Marsinah  berusia  tiga  tahun, ibunya meninggal.
Setelah  itu,  ayahnya  menikah  lagi.  Marsinah  kemudian  diasuh  oleh neneknya, Paerah, yang tinggal bersama paman dan bibinya. Sejak kecil, Marsinah terbiasa bekerja keras. Sepulang sekolah dia selalu membantu neneknya menjual gabah dan jagung. Guru dan teman-teman di Sekolah Dasar (SD) tempat Marsinah belajar mengatakan dia adalah gadis cerdas yang gemar membaca dan selalu ingin tahu tentang sains.
Setelah lulus SD,  Marsinah  melanjutkan  sekolahnya  di  SMP  Negeri  5  Nganjuk. Setelah   lulus   SMA   pada   tahun   1982,   Marsinah   melanjutkan pendidikannya  di  SMA  Muhammadiyah  dengan  bantuan  biaya  dari pamannya.  Marsinah  ingin  sekolah  hukum.  Namun  karena  terkendala biaya, keinginan Marsinah untuk melanjutkan studi batal.
Marsinah kemudian memutuskan untuk pindah ke Surabaya pada tahun 1989  dan  bergabung  di  rumah  saudara  perempuannya yang  sudah menikah, Marsin. Marsinah juga bekerja di pabrik plastik milik SKW di Kawasan  Industri  Rungkut,  namun  gajinya hampir  tidak  mencukupi, sehingga  Marsinah  harus  mencari  penghasilan  tambahan  dengan menjual  nasi  bungkus.  Marsinah  juga  pernah  bekerja  di  perusahaan pengemasan sebelum kemudian pindah ke Sidoarjo pada tahun 1990 dan bekerja di PT CPS.Â
Selama bekerja di PT CPS, Marsinah dikenal sebagai penyanyi dan selalu memperjuangkan nasib rekan-rekannya. Marsinah adalah  aktivis  di  unit  kerja  PT  CPS  Serikat  Pekerja  Seluruh  Indonesia (SPSI).
Pada awal tahun 1993, pemerintah mengimbau para pengusaha di Jawa Timur  untuk  menaikkan  upah  pokok  pekerjanya  sebesar  20  persen. Namun,  para  pedagang,  termasuk PT  CPS,  tempat  Marsinah  bekerja, tidak  serta  merta  menerima  imbauan  tersebut.  Hal  ini  kemudian menimbulkan  protes  dari  para  pekerja  yang  menuntut  kenaikan  gaji. Pada  2  Mei  1993,  Marsinah  menghadiri  rapat  perencanaan  protes  di Tanggulangin, Sidoarjo. Pada tanggal 3 Mei 1993, para buruh melarang rekan-rekan mereka untuk mogok kerja.
 Namun,  Komando  Distrik  Militer  (Koramil)  setempat  langsung  turun tangan mencegah personel PT CPS beroperasi. Para pekerja melakukan pemogokan keesokan harinya dan mengajukan 12 tuntutan kepada PT CPS.  Salah  satu  tuntutan  buruh  adalah  kenaikan  gaji  pokok  dari  Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250 per hari. Selain itu, mereka membayar tunjangan harian sebesar 550 rupee, yang dapat ditarik saat pekerja tidak masuk  kerja.  Marsinah  juga  merupakan  salah  satu  dari  15  perwakilan karyawan  yang  bernegosiasi  dengan  perusahaan.  Ia  terlibat  dalam perundingan  hingga  5  Mei  1993.  Sore  hari  5  Mei  1993,  13  pegawai dibawa  ke  Kodim  Sidoarjo,  yang  diduga  menghasut  rekannya  untuk protes.  Mereka  kemudian  dipaksa  mengundurkan  diri  dari  PT  CPS setelah  dituduh  melakukan  pertemuan  rahasia  dan  mencegah  pekerja lain   melakukan   pekerjaannya. Â
Saat   itu,   Marsinah   dikabarkan mendatangi  Kodim  Sidoarjo  untuk  menanyakan  keberadaan  13 rekannya yang sebelumnya dia bawa ke sana. Namun, sekitar pukul 10 malam. pada 5 Mei 1993, Marsinah menghilang. Keberadaan Marsinah tidak diketahui hingga jasadnya ditemukan di Nganjuk pada 9 Mei 1993 dalam  keadaan  mengenaskan.  Berdasarkan  hasil  otopsi,  diketahui Marsinah  meninggal  sehari  sebelum  jenazah  ditemukan,  8  Mei  1993. Penyebab  kematian  Marsinah  adalah  penganiayaan  berat.  Selain  itu, Marsinah juga diketahui pernah diperkosa. Kasus pembunuhan Marsinah memicu reaksi keras dari masyarakat dan aktivis  hak  asasi  manusia.Â
 Aktivis  kemudian  membentuk  Komite Solidaritas  Marsinah  (KSUM)  dan  menuntut  pemerintah  menyelidiki dan membawa mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan itu ke pengadilan.  Presiden  Soeharto  menuntut  pengusutan  tuntas  kasus Marsinah.  Suharto  juga  menegaskan,  kasus  pembunuhanMarsinah tidak   boleh   disembunyikan   dan   mengimbau   masyarakat   untuk menyerahkan kasus tersebut kepada pihak berwajib. Dulu, alat itu justru menimbulkan  korban  jiwa  dalam  kasus  pembunuhan  Marsinah.Â
Sebelum  pidato  Soeharto  pada  30  September  1993,  pemerintah membentuk  Tim  Terpadu  Bakorstanasda  Jatim  untuk  mengusut  kasus Marsinah. Delapan petinggi PT CPS kemudian ditangkap secara rahasia dan  tanpa  prosedur  formal.  Salah  satu  yang  ditangkap  adalah  manajer sumber  daya  manusia  PT  CPS  Mutiari,  yang  saat  itu  sedang  hamil. Selain  itu,  pemilik PT  CPS,  Yudi  Susanto,  ditangkap dan diinterogasi. Mereka yang ditahan disebut-sebut mengalami siksaan fisik dan mental yang  berat,  dan  diminta  untuk  mengaku  bersekongkol  menculik  dan membunuh Marsinah.
Selama proses penyelidikan dan penyidikan, Tim Terpadu  menangkap  dan  menginterogasi  sepuluh  orang  yang  diduga terlibat   dalam   pembunuhan   Marsinah.   Dari   hasil   pemeriksaan terungkap  Suprapto,  karyawan  Departemen  Pengendalian  PT  CPS, membawa Marsinah dengan sepeda motornya di dekat kediaman aktivis serikat pekerja. Marsinah kemudian dikabarkan dibawa ke rumah Yudi Susanto  di  Jalan  Puspita,  Surabaya.  Setelah  tiga  hari  ditahan,  penjaga PT CPS Suwono membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS Yudi Susanto kemudian  divonis  17  tahun  penjara. Â
Pada  saat  yang  sama,  beberapa karyawan  PT  CPS  dijatuhi  hukuman  penjara  antara  empat  hingga  12 tahun.  Namun  saat  itu,  Yudi  Susanto  dengan  tegas  menyatakan  tidak terlibat dalam pembunuhan Marsinah dan hanya sebagai kaki tangan.Yudi  Susanto  kemudian mengajukan kasasi  ke  Mahkamah Agung  dan dinyatakan  bebas.  Karyawan  PT-CPS  yang  divonis  juga  mengajukan kasasi  sampai  dibebaskan  dari  segala  dakwaan  atau  oleh  Mahkamah Agung. Keputusan Mahkamah Agung ini pasti akan memicu kontroversi dan  ketidaksenangan  publik. Â
Para  aktivis  terus  menuntut  agar  kasus pembunuhan  Marsinah  diusut  tuntas  dan  dugaan  keterlibatan  militer diungkap. Hingga saat ini, Marsinah dikenang sebagai pahlawan buruh. Marsinah  juga  dianugerahi  Penghargaan  Yap  Thiam  Hien.  Kisah Marsinah  juga  telah  diadaptasi  ke  dalam  berbagai  sastra  dan  seni pertunjukan.Dia   melanjutkan,   penyelesaian   penyelidikan   Marsinah   hanya membutuhkan  itikad  baik  dari  Presiden.  Presiden  menegaskan,  Indah bisa  menginstruksikan  jajarannya  untuk  mengusut  pelanggaran  HAM.
Dalam kasus Marsinah -seorang pekerja yang ditemukan tewas di hutan Wilangan  di  Nganjuk,  Jawa  Timur -sebuah  koalisi  perempuan melakukan demonstrasi di depan istana pada Selasa, 8 Mei. Deklarasi  Universal  Hak  Asasi  Manusia  tahun  1948  menekankan  tigahal yang sangat penting untukmenjamin kebebasanberekspresi: bahwa kebebasan  berpendapat  dan  berekspresi  adalah  milik  semua manusia tanpa  pengecualian;  bahwa  semua  orang  memiliki  hak  untukmencari, menerima,  dan  memberikan  informasi  dan  gagasan;  dan  bahwa  arus informasi dan gagasaninformasi dan gagasan tidak boleh dibatasi oleh batas-batas  (nasional)(DUHAM,  Pasal  19).  Sebagai  prinsip  umum, negara   harus   memastikan   bahwaperundang-undangan   nasional mendukung dan menjamin kebebasan berekspresi.
Perumusan   dan   implementasi   legislasi   nasional   adalah selalu diinformasikan oleh moralitas politik yang berlaku, yang pada gilirannyayang  pada  gilirannya  mencerminkan  tradisi  budaya.  Oleh  karena  itu, perlu untuk melihat lebih jauh dari sekedar kesesuaian legislasi nasional Indonesia denganstandar-standar hak asasi manusia internasional. Hal ini  dapat  dilakukan  dengan  mengeksplorasibagaimana  tradisi  budaya lokal beresonansi dengan prinsip-prinsip ini. Banyak dariliteratur "nilai-nilai Asia" berfokus pada bagaimana tradisi agama telahtelah digunakan untuk  menolak  kebebasan  berekspresi.  Akan  tetapi,  sama  mudahnya,untuk merinci fitur-fitur dalam budaya Indonesia yang mendukung sikap positif terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia internasional.Sejumlah  ahli  etnografi  telah  menganalisis  mekanisme  penyelesaian sengketa  lokalmekanisme  penyelesaian  sengketa  lokal  di  masyarakat Indonesia.
Menurut penelitian merek,,mekanisme ini menekankan hak semua individu yang terlibat untukdidengar oleh pertemuan masyarakat yang  berwenang  untuk  memutuskan  sengketa(Acciaioli  2002;  Keeler 1990; Tsing 1990; Avonius 2004).Semua orang yang terlibat juga harus bertanggung jawab -dan dihukum jikaterbukti bersalah. Seperti yang dinyatakan Tsing (1990: 105) dalam uraiannya  tentangPenyelesaian  sengketa  Meratus,  "siapa  saja  boleh  hadir, siapa saja boleh berbicara."Secara umum, pertemuan masyarakat dan  mekanisme  penyelesaian  sengketa  seperti  itu  tampaknya  selaras dengan prinsip globalkebebasan berekspresi.Kita  dapat  menggambarkan  pertemuan-pertemuan  masyarakat  ini sebagai forumdi mana moralitas politik lokal dibangun dan dipelihara dalamkomunikasi  tatap  muka  di  antara  anggota  masyarakat. Â
Banyak darimekanisme penyelesaian sengketa lokal ini menjadi kurang penting sejak  masa  penjajahan  Belanda  dan  khususnya  di  bawahOrde  Baru (1965-1998) yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan nasional yang  terpadu.  Pertemuan-pertemuan  di  antara  anggota  masyarakatdigantikan oleh pengadilan di mana hakim-hakim profesional membuat keputusan  berdasarkankeputusan  berdasarkan  buku-buku  hukum. Namun  demikian,  pertemuan  masyarakat  terus  digunakan  untuk menyelesaikan  perselisihan  yang  lebih  kecil;  pada  kenyataannya, Desentralisasi  kekuasaan  sejak  tahun 1998  telah  mendorong  revitalisasi  mekanisme  penyelesaian  sengketa lokal di banyak daerah.
KESIMPULAN
Kasus marsinah adalah salah satu contoh nyata pelanggaran HAM berat. Hak marsinah untuk hidup, kebebasan dari perlakuan tidak manusiawi dilanggar secara brutal. Kejadian ini menunjukan bahwa sila ke 2 pancasila yang menurutnya setiap orang berak dilanggar.
Ketidakadilan dalam sistem peradilan, kasus Marsinah juga mengungkap ketidakadilan dalam sistem peradilan. Terlepas dari bukti kuat dan pengakuan tersangka, korban tidak mendapatkan keadilan di persidangan. Hal ini menggarisbawahi perlunya reformasi sistem hukum untuk memastikan bahwa setiap pelanggaran hak asasi manusia ditangani secara adil dan menyeluruh, karena hal ini tampaknya bertentangan dengan sila kelima Pancasila, yang menyatakan bahwa keadilan sosial berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia.Â
Ketimpangan Sosial dan Perlindungan Buruh: Kasus Marsinah mencerminkan ketimpangan sosial yang masih terjadi dalam perlindungan hak-hak buruh di Indonesia. Kondisi buruh yang genting dan perlakuan yang tidak adil menunjukkan bahwa perlindungan hukum, hak dan kesejahteraan buruh harus ditingkatkan. Kasus Marsinah juga menggambarkan pentingnya berjuang dan membela keadilan. Solidaritas dan perjuangan berbagai pihak turut menciptakan ruang diskusi HAM dan mendorong perubahan yang lebih baik dalam perlindungan HAM di Indonesia. Kasus Marsinah menjadi pengingat penting bahwa diperlukan upaya berkelanjutan untuk keadilan, perlindungan hak asasi manusia dan peningkatan kesehatan dan keselamatan di tempat kerja. Diharapkan dengan mempertimbangkan kasus-kasus tersebut, langkah-langkah konkrit dapat diambil untuk mencegah pelanggaran HAM di masa mendatang dan memberikan keadilan bagi para korban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H